Mohon tunggu...
Afriantoni Al Falembani
Afriantoni Al Falembani Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan Aktivis

Menulis dengan hati dalam bidang pendidikan, politik, sosial, fiksi, filsafat dan humaniora. Salam Sukses Selalu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Pendidikan dan Strategi Pembiayaan APBD Pendidikan Daerah

24 Juni 2021   15:09 Diperbarui: 24 Juni 2021   15:59 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini wacana yang santer beredar di media sosial dan media mean stream adalah rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sektor pendidikan yang diwacanakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, beberapa instrumen yang akan dikenakan pajak, salah satunya adalah sektor pendidikan.

Begitu isu PPN sektor pendidikan muncul ke permukaan publik langsung menuai polemik. Berbagai penolakan dari tokoh masyarakat, ahli, pakar, partai politik, dan organisasi masyarakat. Salah satu ulama terkemuka Yusuf Mansur mengatakan bahwa "NU dan Muhammadiyah udah nolak. Lah kalau 2 lembaga yang lebih gede dari gaban ini udah nolak, masa iya pemerintah dan kementerian terkait jalan terus? Rada ga mungkin. Agaknya, dua lembaga ini, harus digedein lebih lagi". Intinya, beliau mewarning pemerintah dan menilai tidak ada celah bagi pemerintah untuk menerapkan PPN pada jasa pendidikan, apalagi ditolak oleh dua ormas seperti: Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah yang menolak rencana ini.

Menurut mereka dampak paling serius dari adanya PPN pendidikan adalah bakal bertambah mahalnya biaya pendidikan. Sebab, PPN jasa pendidikan yang dikenakan pajak pada lembaga pendidikan pada akhirnya akan dibebankan kepada wali murid atau pemakai jasa, sehingga dapat disimpulkan arahnya biaya pendidikan semakin mahal.

Disisi lain, pada masa pandemi Covid-19 merupakan ancaman yang sangat nyata dalam penyelenggaraan pendidikan. Pandemi Covid-19 berdampak lembaga pendidikan ditutup, kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring, para siswa dan guru tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Akibatnya banyak siswa yang akhirnya kehilangan motivasi belajar dan menyebabkan terjadinya learning loss dan sehari-hari sibuk dengan games dan bermain sepanjang hari.

Seluruh pembiayaan pendidikan di atas, baik menyangkut gaji para guru/dosen, infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, ataupun kebutuhan pendidikan lainnya sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Hal ini berarti bahwa pemerintah perlu pendapatan ekstra untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu sumbernya adalah pajak pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok publik yang seyogyanya disediakan secara gratis oleh negara.

Untuk itu, diperlukan perluasan basis pajak yang dinilai menjadi solusi untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Direktorat Jenderal Pajak berusaha memberi penjelasan melalui akun resmi instagram resmi dinyatakan bahwa "Pemerintah tetap mengedepankan asas keadilan untuk setiap kebijakan perpajakan termasuk pengenaan PPN atas sembako ini". Karena itulah, wajar kiranya pihak pemerintah menawarkan perlunya pajak pendidikan sebagai solusi dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.

Terlepas dari sepakat atau tidak sepakat, mendukung atau tidak mendukung terkait pajak pendidikan. Tentu rencana pihak pemerintah dapat dipikirkan Kembali karena sangat penting guna menambah pendapatan negara yang terkontraksi akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir sebagian negara membuat guncangan keuangan atau shock budget di dunia. Dalam implementasinyan pajak pendidikan perlu mendapat dukungan seluruh elemen negara dan harus digerakkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektornya.

Biaya Pendidikan di Masa Pandemi

 Sudah lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Akibarnya, banyak sektor yang terdampak sejak pemerintah menyatakan Covid-19 menjadi wabah di Indonesia. Sektor ekonomi, kesehatan, industri, pariwisata, hiburan bahkan pendidikan pun tidak luput juga ikut terdampak.

Akibat Covid-19 pada pendidikan, maka pembelajaran dilaksanakan secara daring, namun tanpa dukungan fasilitas memadai. Namun, pada nyataannya layanan pendidikan menjadi semakin hari semakian tidak merata. Sebagai contoh, sekolah-sekolah yang tergolong elit atau secara ekonomis mampu membeli peralatan teknologi komunikasi yang memadai. Mereka tentu memiliki fasilitas pembelajaran lengkap tentunya tidak kesulitan memenuhi kegiatan pembelajaran secara daring. Sementara di sisi lain, sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas akan sulit memenuhi kegiatan pembelajaran. Sementara bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis untuk membeli sarana prasarana tersebut, akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pembelajaran secara daring.

Padahal, secara aturan negara pada pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Ayat ini sangat jelas bahwa aturan perundang-undangan negara sangat peduli terhadap pendidikan. Pemerintah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga negara, utamanya pada situasi sulit, atau situasi negara yang belum memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun