Sumber Foto: https://sumatra.bisnis.com/
Penulis: Afriantoni
Tulisan ini sebenarnya lebih terinspirasi dari hasil wawancara eksklusif Ridwan Kamil pada program Gaspol Kompas.com, Rabu (18/5/2022) tentang masa depan karier politiknya yang terangkum dalam filosofi utama yang dihayatinya selama menjalani kehidupan di dunia politik. Ada 2 (dua) hal yang disebut oleh Ridwan Kamil dalam menjalani karir politiknya: politik tahu diri dan politik akal sehat. Kedua tinjauan politik ini menarik untuk membaca posisi pertarungan politik di Sumatera Selatan (Sumsel). Terutama membaca kemungkinan pertarungan antara Herman Deru Vs Mawardi Yahya.
Untuk sementara kemungkinan ini sangat belum mungkin, karena keduanya memiliki wilayah kerja (Provinsi Sumsel) yang berkinerja baik. Hasil survei Populi Center di Provinsi Sumsel menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Herman Deru dan Mawardi Yahya (HDMY) relatif tinggi. Rata-rata tingkat kepuasan  masyarakat ini berada pada angka 7,58 % dari skala 1-10 dan akumulasi skor 6-10 (positif/puas) atau sebesar 79,9 %. Tingkat kepuasan ini diukur dari kinerja pemerintah provinsi, penilaian terhadap pembangunan, serta penanganan Covid-19. Hal ini berarti bahwa secara hitungan politik keduanya memiliki modal yang sama kuat dengan terus mengkapitalisasi modal politik dengan karakter kedua tokoh masing-masing.
Politik Tahu Diri dan Akal Sehat
Pertama, Politik Tahu Diri. Bertolak dari duet HDMY (Herman Deru-Mawardi Yahya) yang menghantarkan pasangan ini sampai terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel. Terkait "Politik Tahu Diri" ini ada beberapa faktor yang dapat dinilai untuk evaluasi bagi kedua tokoh tersebut.
Faktor pertama, pasangan HDMY sukses bersama dalam membangun Sumsel, namun, sejak awal pasangan ini terkesan kurang harmonis, keduanya jarang sekali terlibat dalam kegiatan yang sama. Bahkan dikesankan pasangan ini sudah pecah sejak awal kepemimpinan mereka baru dimulai tahun 2018. Dalam konteks "Tahu Diri" siapa yang harus tahu diri untuk bertarung dalam kontenstasi 2024. Tentu keduanya harus mengevaluasi diri masing-masing, baik kinerja ataupun melanjutkan berpasangan. Modal keduanya cukup signifikan, namun keduanya harus sama-sama merenung lebih dalam lagi untuk bersama atau berpisah.
Faktor kedua, ada yang meributkan faktor usia. Padahal usia Maward belum mencapai 70 tahun atau secara politik masih bisa laik untuk membangun bangsa ini. Mungkinkah Mawardi Yahya (Wakil Gubernur Sumsel, lahir 2 Maret 1958) akan "Tahu Diri" ketika akan mencalonkan kembali sebagai Calon Wakil Gubernur atau Calon Gubernur dalam kontestasi pertarungan Pemilukada 2024 nanti karena pada tahun tersebut usia Mawardi sekitar 66 (Enam Puluh Enam) tahun. Sebaliknya  Herman Deru (Gubernur Sumsel, lahir 17 November 1967) masih berusia 60 (Enam Puluh) tahun ketika akan mencalonkan kembali sebagai Gubernur Sumsel. Mawardi relatif lebih tua jika dibandingkan dengan Herman Deru yang berselisih usia sekitar 6 (enam) tahun. Untuk itu, terkait usia ini harus dilakukan  pengkajian ulang. Benarkah padangan Mawardi sudah "sepuh" atau "tua" atau "tidak produktif"lagi?. Sekedar catatan baik Deru maupun Mawardi keduanya memang membutuhkan banyak energi dalam bakal pencalonan tahun 2024 nanti.
Faktor ketiga, akankah Mawardi juga "tahu diri" dalam menghadapi dinamika politik dengan partai politik. Mawardi sampai sekarang belum memiliki jabatan dalam struktur partai politik, sehingga belum bisa dipastikan akan kemana beliau berlabuh atau menjadi pengurus partai, mungkinkah Marwadi kembali menjadi Partai Golkar yang saat ini sebagai pemenang Pemilu 2019 untuk wilayah Provinsi Sumsel. Jika dibandingkan dengan Herman Deru yang telah resmi menguasai partai politik yakni Partai Nasdem Sumsel. Walau demikian, pamor Mawardi tetap masih kuat, selain mantan Bupati Ogan Ilir dan Ketua DPRD OKI 2 (dua) periode. Mawardi juga dikenal sebagai politisi kawakan. Mawardi telah banyak pengalaman politik di tingkat lokal dan nasional. Tentu keseimbangan kekuatan kedua tokoh ini harus dipikirkan matang oleh tim yang berada di balik kedua belah pihak.
Sebenarnya perlu disadari "Politik Tahu Diri" oleh kedua belah pihak agar objektif dalam melakukan penilaian diri dan penilaian publik Sumsel. Saat ini tentu pintu untuk meramaikan bursa Bakal Calon Gubernur dan atau Wakil Gubernur Sumsel keduanya terbuka lebar, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada berbagai sosok lain yang bisa saling klaim untuk menguasai pengetahuan publik Sumsel. Tokoh baru yang memiliki kapasitas yang terpendam di persada bumi Sriwijaya. Sebab, hasil survei bukan satu-satunya tolok ukur dalam kontestasi politik, terlebih lagi terkait poluparitas dan elektabilitas.
Kedua, Politik Akal Sehat. Secara akal sehat harus ada pemakluman bahwa setelah tumbangnya "Politik Dinasti Alex Noerdin" yang sampai sekarang tersandung kasus hukum, maka domain politik terkesan ada pada HDMY. Namun apakah keduanya akan pecah menjadi pertarungan kedua kubu atau malah sebaliknya akan kembali berpasangan. Terkait "Politik Akal Sehat" ini ada beberapa faktor yang dapat dinilai untuk evaluasi bagi kedua tokoh tersebut.
Faktor pertama, secara akal sehat posisi kursi di DPRD Provinsi Sumsel sebagai pemenang Pemilu 2019 bukan partai pendukung pasangan HDMY. Posisi pertama dikuasai oleh Partai Golkar. Secara kursi di DPRD Sumsel Partai Golkar mendapatkan porsi terbanyak dengan 13 kursi, disusul PDIP 11 kursi, Gerindra 10 kursi, Demokrat 9 kursi, PKB 8 kursi, PKS 6 kursi, Nasdem 6 kursi, PAN 5 kursi, Hanura 3 kursi, Perindo 3 kursi, dan PPP 1 kursi. Tentu secara akal sehat akan terjadi negosiasi yang alot antar kedua tokoh dan tokoh lintas Partai yang memiliki calon masing-masing, lantas bagaimana HDMY meyakinkan kepada semua partai agar dapat mengusung kembali pasangan HDMY, atau mendukung salah satunya baik Herman Deru maupun Mawardi Yahya adalah sesuatu yang juga bisa dipertimbangkan.
Faktor kedua, keuntungan elektoral. Survei yang digelar pada 9 hingga 15 Oktober 2021 itu juga menyebut Herman Deru menjadi sosok yang paling populer (96%) bagi warga Sumsel. Selanjutnya ada Syahrial Oesman (73,5%), Dodi Reza Alex Noerdin (70,5%), Mawardi Yahya (58,3%), dan Eddy Santana Putra (55,9%). Adapun popularitas tokoh lainnya berada di bawah 40%. Sedangkan untuk partai politik yang mendukung Herman Deru partai PDIP (67 %), partai Gerindra (70,5 %), Golkar (61,7 %), PKB (69,6 %), Nasdem (78,6 %), PKS (74,1 %), Demokrat (63,0 %), PAN (80,0 %), dan PPP (75,0 %). Temuan hasil survei ini bersifat indikatif mengingat jumlah responden yang terbatas.
Sampai sekarang faktor elektoral dan polularitas masih dipimpin oleh Herman Deru (96%), sedangkan sosok Syahrial Oesman, Mawardi Yahya, Dodi Reza Alex Noerdin, Anita Noeringhati, Giri Ramadhan Kiemas, Kartika Sandra Desi, Cik Ujang, atau bahkan mulai bakal calon lain: Eddy Santana Putra, Ishak Mekki, Harnojoyo, Prana Putra Sohe, dan mungkin Iskandar, Heri Amalindo, atau Joncik Muhammad. Semua nama-nama tersebut terus bergulat dalam situasi yang berbeda-beda.
Faktor ketiga, perlu disampaikan sampai sekarang belum ada survei terbaru, karena priositas pelaku politik yang terpenting adalah menyukseskan kontestasi Pemilu yang diselenggarakan lebih awal yakni Februari 2024. Kontestasi kemenangan Partai akan berdampak pada pencalonan dan dukungan politik pada Pemilukada Serentak yang akan dilaksanakan akhir 2024, kecuali pelaku politik mengandalkan kerja politik melalui jalur independen untuk meraih hati masyarakat.
Berdasarkan filosofi politik akal sehat, membuatnya antusias terhadap tantangan di depan.. Sebetulnya keduanya punya kans besar untuk menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur untuk 2 periode. Namun, peluang Mawardi melawan Herman Deru juga terbuka untuk tidak bersama-sama lagi. Atau keduanya berpisah dengan pasangan berbeda, atau salah satunya pensiun dengan menggantung "sepatu politik" dan keluar dari arena lapangan pertarungan politik Sumsel.
Pilih Deru atau Mawardi?
Dalam kerangka kedua tokoh politik di atas, maka sesungguhnya mereka berdua harus terus melakukan kerja politik, mesin politik dihidupkan, dan menunjukkan prestasi ke publik. Untuk mendongkrak elektabilitas, maka mereka harus mampu mengkapitalisasi peristiwa politik dan program yang dilakukan dengan kapasitas dan pengetahuan yang luar biasa. Kalau secara spesifik, maka  harus ada 'mapping politic' ulang apa yang harus dilakukan untuk memberikan warna dan hidangan baru dalam menghadapi kontestasi tahun 2024 nanti.
Dalam konteks pemilihan, sudah seyogyanya semua Bakal Calon Gubernur - Wakil Gubernur Sumsel harus mampu melakukan komunikasi politik secara luas, masif dan sistematis. Selain itu, semua para bakal calon Gunernur-Wakil Gubernur  harus menunjukkan kinerja yang bagus dan berpihak kepada masyarakat sehingga mampu mendongkrak elektabilitas masing-masing bakal calon. Para bakal calon harus melakukan kerja yang harus memiliki efek langsung kepada masyarakat, termasuk memasifkan dan sistematiskan strategi komunikasi politik sehingga memiliki elektoral yang signifikan segala penjuru di wilayah Sumsel.
Dari rangkaian uraian di atas, dapat disampaikan bahwa baik Herman Deru maupun Mawardi Yahya harus mempertimbangkan "Politik Tahu Diri" dan "Politik Akal Sehat" agar mereka tangguh dan mengambil keputusan secara tepat dalam menghadapi Pemilukada 2024. Sampai sekarang tahun 2022 harus diakui bahwa pasangan Herman Deru dan Mawardi Yahya adalah pasangan tangguh dan unggul dibandingkan dengan lawan-lawan politiknya saat ini.Â
Hal berbeda tentu saja, jika Mawardi tidak lagi mendampingi Herman Deru dengan alasan tertentu, "terlalu tua" atau "sepuh", atau  "pensiun" yang lebih memberikan jalan kepada 'yang lain' atau bahkan berlawanan kepada Herman Deru, maka kekuatan Herman Deru agak sedikit berkurang, yang tentu popularitasnya dan elektabilitas akan terpecah dan terganggu.
Walaupun demikian, untuk saat ini agak sulit untuk mengalahkan popularitas dan elektabilitas Herman Deru sebagai incumbent yang dinilai masyarakat kinerja, program, dan capaian yang positif di mata publik. Namun, pada dasarnya para pemilih di wilayah Sumsel juga lebih pragmatis dalam urusan menentukan pilihan. Baik melalui pertimbangan kepartaian, keunggulan figur/kandidat, atau arahan tokoh yang mempengaruhi pilihan. Semua pragmatisme tersebut masih menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan calon Calon Gubernur-Wakil Gubernur mendatang. Hal ini barangkali disebabkan masih kuatnya dinasti politik dan simpul patronase dalam menentukan pilihan di wilayah Sumsel. Dalam hal waktu menuju pencalonan masih cukup sekitar 1,5 tahun untuk merenung, berhitung, menimbang, dan memutuskan dalam kerangka Pemilukada 2024 agar tetap berjalan dengan damai, dan  kondusif, menghasilkan pemenang sesungguhnya. Terakhir, semua keputusan terserah masyarakat Sumsel semua, Pilih Deru atau Mawardi? Atau keduanya kembali maju berpasangan. (Afriantoni-Pemerhati Politik di Sumatera Selatan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H