Baru sekitar 500 meter, perasaanku mulai tidak enak. Dua kali sudah tangan kirinya mencoba untuk meraba pahaku yang terlapisi kain berbahan jins.
Sialnya, ponsel lelakiku kehabisan batre. Setengah jam sebelum aku selesai wawancara, dia sudah mengabari kalau sebentar lagi ponselnya mati dan dia lupa membawa powerbank. Sumpah, aku mulai gemetar.
Titik tuju ke arah kosku yang harusnya bisa ditempuh dengan rute cepat, justru diputarnya dan dibuat jauh.
"Kenapa harus lewat jalan Sawunggaling, Bang? Jadi jauhnya ini, kan!" kataku ketus.
"Ya sesekali lah, Dik. Kita nikmati waktu berdua lebih lama, lagian kapan lagi kan bisa berduaan samamu kek gini?" jawabnya dengan intonasi dan lirikan yang menjinjikkan.
Aku benar-benar panik, tapi aku tidak boleh terlihat takut. Kebetulan, aku sedang bertukar pesan dengan karibku yang tengah berada di Medan. Dia bermarga Simanjuntak dan dia pun sudah seperti abangku sendiri. Aku menceritakan kondisiku padanya lewat pesan dan dia mulai mendiktekan skenario licik yang harus aku ikuti jika terjadi hal yang membahayakan.
"Nanti, kalau dia mulai aneh-aneh. Bilang saja kalau kau sebenarnya pun boru Batak. Bilang kau adikku dan lansung saja telpon aku, ya!" inti pesan Bang Juntak.
Belum juga aku selesai membalas pesan tersebut, Tomi menghentikan mobilnya tepat di waduk kampus yang sepi dan minim pencahayaan.
"Kenapanya berhenti?" tanyaku dengan nada yang semakin naik.
"Dik, kalau Abang lihat-lihat, kau ini cantik sebenarnya. Mukamu sensual, bibirmu pun seksi. Nggak kuat Abang lihatnya, Dik!" kata Tomi  yang mulai mendekatkan mukanya ke arah mukaku.
Refleks, aku pun menamparnya. Tak ada perlawanan, dia justru tertawa.