Lama-lama aku muak dengan segala hal yang dikaitkan dengan kata "mental". Apalagi jika aku harus menghadapi orang-orang yang sengaja berlindung dalam alibi "kesehatan mental". Bukan berarti aku tidak memiliki empati atau tidak peduli dengan psikis orang lain, tapi, aku hanya lelah dengan segala pemakluman yang kadang tidak masuk akal.
Bias! Saking banyaknya orang yang melakukan diagnosa mandiri tanpa validasi dari pihak yang terlegitimasi, justru membuatku makin skeptis. Aku kian terbentur dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang kemudian mendorongku untuk bersikap tak peduli. Namun, sebagai makhluk sosial yang (konon) memiliki kewajiban untuk mengutamakan tenggang rasa, akhirnya aku pun mengalah dan mengiyakan apapun yang sebenarnya berseberangan dengan nalar serta naluriku. Kalau sudah begini, siapa yang tersiksa? Batin diri sendiri. Batinku, bukan lawan bicara atau pihak yang sedang beradu argumen denganku.
Jujur, sesungguhnya aku malas untuk menulis perihal ini karena aku sadar akan risiko berwujud respons yang berseberangan dengan pendapatku. Namun, mau sampai kapan aku menahannya sendiri? Berdiam seolah tidak apa-apa dengan memalsukan ekspresi melalui emotikon saat berkirim pesan atau sekadar tersenyum sembari menahan amarah yang meronta.
Cukup! Aku tidak berniat menyinggung siapapun, aku hanya ingin meluapkan apa yang ada dalam benakku dengan sudut pandangku. Aku tidak menghakimi mereka yang memiliki gangguan mental karena aku pun menyadari, setiap orang terlahir dengan kondisi psike yang berbeda. Psike, bukan psikis, ya? Psike dalam bahasa Indonesia berarti jiwa, sedangkan psikis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan psike. Hmmmm, back to topic!
Sebenarnya, sudah lama aku menggumulkan masalah ini. Namun, terhitung sejak bulan Juli tahun 2020, aku kian concern dan memutuskan untuk mengoptimalkan peran sebagai observer di lingkungan sekitar. Darah, tawa yang berubah tangis, jerit dan racauan serta kalimat "besok ke pskiater, psikisku kena!" adalah dasar yang menguatkanku untuk menjadi observer. Seseorang mengucapkannya tepat di hadapanku, dua hari sebelum dia mengiris pergelangan tangannya di hadapan karibku.
Panik? Jelas!
Aku begitu panik saat karibku menunjukkan kacaunya situasi saat itu. Sekalipun akal sehatku berusaha untuk menampar pipi agar aku segera tersadar bahwa ulahnya tidak berhubungan denganku, toh aku masih punya iba. Aku yang secara tidak langsung menjadi salah satu pihak yang mendorongnya untuk menyakiti diri sendiri pun terpenjara dalam rasa bersalah. Saat itu yang ada di pikiranku hanya pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti, "bagaimana jika anak itu mati karena aku?"
Hahaha, bedebah! Paok!
Satu bulan aku terkungkung dalam amarah yang tertahan, sedih yang berlarut, takut yang berkepanjangan dan ujungnya, aku sendiri yang kehilangan fokus. Debur ombak di pantai Parangtritis yang kala itu sepi tidak berhasil menenangkan kalutku, justru kerasnya aspal Muntilan yang perlahan mampu memulihkan fokusku. Kekacauan demi kekacauan yang terjadi saat itu pun akhirnya berhasil aku terima sebagai proses pendewasaan diri. Walau kini, proses itu telah berubah menjadi sebuah pemantik gurau yang terkadang aku tertawakan bersama orang-orang yang tak sengaja terseret di dalamnya.
Yaaaaaa, semenjak aku bertemu dengan orang yang (konon) hendak memutus nadinya pada waktu yang berbeda di sebuah warung dengan kondisi sehat, aku jadi berpikir, apakah dulu aku terseret dalam sandiwara yang sengaja dipertontonkan untuk meraup iba?
Hahaha, apa-apaan ini? Skenario apa yang sedang aku hadapi hingga aku harus berada dalam situasi konyol seperti itu?
Ah, sudahlah! Biar yang lalu menjadi pijakanku untuk bersikap bijak, toh buah dari drama terkonyol sepanjang 2020 ini telah membuatku sadar bahwa pada akhirnya, aku bisa bertumbuh dari riuhnya keruh. Aku juga bisa berkelakar dengan lantang bahwa aku adalah pemenang di neraka yang berwujud Tembalang ini.
Dan, pada akhirnya pun aku jadi belajar bahwa makin ke sini, makin banyak orang yang berlindung dalam alibi kesehatan mental untuk lari dari sebuah penghakiman. Memang, sebagai sesama manusia, kita tidak memiliki hak untuk menghakimi. Jangankan menghakimi, menggeneralisir konsep benar dan salah dari sudut tertentu pun bukanlah hal yang dianjurkan. Sebab, yang paling mutlak dalah kehidupan adalah kedinamisan yang diimbangi dengan penghargaan.
Kenapa aku bisa bilang demikian?
Sebab, tidak sekali atau dua kali pasca kejadian berdarah di bulan Juli lalu, aku bersua dengan oknum setipe yang lagi-lagi mengalibikan kesehatan mental untuk mempertahankan diri dari pro-kontra hidup. Beberapa oknum hadir sebagai pelaku, sebagian lagi korban dan sisanya adalah pengamat.
Pelaku di sini tidak selamanya memasang raut antagonis yang menekan lawan bicaranya. Kadang, mereka datang dengan air mata dan segukan khas orang yang sedang jatuh-jatuhnya. Tak jarang, mereka mengemis pemakluman jika (entah sengaja ataupun tidak) melakukan tindakan yang berpotensi untuk melukai lawan bicaranya. Lebih tepatnya, ketika mereka sudah merasa tersudut. Bagaimanapun skenarionya, oknum yang aku labeli pelaku akan terus memohon pemakluman dari setiap orang yang bersinggungan dengannya.
Kemudian, oknum korban yang kebanyakan merasa bingung untuk menentukan sikap. Bagaimana tidak bingung? Terkadang, ada hal-hal berseberangan yang memang harus diluruskan, namun karena alasan "kesehatan mental" lawan bicaranya, maka dia pun harus rela untuk mengalah. Pun aku yang beberapa kali harus ada di posisi mengalah dan memilih untuk menyiksa batin sendiri agar orang yang bersinggungan denganku tidak berbuat konyol. Yaaa, lagi-lagi bukan karena aku ini pecundang, tapi memang untuk kebaikan bersama juga, kan? Hmmm. Nggak lucu aja kalau ada tragedi berdarah lagi hanya karena aku tidak bisa mengontrol ego dan membiarkan orang lain menyakiti raganya karena "aku". Walau sebenarnya, mau mati pun orang itu tidak sepenuhnya urusanku karena toh, setiap manusia dibekali akal untuk berpikir. Jadi, kenapa harus gegabah jika segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan tenang? Bukankah benang yang ruwet pun bisa diurai?
Lanjut, bukan hanya pelaku dan korban, ada juga pihak pengamat yang kadang sengaja untuk memilih netral. Tidak memihak, tidak menghakimi dan "cukup tahu". Sekarang, aku cenderung berada di posisi ini. Enggan menghakimi karena aku bukan Tuhan, malas berpihak karena banyak hal bias yang kadang tidak mutu untuk diperbincangkan serius. Lagipula, makin marak perbincangan soal kesehatan mental, makin banyak juga yang merasa sakit.
Ilmu cocoklogi seolah menjadi dasar validasi atas kondisi mental seseorang. Padahal, sepemahamanku sebagai orang awam, memvalidasi kondisi kejiwaan seseorang bukanlah hal yang simpel. Tidak sesederhana proses singkronisasi poin yang dibubuhkan pada artikel yang bertebaran di dunia maya. Jadi, melalui tulisan absurd ini, aku ingin para pembaca berpikir soal "mental siapa yang harus dibela?"
Mental orang lain, kah? Mental diri sendiri, kah? Atau mental siapa?
Haha, intinya sih, mental semua orang perlu dijaga stabilitasnya. Semua orang bertanggungjawab akan hal itu, tapi tidak semua hal harus dimaklumi. Kadang, kita harus tega untuk tidak peduli. Bukan untuk menghancurkan orang lain, tapi agar orang yang sering menjadikan kesehatan mentalnya sebagai alibi untuk mengiba pemakluman itu sadar dan paham bahwa hidup tidak selalu tentang dia.
Kamu harus tega untuk berhenti sejenak jika memang lingkunganmu toxic. Kamu harus tahan akan segala ancaman konyol yang dilayangkannya, jika memang hal tersebut sudah berkali-kali kamu hadapi. Bagiku kini, wujud kasih sayang dan perhatian seseorang itu tidak selalu berupa persetujuan. Kadang, ada juga sikap tak acuh yang layak kita pertontonkan untuk mendidiknya agar lebih bijak. Toh, tidak semua hal harus kamu iyakan, tidak segala perkara harus kamu selesaikan dengan mengalah. Mentalmu juga perlu dijaga, bukan hanya dia!
So?
Tetaplah berusaha waras ketika orang berlomba-lomba mengaku gila! Tetaplah sehat ketika orang-orang berkompetisi untuk memvalidkan sakitnya dan intinya, jangan jadikan kesehatan mental sebagai senjatamu berlindung dari masalah. Kasihan mereka yang benar-benar butuh penanganan dan pemakluman, namun jadi terabaikan karena meningkatnya skeptisme orang lain terhadap segala hal yang manjadikan mental sebagai tameng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H