"Apa? Kalau kau tahu aku boru Batak, kau nggak akan kek tadi? Terus berarti, kau berpikiran kalau kau ini bisa seenaknya dengan perempuan di luar sukumu? Iya? Begitunya nalarmu?" kataku.
Dia tertegun.
"Cacat akalmu, Bang! Nggak habis pikir aku! Gini ya, mau dari suku yang sama atau pun tidak denganmu, semua perempuan itu punya hak untuk dihargai dan dijaga. Jangan asal-asalan kau itu, Bang! Udah dewasanya kau, kan? Harusnya pun udah bisa berpikir bijak kau itu!" tambahku.
"Iya, aku salah, Dik. Sorry, sorry banget lah Dik, ya!" jawabnya.
Aku tak peduli. Aku tidak mengiyakan, tapi aku juga tidak menolak permohonan maafnya. Aku hanya nyaman dengan diamku hingga akhirnya, kami pun sampai di kosanku. Tak ada pamit dan ucapan terima kasih, aku lantas turun dari mobil dan bergegas masuk. Setengah berlari aku menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Pecah! Tangisku pecah dan aku langsung menelpon Bang Juntak.
"Abanggggggggg...takutnya aku, Bang! Takut!" ucapku dengan terisak.
"Tenanglah dulu, tenang! Udah di kos kaunya, kan?" respons Bang Juntak.
"Udah, Bang!"
"Syukurlah! Baik-baik aja kau kan, Dik?"
"Ya begitulah, Bang. Masih takut aku, deg-degan ini rasanya. Serem Bang, serem!"