"Sekarang gini, aku tanya ke Abang. Untuk apa kita kembali kalau kemungkinan untuk bersatu aja kecil?" retorisku bertanya dengan nada yang tinggi.
"Jangan bawa-bawa agama, ya!" bentaknya yang seketika paham arah pembicaraanku.
"Nggak bisa, Bang. Kita udah nggak boleh abai dengan hal itu. Kita nggak boleh larut dalam naif, kita harus realistis!" jelasku lagi.
"Dulu, kau nggak pernah masalahkan ini. Kenapa sekarang kau bawa-bawa perbedaan agama di antara kita?"
"Aku bukan aku yang dulu, Bang. Aku sadar, tidak semua hal harus aku paksakan untuk menuruti egoku. Apalagi jika ini bersinggungan dengan keluarga, aku nggak bisa. Walau bagaimanapun, sapi bukan jodohnya kerbau, kan? Sebagaimana kucing yang tidak ditakdirkan untuk kelinci."
Tertegun, dia terdiam.
"Kalau Abang bertanya, apa aku ini masih sayang atau nggak, jawabannya masih. Tapi, bukan sayang sebagai pacar kek dulu. Aku menganggap Abang yang sekarang ini seperti sahabat, bisa dibilang juga sebagai kakak. Nggak lebih, Bang!"
Tidak ada respons, dia masih terdiam.
"Aku bangga dengan perubahan Abang yang sekarang. Abang benar-benar berhasil menunjukkan komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku juga bersyukur, Tuhan sempat memberiku kesempatan untuk mendampingi Abang."
"Tapi untuk apa aku berubah jika alasan untuk aku berubah aja udah nggak ada lagi?" dengan setengah membentak, dia bertutur.
"Maksudnya?"