Kau menduga, takarir itu untukmu. Padahal, lubuk hati terdalamku bernawaitu untuk menunjukannya pada sosok lelaki berkalung salib yang berkali-kali aku singgungkan namanya di hadapanmu.Â
Namun, setelah kejadian demi kejadian konyol yang kita lewati, aku jadi berpikir bahwa ternyata, prasangkamu menjadi nyata. Diksi Puan dan Tuan dalam takarir itu ternyata lebih tepat untuk kita, dua manusia brengsek yang pada akhirnya memilih bungkam dengan prinsip masing-masing.
Aku dengan prinsipku yang mengamini bahwa yang paling konsisten adalah ketidakkonsistenan itu sendiri dan kau pada prinsipmu yang menyatakan bahwa, yang paling pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Semakna, walau dengan kata yang berbeda.Â
Jujur, Tuan. Jika mampu aku memutar waktu, mungkin aku tidak akan menenggelamkan diri pada kenaifan yang tak seharusnya aku pelihara. Kau pun semestinya tak perlu bertutur manis dan bersikap layaknya pejantan yang hidup dalam limpahan kasih.Â
Kita tidak seharusnya didekatkan oleh keadaan yang sebenarnya, jika kita tarik garisnya pun tidak memiliki titik yang bersinggungan. Kita hanya sebuah kebetulan, kan? Itu lebih pasnya, Tuan.Â
Kita memang sebuah kebetulan yang terlampau berani menghanyutkan diri pada skenario aneh dari Dia yang Maha Sempurna dalam merancang pencobaan bagi umat manusia.
Bukan berarti aku menyesali "kita" yang semu dalam sesaat. Bukan bermaksud juga memojokkanmu karena aku juga keliru. Kita sama-sama bajingan, kan? Kita sama-sama dua orang brengsek yang semakin brengsek karena terbentuk oleh benturan-benturan kelam di jalur hidup masing-masing.Â
Jalur yang memosisikan kita pada hubungan dengan orang lain di masa yang lalu. Masa yang belum menjadi waktu yang tepat untuk kita, meski pada ujungnya, tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk kau dan aku.
Ah, sudahlah!
Ternyata perih juga mengenang singkatnya waktu yang sempat kita lalui bersama. Bahkan terkadang, perihnya melebihi ngilu yang diakibatkan oleh dendam pada kisahku yang lalu.Â
Namun setidaknya aku harus tetap bersyukur pada Dia, sebab, rancangaNya yang unik telah mempertemukanku pada sosokmu. Sosok yang selalu meyakinkanku untuk percaya bahwa di saat aku terpuruk bukan berarti aku lemah karena ketika aku berdiri tegak juga bukan berarti aku kuat.