Entah sampai kapan, nalar dan naluriku akan bertahan dalam tarung. Pun kita, yang entah harus bertahan hingga kapan dalam hipokritnya sikap yang terambil.Â
Bukan untuk mengelak, namun untuk menyelamatkan diri dari keadaan yang menolak. Sebenarnya, bukan hal yang aneh jika memang keadaan tidak berpihak pada keputusan kita.Â
Kembalinya tanganmu yang erat menggenggamku pun bukan hal yang sepenuhnya salah, walau keliru. Ini konsekuensi yang harus kita terima, kan? Berjalan dalam senyap dan bertingkah bak dua orang asing yang sesungguhnya saling memeluk dalam sunyi.
***
Hari ini adalah hari ke-sekian aku terdiam di balkon. Memandang langit dan mencoba untuk menemukan jawaban dari segala tanya yang diawali kata "bagaimana?"
Iya, aku menerka chaos-nya kondisi jika suatu saat dia tahu kita kembali. Memang dalam situasi ini, aku dan dia tidak saling terikat.Â
Namun, secara tersirat pun kamu paham, kan? Dia berusaha membatasi kita agar tidak bersua. Dia tidak jahat, dia adalah lelaki baik yang aku hargai.Â
Mungkin jika dia tidak ada, aku pun tidak akan bertahan tegar hingga detik ini. Dia yang membersamaiku di titik terendah akibatmu. Terima atau tidak, faktanya memang demikian.Â
Dia memang karibmu, tapi dia juga yang menopangku. Jadi, jika sekarang kamu memohon agar aku memilih satu di antara kalian, aku tidak bisa.
***
Tuan, jika boleh aku bertutur jujur, apa yang aku hadapi saat ini ibarat sebuah pertukaran posisi. Kamu dan dia seperti bertukar tempat walau kondisinya berbeda.Â
Tahun lalu, saat aku benar-benar patah karenamu, dia selalu ada di sampingku. Menghiburku dengan segala ceritanya, mengajakku diskusi tentang apapun itu dan mendukungku berlari mengejar mimpi.Â
Dia yang menuruti segala mauku yang aneh, dia yang ada di hadapanku saat menyantap makan siang, makan malam dan ketika menuntaskan pekerjaanku. Sampai di sini, aku yakin kamu paham bahwa aku tidak bisa menghindari kenyamanan saat bersamanya.
Namun di sisi lain, aku sadar betul, nyamanku bersamanya tidak melebihi batas dari dinding persahabatan yang kami sepakati. Dia mempertegas posisi sebagai teman, aku pun teguh menganggapnya sahabat yang terkadang juga aku akui sebagai kakak.Â
Sebab, dari cara bijaksananya menghadapi segala polahku, aku merasa punya sosok kakak yang siap sedia mendengarkan segala keluh. Iya, segala keluhku ditelannya.Â
Tentang hari baikku, hari burukku, dia tahu. Tapi, tak berselang lama setelah dia menuduhku bertemu denganmu diam-diam, kami jadi lebih sering diam.
Kocaknya, kamu kembali, tepat di momen yang menempatkanku dan karibmu dalam jarak. Kamu kembali dengan segala hal yang lebih baik.Â
Aku tidak tahu, harus bersyukur atau bagaimana karena aku sadar, aku tidak akan berekspektasi lebih terhadapmu. Pun aku tidak ingin mengkhianati karibmu yang sabar menghadapi perubahan emosiku saat menenangkanku dari segala hal buruk karenamu di masa itu.
Haha, brengsek!
Aku benar-benar brengsek di posisi ini, Tuan. Aku sadar betul, situasi ini bukanlah hal baik yang layak aku pertahankan. Aku enggan melepasmu karena walau bagaimanapun, pahit darimu masih tertutupi laku manis yang aku terima.Â
Aku tidak bisa mengelakkan perasaanku terhadapmu, tepat di saat aku juga tidak sanggup untuk menjauhi karibmu karena kenyataanya, dia pun telah andil besar dalam perjalananku ke titik ini.
Jadi, saat kamu mengimbauku untuk memutus komunikasi dengan dia, aku tidak akan mengiyakan karena memang aku tidak ingin kehilangan dia.Â
Pun jika ujungnya nanti kamu menawarkan opsi, menutup akses dengannya atau melepasmu, aku akan keukeh untuk tidak memilih karena kalian berdua berharga dengan porsi yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H