Setiap kita bertemu tanpa sengaja dan terpergok saling memandang walau sekejap, aku merasakan ngilu yang mengerang hebat. Mungkin saat kau membaca ini, kau akan berpikir bahwa aku belum sepenuhnya merelakan "kita" yang sudah tidak bisa diupayakan untuk kembali.Â
Tapi, kau keliru, Sayang. Bukan itu penyebabnya, tapi bayangan wajah perempuan-perempuan yang kau godai di belakangku dan segala lakumu yang dituntun birahi. Laku yang manis, penuh tipu daya dan sialnya, laku itulah yang selalu kau jadikan senjata untuk mengizinkan perempuan lain tidur dalam dekapanmu yang tengah diperdaya alkohol hingga mabuk.Â
Haha, entah betulan mabuk atau hanya berpura-pura mabuk, itu tidak penting. Sebab, yang pasti aku tahu saat itu adalah kenyataan bahwa kau telah beberapa kali bermandikan lendir dengan perempuan-perempuan yang bahkan, baru kau kenal satu jam di klub malam.Â
Hebat ya aku! Eh, tidak. Bodoh lebih tepatnya karena aku sangat keukeuh untuk diam di tempat walau aku melihat bekas bibir orang lain di lekukan lehermu dan mencium aroma parfum perempuan di hoodie abu-abu kesayanganmu.
Dulu, saat aku masih diperdaya egoku yang naif, aku selalu meyakinkan diri untuk mencoba percaya bahwa tabiatmu bisa berubah. Kebiasaan burukmu bisa memudar perlahan dan kau adalah orang yang pantas aku pertahankan.
Namun, semesta terlalu baik. Tiap kali aku memohon agar ditunjukkan pada hal-hal yang layak aku perjuangkan, namamu pun selalu muncul di deretan teratas daftar hal yang harus aku lepaskan dengan segera.Â
Aku tahu, bahkan dengan menulis ini, kau akan berpikir bahwa aku tidak lebih dari sebuah bajingan yang sedang mencari pembelaan. Tapi, pernahkah kau merenung lebih dalam? Berpikir dengan tenang dan mencoba untuk memutar kembali memori perjalanan yang sempat kita jejakkan bersama.Â
Pernahkah kau sebentar saja memikirkan ketakutanku yang hampir depresi karena ulah tololmu? Pernahkah kau benar-benar membuktikan bahwa video yang kau ambil dalam kondisi sadar itu telah terhapus? Tidak! Kau tidak pernah sungguh dalam bertindak walau berulang kali kau bersumpah dalam tutur.
Kau egois, Sayang!
Kau tahu titik lemahku yang tidak sanggup menahan ekspresi. Kau paham tabiatku yang mudah luluh pada rayuan epikmu. Tapi, bukan berarti aku akan tetap menjadi aku yang dulu. Aku yang pasti mengiyakan semua pintamu, sekalipun itu menelan peju yang membuatku muntah dan mengotori lantai kamarmu. Haha, tidak, Sayang!
Aku bukan aku yang dulu. Aku bukan perempuan yang akan tetap terjaga di dini hari untuk menopangmu berjalan dalam kondisi setengah sadar. Tidak!