"Maksudnya?" terperanjat aku tak mengerti.
"Aku kira, menjalani kedekatan dengan dia tidak akan menjatuhkanku dalam pencobaan baru. Aku pikir, dengan berjalan bersamanya bisa membuatku kembali merasakan kedamaian hidup yang jauh dari drama. Tapi, aku salah. Dia belum menuntaskan masa lalunya, padahal dia sendiri yang meyakinkanku untuk berdamai dengan masa laluku."
"Terus?"
"Tadi, ada seorang perempuan yang menghampiriku ke sini. Dia datang dengan amarah dan memakiku. Untung, aku bisa menahannya agar tidak bersuara lebih kencang. Cukup, aku pernah dibuat malu Sutan saat berdebat di depan gerbang. Oleh sebab itu, aku mencoba untuk mengupayakan agar dia pun tidak bersuara kencang."
"Lalu?"
"Intinya satu, Kak. Dia tidak menerima kedekatanku dengan lelaki yang satu tongkrongan denganku itu. Satu hal yang aku tangkap, keduanya masih saling terikat. Dan aku, aku dianggap perusak ikatan itu."
"Hah?" terperanjat, aku terkejut.
"Aku akui aku salah, tapi aku tidak menerima jika kesalahan ini dilimpahkan utuh kepadaku. Dia, teman lelakiku itu memang sudah menjelaskan soal hal-hal yang masih melekatkan dirinya dengan perempuan yang melabrakku, sekalipun keduanya sudah putus. Tapi, dia juga yang berkali-kali menjelaskan kalau menjalani dulu semua hal ini pun tidak masalah. Sedikit-banyak, aku dan dia berada di posisi yang sama. Kami sama-sama punya hal toxic dalam hubungan dan sedang berupaya sembuh dari itu. Tapi, tidak sesederhana itu ternyata. Argggghhhhh, asulah!" teriak Puan sembari menggebrak meja belajarku. Tangisnya pecah dan aku bingung.
"Aku bingung, Kak. Aku tidak punya lagi kalimat yang tepat untuk menceritakan posisiku. Tapi bukan berarti aku sedang mencari pembelaan, ya! Aku tidak sedang play victim atau berusaha memohon empati Kakak. Aku cuma pengen cerita karena sungguh, ini lebih pelik dari apa yang aku alami dengan Sutan," tambahnya sembari terisak.
"Aku mulai sayang dengan dia, Kak. Aku nyaman. Sikap dan perhatiannya berbanding terbalik dengan Sutan. Dia bisa menenangkanku di saat kalut dan kembali membuatku tertawa di waktu badmood. Perangainya baik dan aku tidak munafik, perhatian yang diberikannya pun mirip dengan apa yang dulu ditunjukkan Mas Fian."
"Masih ada nama Fian dalam pikiranmu, ya?" tanyaku spontan.