Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Sastra Mampu Menjadi Media Kritik?

27 Juni 2020   04:22 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:57 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: gambar: nusantaranews.co

Berbicara soal peristiwa politik di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Bahkan menurut saya pribadi, semakin ke sini, propaganda dan isu yang dipantik oleh oknum penguasa cenderung kian kreatif, unik dan tentu saja menggelitik. 

Upaya defensif dari oknum yang ingin terlihat "butuh kritik rakyat" pun, justru semakin menegaskan bahwa mereka anti terhadap kritik. Buta, semakin jelas terlihat bahwa mereka membutakan diri dan menulikan telinga dari cuitan warganya sendiri. 

Padahal, cuitan yang disuarakan pun bertujuan untuk kesejahteraan bersama sebagai perwujudan butir nomor lima dalam Pancasila yang berbunyi, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata "seluruh" menurut KBBI dapat diartikan sebagai bentuk kesatuan yang utuh. 

Jadi, dapat dimaknai secara luas bahwa kata "seluruh" yang berada dalam butir nomor lima Pancasila merujuk pada semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali. 

Tidak terbedakan oleh agama, tidak terpetakkan oleh suku dan ras, serta tidak terdeskriminasi oleh status sosial. Namun pertanyaanya, apakah kata "seluruh" tersebut benar-benar berlaku dalam realita?

Retoris! Tanpa harus dijawab dengan kalimat panjang yang penuh dengan alibi dan data bodong pun, mayoritas warga di negara ini sudah mengerti bahwa kata "seluruh" adalah ilusi. 

Seolah-olah berlaku dan ada. Namun kenyataanya? Tidak! Tidak sepenuhnya berlaku karena faktanya, selalu muncul drama dengan skenario epik ketika seseorang lantang menyuarakan kritik terhadap penguasa. 

Sebagai contoh, satu kejadian konyol yang masih panas-panasnya diperbincangkan adalah tuduhan yang dilayangkan kepada stand up comedy-an (pelawak) yang memiliki nama panggung Bintang Emon pasca sentilannya terkait putusan dalam kasus Novel Baswedan. 

Bintang yang namanya mulai dikenal publik setelah memenangkan kompetisi lawak tunggal di salah satu stasiun TV nasional kini memang menjadi buah bibir karena sentilan menohoknya. 

Melalui unggahan vidio di IGTV tertanggal 12 Juni 2020, Bintang dengan gaya khasnya pun menyinggung soal hasil putusan pengadilan kepada pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang bisa dibilang sangat tidak masuk akal. 

Vidio yang berdurasi 1 menit 42 detik (dapat diakses melalui pranala https://instagram.com/p/CBVLwMhl6Gg/) ternyata mendapatkan respons yang beragam dari warganet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun