Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Efek Domino Ketidaktuntasan

10 Juli 2020   06:30 Diperbarui: 10 Juli 2020   06:30 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Pribadi)

Aku masih menikmati secangkir cokelat panas saat melihatnya berjalan meniti anak tangga. Lesu, tidak ada sapaan absurd yang biasa terlontar dari mulutnya. Sepintas, aku melihat matanya berkaca-kaca dan dua kali sudah aku mendengar isakan tangis yang sepertinya ingin dia sembunyikan. Aneh, tidak seperti biasanya. Aku yakin, ada hal berat yang tengah dihadapinya. Namun, apa? Aku takut untuk menerka lebih jauh karena setahuku, dia sedang bahagia-bahagianya menjalani hidup baru setelah membebaskan diri dari lingkaran kelam milik lelakinya terdahulu. Lingkaran yang bahkan sering membuatku berdecak keheranan. Tapi, ya sudahlah. Toh, semua sudah berlalu. Puan sudah kembali bangkit dari keterpurukannya dan sepenglihatanku, kembalinya dia pun berkat sosok baru yang sepertinya, baik.

Iya, sepertinya memang baik karena aku sendiri juga tidak mengenal betul sosok itu. Aku hanya tahu dari cerita Puan dan sesekali memang melihat dia menjemput Puan untuk sekadar makan atau mengerjakan tugas bersama. Aku berharap lebih pada sosok itu. Maksduku, aku berharap sosok itu bisa menyembuhkan luka yang menganga di hati dan ingatan Puan.

Jujur, kadang aku sendiri tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Puan. Dia begitu sabar menghadapi lelakinya yang dulu. Saking sabarnya, dia pun tak segan membersihkan muntahan lelaki brengsek itu dan merawatnya yang mabuk karena kebanyakan minum. Tidak hanya itu, bahkan lebih dari sekali, aku juga melihatnya beradu argumen dan ujungnya, aku menjadi saksi atas tangisan Puan yang mengalah agar perdebatan keduanya berhenti. Sungguh, hal yang demikian itu sangat kontras dengan sikapnya yang tegas dan cekatan tiap kali presentasi di hadapan dosen dan memaparkan materi kuliah di depan juniornya. Berbanding terbalik, tindakan dan ketegasannya seolah luntur begitu saja tiap kali berhadapan dengan lelaki itu. Kadang, aku berpikir, apa yang membuatnya tunduk pada sosok yang bahkan tidak pantas memacarinya itu. Tapi, aku tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam karena toh, semua itu pilihan Puan. Aku yakin, saat memutuskan untuk bersedia menjalani kisah dengan lelaki itu, dia pun telah berpikir panjang meski aku tahu, untuk urusan hati, dia tidak lebih pandai dari orang-orang yang bersyukur mendapatkan IPk 2.

Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas terlalu jauh soal toxic-nya hubungan Puan dan lelaki di masa lalunya itu. Toh, sekarang Puan sudah berhasil lepas dari lelaki itu dan dia sedang bahagia-bahagianya menjalani hari dengan sosok baru. Sosok yang berhasil menjadikan binar mata Puan kembali membaik. Bagus, kehadiran sosok itu berhasil mengikis intensitas murungnya dan segala hal aneh yang menyertainya. Termasuk keanehan saat dia tiba-tiba ketakutan ketika menjumpai hal-hal yang berkaitan dengan lelaki di masa lalunya itu. Ketakutan yang berlebihan, parno yang berkepanjangan dan tentu saja, itu cukup mengganggu psikisnya. Aku yakin itu, tapi, tunggu. Ini kali pertama setelah huru-haranya dengan lelaki brengsek itu berakhir, aku melihatnya kembali murung. Bahkan, lebih murung dan sedih dibandingkan saat dia terkena bara rokok yang dilemparkan lelaki brengsek yang issshhh, muak juga aku lama-lama kalau mengingat apa yang dialami Puan di waktu itu. Hmmmm, entahlah, semoga semua baik-baik saja.

***

"Kak?", sayup suara memanggil terdengar beradu dengan ketukan pintu. Aku melihat jam dan waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari.  Sempoyongan berjalan, aku pun membukakan pintu dan melihat Puan tengah memeluk sebuah bantal dengan mata yang sembab.

"Masuk, Dik! Kau kenapa?" tanyaku yang kemudian menarikkan kursi untuknya duduk.

Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, justru, isak dan air matanya keluar dengan derasnya. Bingung, aku pun memilih untuk diam. Aku tidak akan bertanya soal kenapa karena prinsipku, membiarkan orang lain menuntaskan tangisannya adalah hal yang lebih penting ketimbang memaksanya berbicara. Biar dia tenang dulu, agar dia tidak tertekan saat bertutur.

"Aku bingung harus memulai dari mana, Kak. Aku bingung," lirih ucapannya.

"Kenapa? Apa yang kau bingungkan? Kau kenapa?" selidikku pelan-pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun