Tahun lalu, saat aku benar-benar patah karenamu, dia selalu ada di sampingku. Menghiburku dengan segala ceritanya, mengajakku diskusi tentang apapun itu dan mendukungku berlari mengejar mimpi.Â
Dia yang menuruti segala mauku yang aneh, dia yang ada di hadapanku saat menyantap makan siang, makan malam dan ketika menuntaskan pekerjaanku. Sampai di sini, aku yakin kamu paham bahwa aku tidak bisa menghindari kenyamanan saat bersamanya.
Namun di sisi lain, aku sadar betul, nyamanku bersamanya tidak melebihi batas dari dinding persahabatan yang kami sepakati. Dia mempertegas posisi sebagai teman, aku pun teguh menganggapnya sahabat yang terkadang juga aku akui sebagai kakak.Â
Sebab, dari cara bijaksananya menghadapi segala polahku, aku merasa punya sosok kakak yang siap sedia mendengarkan segala keluh. Iya, segala keluhku ditelannya.Â
Tentang hari baikku, hari burukku, dia tahu. Tapi, tak berselang lama setelah dia menuduhku bertemu denganmu diam-diam, kami jadi lebih sering diam.
Kocaknya, kamu kembali, tepat di momen yang menempatkanku dan karibmu dalam jarak. Kamu kembali dengan segala hal yang lebih baik.Â
Aku tidak tahu, harus bersyukur atau bagaimana karena aku sadar, aku tidak akan berekspektasi lebih terhadapmu. Pun aku tidak ingin mengkhianati karibmu yang sabar menghadapi perubahan emosiku saat menenangkanku dari segala hal buruk karenamu di masa itu.
Haha, brengsek!
Aku benar-benar brengsek di posisi ini, Tuan. Aku sadar betul, situasi ini bukanlah hal baik yang layak aku pertahankan. Aku enggan melepasmu karena walau bagaimanapun, pahit darimu masih tertutupi laku manis yang aku terima.Â
Aku tidak bisa mengelakkan perasaanku terhadapmu, tepat di saat aku juga tidak sanggup untuk menjauhi karibmu karena kenyataanya, dia pun telah andil besar dalam perjalananku ke titik ini.
Jadi, saat kamu mengimbauku untuk memutus komunikasi dengan dia, aku tidak akan mengiyakan karena memang aku tidak ingin kehilangan dia.Â