Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Aku Pemenang di Neraka Ini, Tuan!

6 September 2020   00:19 Diperbarui: 6 September 2020   17:47 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
June, 26.| Dokumentasi pribadi

Kau pernah bilang, suatu saat, aku pasti akan menghindari tempat ini. Tempat yang sempat menjadi saksi kita menyantap nasi telur dengan penyajian fancy di dini hari yang sepi. 

Kau juga pernah berceletuk jika suatu hari nanti, aku tidak akan kembali ke burjo yang sama-sama kita namai "burjo nasgor" karena cita rasa nasi goreng di sana paling pas bumbunya. 

Pun aku ingat, kau pernah berkata bahwa pada akhirnya, akan ada saat di mana aku tersadar jika genggaman tangan kita, peluk hangat di malam itu dan teduh tatapanmu setiap kita belajar bersama adalah sesuatu yang akan membuatku benci pada seluruh sudut yang ada di daerah ini.

Awalnya, aku juga berpikiran sama. Aku sempat berpikir bahwa Tembalang akan menjadi neraka untuk aku yang mudah diperdaya trauma. Aku akan semakin paranoid terhadap hal-hal kecil yang membuatku takut. 

Aku akan kembali menjadi pribadi yang was-was dan tidak tenang. Bahkan, aku sempat berpikiran jika huru-hara yang terjadi di bulan lalu hanya akan menjadikanku terpuruk. Namun ternyata, aku tidak sepecundang itu. Aku yang katamu adalah orang terpayah dalam urusan berbohong, kini telah menjadi pribadi yang berani berdiri di tengah neraka ini.

Aku tidak takut lagi mendatangi Busur Panah sendirian. Padahal dulu, aku sempat menghindarinya berbulan-bulan. Aku juga tidak takut menyantap nasi oseng ati sendiri, aku pun tidak takut pergi ke kedai kopi yang baristanya berasal dari kota yang sama denganmu. 

Bahkan, aku yang dulu sangat menghindari titik kumpul persekutuan lelaki yang pernah aku ceritakan sosoknya padamu, justru kini berani mengangkat kepala dan menatapnya tajam ketika bersua.

Aku menang, Tuan!

Aku berhasil menang dalam perang yang melibatkan nalar, naluri dan egoku sendiri. Sebagaimana katamu, aku harus bisa menunjukkan siapa pemenang dalam permainan yang lalu. 

Permainan yang pada ujungnya menyeret kita pada babak baru. Babak yang harusnya bisa kita hindari, namun tetap kita jalani karena kegagalan diri dalam mengendalikan nafsu. Babak yang kemudian membuatku berani membenarkan prasangkamu terhadap takarirku. Iya, takarir dalam unggahan fotoku yang sempat kau pertanyakan.

"Tidak ada yang lebih brengsek dari konspirasi alam semesta yang mempertemukan dua bajingan di waktu yang tepat. Waktu yang benar-benar pas untuk si Puan yang masih dikendalikan dendam dan sang Tuan yang tertuntun nafsu," begitu kira-kira takarirku yang kau pertanyakan.

Kau menduga, takarir itu untukmu. Padahal, lubuk hati terdalamku bernawaitu untuk menunjukannya pada sosok lelaki berkalung salib yang berkali-kali aku singgungkan namanya di hadapanmu. 

Namun, setelah kejadian demi kejadian konyol yang kita lewati, aku jadi berpikir bahwa ternyata, prasangkamu menjadi nyata. Diksi Puan dan Tuan dalam takarir itu ternyata lebih tepat untuk kita, dua manusia brengsek yang pada akhirnya memilih bungkam dengan prinsip masing-masing.

Aku dengan prinsipku yang mengamini bahwa yang paling konsisten adalah ketidakkonsistenan itu sendiri dan kau pada prinsipmu yang menyatakan bahwa, yang paling pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Semakna, walau dengan kata yang berbeda. 

Jujur, Tuan. Jika mampu aku memutar waktu, mungkin aku tidak akan menenggelamkan diri pada kenaifan yang tak seharusnya aku pelihara. Kau pun semestinya tak perlu bertutur manis dan bersikap layaknya pejantan yang hidup dalam limpahan kasih. 

Kita tidak seharusnya didekatkan oleh keadaan yang sebenarnya, jika kita tarik garisnya pun tidak memiliki titik yang bersinggungan. Kita hanya sebuah kebetulan, kan? Itu lebih pasnya, Tuan. 

Kita memang sebuah kebetulan yang terlampau berani menghanyutkan diri pada skenario aneh dari Dia yang Maha Sempurna dalam merancang pencobaan bagi umat manusia.

Bukan berarti aku menyesali "kita" yang semu dalam sesaat. Bukan bermaksud juga memojokkanmu karena aku juga keliru. Kita sama-sama bajingan, kan? Kita sama-sama dua orang brengsek yang semakin brengsek karena terbentuk oleh benturan-benturan kelam di jalur hidup masing-masing. 

Jalur yang memosisikan kita pada hubungan dengan orang lain di masa yang lalu. Masa yang belum menjadi waktu yang tepat untuk kita, meski pada ujungnya, tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk kau dan aku.

Ah, sudahlah!

Ternyata perih juga mengenang singkatnya waktu yang sempat kita lalui bersama. Bahkan terkadang, perihnya melebihi ngilu yang diakibatkan oleh dendam pada kisahku yang lalu. 

Namun setidaknya aku harus tetap bersyukur pada Dia, sebab, rancangaNya yang unik telah mempertemukanku pada sosokmu. Sosok yang selalu meyakinkanku untuk percaya bahwa di saat aku terpuruk bukan berarti aku lemah karena ketika aku berdiri tegak juga bukan berarti aku kuat.

Sekali lagi, terima kasih.

Aku akan bersemesta dengan meleburkan diri pada skenario-skenario baru dari Dia. Tentu saja dengan kepedulian yang lebih pada diriku sendiri dan terus mengupayakan kebahagiaan untuk diriku terlebih dahulu. 

Aku tidak akan menjadi aku yang lebih memilih untuk memikirkan orang lain lagi karena sudah terlampau cukup aku mengalah pada hal yang tak seharusnya aku pikirkan. 

Bukan berarti aku egois, tapi aku hanya ingin menjadi aku yang menyeimbangkan rasa sedih dan bahagia. Sebagaimana katamu juga bahwa sedih itu perlu diseimbangkan dengan bahagia yang secukupnya. Jangan ada yang berlebihan kecuali kepedulian untuk diriku sendiri!

Bersemestalah, Tuan!

Terima kasih telah andil dalam prosesku memenangkan peperangan di neraka ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun