Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adu Tangis di Ruang Tamu

8 Februari 2021   23:19 Diperbarui: 8 Februari 2021   23:25 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tengah asik membaca buku di ruang belajar kos semi eksklusif yang telah aku tempati selama dua tahunan ini. Lalu, suara bel dari luar terdengar begitu nyaring beberapa kali. Biasanya, di sore menjelang petang begini memang ada kurir paket yang mengantarkan hasil perburuanku dari belanja daring. 

Tak jarang, pacar dari penghuni lain yang datang berkunjung atau kalau tidak begitu, petugas kebersihan yang memang rutin datang dua hari sekali. 

Aku yang tidak menaruh curiga sedikit pun akhirnya berjalan menuju luar dengan earphone yang masih terpasang dan terkejutlah aku bukan kepalang. Seorang pria berdiri tegap bertopi dengan membawa seikat bunga dan menenteng paper bag yang entah berisi apa, aku juga tidak tahu.

Mematung sejenak, aku tidak lantas membukakan gerbang karena aku benar-benar terkejut. Pria yang saat ini ada di depanku adalah dia, si pemilik senyum tanggung dan suara serak yang khas. Pria yang tiga minggu lalu mendikteku agar tidak lagi salah memilih pendamping. Setahuku, dia sedang di pulau seberang dan oleh sebab itu aku terkejut. Kenapa bisa dia di sini sekarang? Untuk apa?

"Permisi, Mbak. Maaf ini nggak ada niatan buat bukain gerbang, gitu? Hehe," tanyanya yang memecah hening.

"Oh, iya. Sorry, bentar!" kataku yang lantas membukakan gerbang dan mempersilakannya masuk.

Canggung, aku bingung harus membuka pembicaraan dengan topik apa dan dia pun menampakkan hal yang sama.

"Duduk, Bang! Kau dari mana? Kok bisa tiba-tiba di sini?" kataku sambil duduk dan melihatnya masih berdiri.

Dia tidak menjawab. Matanya berkaca dan dengan perlahan, dia melangkah ke arahku.

"Ini bunga buatmu sama oleh-oleh dariku, ya!" katanya dengan terbata.

"Ah, iya makasih. Apa ini?" basa-basiku lagi.

"Gelang sama outer batik. Kayaknya sih lucu kalau kau yang pakai, semoga suka ya!" jelasnya lembut sembari mengelus kepalaku. Tidak berubah, caranya mengelus kepalaku masih sama seperti dulu.

"Wah, makasih. Bunganya wangi banget, hehe. Oh iya, kau mau minum apa, Bang?" kataku.

"Nggak usah, aku habis makan tadi. Kau kek mana kabarnya?" tanyanya yang kini duduk di sebelahku persis.

"Baik kok, kau gimana? Sampai di Jawa kapan? Kok nggak berkabar kalau mau ke sini?" jawabku.

"Sengaja, biar kejutan, hehe. Dari dua hari lalu aku udah di Semarang dan kemarin juga sempat lihat kau boncengan sama cowok kok, malam-malam."

"Kapan?" tanyaku yang agak heran.

"Malam minggu, sekitar jam 8 gitu. Pakai baju putih kaunya pas itu," rincinya.

"Oh iya, mau bungkus makan. Jangan-jangan, kau yang di burjo belakang kos ini, ya?"

"Iya, kita sempat saling lihat, kan? Tapi kau langsung palingkan muka, haha."

"Haha, iya soalnya aku takut salah orang aja."

Tempo hari, aku memang melihat seseorang yang sepintas mirip dengannya. Bahkan, kami sempat saling melihat untuk beberapa detik. Hati kecilku memang berkata, itu adalah dia. Namun, nalarku seolah meyakinkan diri bahwa dia sedang tidak ada di sini.

***

Hampir setengah jam kami berbasa-basi hingga akhirnya, dia menanyakan hal dengan mimik serius.

"Masih ada nggak sih rasa sayangmu ke aku?" katanya.

"Maksudnya?" bingung aku menerka.

"Kau masih sayang nggak sih samaku?" sekali lagi tanyanya jelas.

Aku terdiam dan memalingkan muka darinya. Tangan kananku pun diraihnya dan kini, dia menggenggam erat tanganku sembari mencoba untuk mengarahkan mukaku agar menatapnya.

"Apa maksudmu, Bang? Nggak paham aku," tanyaku lagi.

Dia menghela napas dan menatapku tajam. Terdiam beberapa detik, lalu kembali bicara.

"Aku pengen kita mulai dari awal lagi. Aku minta maaf untuk semua kesalahan-kesalahanku yang lalu, aku mau kita balik kayak dulu," tegasnya.

"Kalau masalah maaf, kan aku udah maafkan Abang dari dulu. Aku juga udah jelaskan, aku nggak mau pacaran atau terikat hubungan dengan siapapun untuk sekarang, " responsku sambil menarik tangan.

"Kenapa? Kenapa nggak mau?"

"Sekarang gini, aku tanya ke Abang. Untuk apa kita kembali kalau kemungkinan untuk bersatu aja kecil?" retorisku bertanya dengan nada yang tinggi.

"Jangan bawa-bawa agama, ya!" bentaknya yang seketika paham arah pembicaraanku.

"Nggak bisa, Bang. Kita udah nggak boleh abai dengan hal itu. Kita nggak boleh larut dalam naif, kita harus realistis!" jelasku lagi.

"Dulu, kau nggak pernah masalahkan ini. Kenapa sekarang kau bawa-bawa perbedaan agama di antara kita?"

"Aku bukan aku yang dulu, Bang. Aku sadar, tidak semua hal harus aku paksakan untuk menuruti egoku. Apalagi jika ini bersinggungan dengan keluarga, aku nggak bisa. Walau bagaimanapun, sapi bukan jodohnya kerbau, kan? Sebagaimana kucing yang tidak ditakdirkan untuk kelinci."

Tertegun, dia terdiam.

"Kalau Abang bertanya, apa aku ini masih sayang atau nggak, jawabannya masih. Tapi, bukan sayang sebagai pacar kek dulu. Aku menganggap Abang yang sekarang ini seperti sahabat, bisa dibilang juga sebagai kakak. Nggak lebih, Bang!"

Tidak ada respons, dia masih terdiam.

"Aku bangga dengan perubahan Abang yang sekarang. Abang benar-benar berhasil menunjukkan komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku juga bersyukur, Tuhan sempat memberiku kesempatan untuk mendampingi Abang."

"Tapi untuk apa aku berubah jika alasan untuk aku berubah aja udah nggak ada lagi?" dengan setengah membentak, dia bertutur.

"Maksudnya?"

"Aku berusaha memperbaiki diri agar bisa mengimbangimu, kau itu alasanku untuk ini semua. Tapi, kenapa setelah aku benar-benar bisa mengubah hal buruk di masa lalu, kau malah begini?"

"Aku nggak pernah minta Abang menjadikanku alasan untuk berubah dan jika memang aku yang menjadi alasan Abang untuk itu semua, aku kecewa. Berarti selama ini, Abang nggak tulus dong untuk memperbaiki diri?"

"Nggak gitu. Bagiku, kau itu motivasi untuk semua ini dengan harapan, aku bisa balik lagi samamu. Tapi, kalau kenyataanya begini? Ya untuk apa?" kelagepan, dia mencoba untuk menjelaskan.

"Apa bedanya penjelasanmu itu dengan maksudku, Bang?"

Terdiam, dia tak bereaksi. Aku melihat matanya berkaca dan sesekali, dia menghela napas cukup panjang.

"Beri aku kesempatan, sekali lagi, aku mohon," lirihnya lagi.

Kini, aku yang terdiam. Bukan bimbang, hanya aku memang tidak bisa lagi kembali dengan dia. Terlepas dari perbedaan agama di antara kami, aku memang tidak tertarik untuk berhubungan romantis dengan siapapun. Bagiku, hubungan tanpa arah yang jelas adalah sebuah kesia-siaan. Aku tidak ingin membuang waktu untuk hal yang tidak berguna.

"Jangan-jangan, kau begini karena emang udah ada cowok baru?" selidiknya.

"Harus aku ulang berapa kali jawaban soal pertanyaanmu ini, Bang?" kataku setengah membentak.

Mungkin sudah tiga kali dia menanyakan hal tersebut dan jawabanku pun sama, aku tidak berpacaran dengan siapapun. Tapi, aku memiliki support system yang memang membuatku semangat untuk menuntaskan kewajiban belajarku di sini. Bahkan, tiga minggu yang lalu pun aku menjelaskan dengan rinci perihal pilihan hidupku saat ini. Harusnya, penjelasan itu sudah lebih dari cukup.

"Sesungguhnya, aku ke sini untuk mengajakmu ke Medan karena memang aku ingin serius samamu," celetuknya.

"Serius apa? Serius untuk menentang takdir lagi?" responsku ketus.

"ANJING!!!!" teriaknya sembari menonjok tembok dengan penuh amarah. Napasnya tak terkontrol, matanya mengisyaratkan amarah yang bercampur kecewa. Kaget, aku pun berdiri dan mencoba untuk menjauhinya karena aku takut dia gagal mengontrol emosi.

Ingatanku melayang pada kejadian-kejadian lampau, tepatnya di waktu aku harus menghadapi amarahnya yang tak terkontrol. Aku takut dilempar rokok lagi, aku trauma dibentak lagi. Perlahan, aku melangkah untuk semakin menjauhinya. Namun, dengan sigap dia menarik tanganku dan mendekap tubuhku erat. Meronta aku berupaya untuk melepaskan dekapnya, namun dayaku tak sekuat tenaganya. Harap-harap cemas, aku pun mencoba untuk memeluknya balik. Bukan karena terbawa suasana, tapi aku hanya ingin menenangkan dirinya dan berharap agar tidak terjadi hal buruk lagi.

"Aku minta maaf, nggak seharusnya aku berharap lebih," lirih dia bicara.

Terdengar jelas isaknya saat bertutur dan air mataku pun turut jatuh menetes. Kini, isak kami pun saling beradu nyaring di ruang tamu kosku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun