"Bisa dibilang begitu, kan? Aku pun sadar, nggak pantas aku buatmu, tapi ya gimana lagi? Udah terlanjur juganya, hahahaha," kelakarmu.
Kini, kita sama-sama menertawakan kisah yang sempat menjadikanmu dan aku sebagai "kita" yang satu dalam semu.
"Bang, bolehnya aku cerita?" kataku yang entah kenapa terdorong untuk mendongeng.
"Boleh kali, rindu awak dengarin cerita-ceritamu itu loh!" responsmu yang penuh antusias.
Jujur, ini kali pertama aku melihat reaksi sumringahmu saat aku memohon izin untuk cerita. Dulu saat kita masih terikat dalam status pacaran, mana pernah kamu benar-benar bersedia untuk mendengarkanku? Bahkan ketika aku memohon semangat, kamu malah mematahkan. Untungnya kini kita sudah berpisah, jadi aku tidak harus menelan pahitnya pil yang diproduksi oleh sikap dan egomu tiap hari.
***
Aku menghela napas cukup panjang dan menggulingkan badan sebelum memulai cerita. Di waktu yang bersamaan, aku melihatmu duduk di sebuah tempat dengan latar belakang yang indah dan aku tidak tahu di mana itu.
"Aku mau pergi ke Australi, Bang. Akhir tahun ini, aku lanjut di sana.." bukaku.
"Seriusnya? Kuliah?" terperanjat dengan penuh kejut, kamu pun menanyakan kejelasan.
"Iya, Bang. Alhamdulillah, aku udah keterima di sana," jelasku tenang.
"Puji Tuhan, bangga awak dengarnya. You deserve it better, i'm so proud of you!" katamu dengan mata berkaca. Terharu, baru kali ini aku melihat matamu berkaca haru karenaku.