Puan terdiam dan kini, dia mengalihkan pandangannya.
"Aku takut, rasa nyaman yang kamu rasakan itu adalah efek domino dari Fian," kataku.
"Maksud Kakak?" tanyanya yang nampak tidak mengerti.
"Jangan telan mentah-mentah, apa yang akan aku omongkan! Tapi, pahami baik-baik. Coba runut dengan tenang, apa yang kamu alami saat ini!" kataku.
"Aku nggak paham," katanya yang terlihat kian bingung.
"Baik. Sejak kau lepas dari Fian, tepatnya sejak kejadian kurang mengenakkan di pertengahan tahun lalu, kau jadi orang yang begitu pendendam. Kau mulai kehilangan dirimu sendiri. Seolah-olah, kau selalu ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Fian pun bisa kau lakukan, padahal itu keliru. Tidak semua hal buruk harus dibalas buruk. Tapi, apa? Kau membalaskan dendam itu dengan Sutan, kan?" jelasku on point.
Puan terdiam, matanya kini seolah mengiyakan apa yang aku katakan.
"Mungkin kalimatku ini cukup hiperbola, tapi tidak ada lagi kalimat yang tepat kecuali konspirasi semesta yang terlalu ajaib saat menautkanmu dengan Sutan. Kalian berdua tidak memiliki irisan sama sekali. Berbeda saat kau dekat dengan Fian, kalian sama-sama produktif dan aktif di akademik. Sedangkan Sutan? Kau justru dibawanya ke mana? Coba, sekarang jawab pertanyaanku, Sutan membawamu ke mana?" agak tinggi nada bicaraku karena jujur, aku masuk kategori orang yang menentang hubungan Puan dengan Sutan.
Lagi, Puan terdiam dan kini dia menunduk.
"Ujung perjalananmu dengan Sutan sudah cukup kelam. Bahkan, sangat kelam karena kau harus tertahan oleh satu hal bodoh yang hingga kapanpun akan menjadi ancaman bagi nama dan karirmu. Iya, kan?" tambahku.
Puan mengangguk. Air matanya kembali deras mengucur.