Mohon tunggu...
Afriantoni Al Falembani
Afriantoni Al Falembani Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan Aktivis

Menulis dengan hati dalam bidang pendidikan, politik, sosial, fiksi, filsafat dan humaniora. Salam Sukses Selalu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi, Demokrasi, dan Hukuman Mati

14 Juni 2021   13:25 Diperbarui: 14 Juni 2021   13:43 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gambar Kartun diambil dari lokadata.id

                                                                                  

Akhir-akhir ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa penegakan hukum korupsi semakin menurun. Korupsi di negeri ini seolah lumrah, karena balut aturan administrasi yang menggiring ke arah sana. Pendapat, pengkebirian lembaga KPK dimulai dari dulu dalam berbagai kasus yang ada, ditambah lagi dengan dibentuknya Dewan Pengawas KPK, kemudian seleksi calon pegawai KPK dengan wawasan kebangsaan serta orientasi pencegahan bukan pemberantasan korupsi. Semua ini bagian fenomena yang dapat diikuti perkembangannya kemana arah KPK di masa yang akan datang.

Pendapat lain yang bermunculan bahwa demokrasi juga menurun karena banyak sekali target dalam bernegara yangtidak tercapai karena demokrasi yang belum tuntas.  

Demokrasi adalah salah satu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh pemerintah. 

Semua masyarakat bernegara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. 

Dengan demikian harus diakui bahwa sistem demokrasi Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.  

Adapun ciri penerapan demokratis antara lain: 1) Keputusan yang diambil oleh pemerintah untuk rakyat, 2) Apapun yang dibuat dan ditujukan untuk rayat harus sesuai dengan peraturan, 3) Adanya perwakilan rakyat, yaitu DPR, dan 4) Terdapat sebuah sistem kepartaian. Ciri ini secara umum nyata namun dalam prakteknya rakyat dijadikan objek penderita yang tidak bisa dimaafkan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa demokrasi Indonesia mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktek kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu pemakaian sistem demokrasi  ditemukan dari banyaknya agama dan juga banyaknya suku, budaya dan bahasa. 

Kenyatannya, antara KPK sebagai lembaga dengan sistem demokrasi saling membutuhkan dalam kerangka proses demokrasi yang berbiaya tinggi atau high cost poiltic yang akhirnya banyak melahirkan para korupotor karena kekuasaan yang kuat dimiliki oleh para pengambil kebijakan dalam menjalan progam dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. 

KPK, Demoktasi, dan Koruptor: High Cost Politic

Sebagaimana uraian di atas, kondisi ini tidak dapat dielakkan karena sudah menjadi budaya yang mengakar rumput. Sehingga, kondisi ini memang miris, karena pada prakteknya korupsi di Indonesia belum move on. 

Hampir seluruh lini kehidupan di Indonesia masih mempraktekkan korupsi dengan nominal berbeda. Mulai dari level desa/kelurahan sampai kementerian pusat. Semua seolah menjadi budaya yang sulit untuk dibrantas secara menyeluruh. 

Sebenarnya gangguan dan upaya-upaya untuk pelemahan terhadap KPK bukan hanya terjadi sekarang ini, itu setidaknya dari awal KPK berdiri sudah ada ganguan-gangguan dan upaya untuk melemahkan tapi sifatnya masih kecil, sampai terakhir pelemahan KPK melalui  Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ada  75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK sebagai syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN)  termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Kemudian skenario sejumlah pegawai KPK sempat mengalami ancaman saat menangani perkara korupsi. 

Sangat disayangkan para ahli dalam bidang penyidikan, keuangan dan pembiayaan justru menjadi konsultan yang "menyesatkan"dalam penggunaan anggaran. Mereka berlaku seolah persoalan keuangan dapat dilaksanakan. Tetapi, keahlian keuangan, ekonomi dan pelaporan justru seolah pahlawan dalam mengeruk keuntungan keuangan baik pusat maupun daerah. Sehingga budaya korupsi tetap ada.

Kerusakan demokrasi ini sebenarnya juga disebabkan sistem demokrasi yang berjalan saat ini. Menempatkan rakyat sebagai orang bodoh yang suka uang. Uang beredar setiap pesta demokrasi akan digelar. Hampir semua calon dan pemain politik bermain uang baik ranah masyarakat langsung maupun ranah lembaga hukum. Praktek mereka disorot sehingga harus berhati-hati walau mau sama mau. Sehingga netralitas penegak hukum tidak bisa dipegang secara langsung.

Banyangkan, sampai sekarang banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi dan  masuk penjara karena terjerat korupsi. Hal ini menandakan ada kesalahan mendasar dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita. Karena itu, pemerintah dan seluruh lembaga terkait harus melakukan perubahan total terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi yang selama ini memiliki biaya sangat tinggi (high cost ). 

Masih banyak penyebab mengapa kepala daerah melakukan korupsi. Mulai dari gaya hidup yang cenderung hedonis, kurangnya pemahaman agama secara benar hingga budaya korupsi yang sudah mengakar di masyarakat.  kasus kepala daerah, yang menjadi penyebab utama adalah pelaksananaan sistem demokrasi langsung di Indonesia.

Salain itu, pihak swasta yang berkepentingan dengan anggaran pemerintah juga turut andil untuk pembodohan rakyat. Sehingga rakyat sebagai objek penderita yang empuk sebagai mangsa para calon setiap pergantian kepemimpinan baik lokal maupun nasional. , biaya politik yang sangat tinggi. 

Bayangkan untuk menjadi kepala daerah seseorang harus mengeluarkan biaya besar. Contoh, untuk pemilihan gubernur saja bisa sampai menghabiskan dana Rp350 miliar hingga Rp 1 triliun. Padahaldiketahui gaji gubernur sangat jauh dari itu. Sehingga logikanya, setelah terpilih para kepala daerah itu akan berpikir bagaimana mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya tersebut. 

Mereka pun akhirnya melakukan segala cara untuk mengembalikan biaya politik yang dikeluarkannya tadi. Belum lagi, dia juga harus mengumpulkan dana yang besar untuk ikut pilkada lagi untuk periode kedua. Karena itu, sangat beralasan jika mereka akhirnya mati-matian mencari cara instan mendapatkan uang, dengan cara korupsi. Tentu tidak bisa dipungkiri, pilkada langsung memang secara demokrasi sangat baik, bahkan siapa pun yang terpilih bakal memiliki legitimasi yang tinggi di masyarakat. Namun, yang perlu dipikirkan lagi adalah dampak negatifnya bagi kelangsungan bangsa ini.

Hukuman Mati: Solusi untuk Negeri

Di tengah situasi yang tidak menentu ini perlu solusi yang cerdas untuk dititipkan kepada pemimpin masa depan pasca 2024 dan seterusnya. Walaupun usaha perbaikan masih terus berlangsung dengan berbagai dinamikanya, tetapi keberanian bangsa Indonesia bertindak tegas untuk memberantas koruptor patut dipertimbangkan dengan baik dan seksama. 

Pertama, evaluasi menyeluruh program pro rakyat. Evaluasi akan berdampak perubahan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Tentu kecermatan dalam membangun negeri harus diperhatikan. Mulai dari bagaimana penerapan demokrasi yang jujur dan kelahiran bukan karena iming-iming duniawi. Harus diimbangi oleh tim yuang serius dalam membangun kebangsaan yang bermartabat.

Kedua, hukum mati koruptor. Untuk mengembalikan marwah kehidupan berbangsa dan kemajuan, maka aspek hukum mati bagi koruptor harus segera dieksekusi. Korupsi adalah perbuatan yang merugikan Negara / Umum untuk kepentingan pribadi. Bisa dilakukan dalam bentuk penyelewengan jabatan, wewenang ataupun memberikan laporan palsu tidak sesuai dengan kenyataan. Pada koruptor terdapat sifat negatif yang menonjol yaitu: Ketamakan, Ketidakjujuran, Perasaan tega melihat orang lain menderita. Dari ketiga sifat inilah berkembang menjadi penipu, pemerasan, suap, penggelapan dan pengkhianatan. Dengan defenisi tersebut, wajar seorang koruptor dihukum mati. Secara moral bangsa Indonesia  sudah terpuruk di segala bidang, karena   masih banyak para pejabat birokrat masih dengan tegah hati dan nekad melakukan korupsi secara besar-besaran sampai mencapai milyar bahkan triliyun. 

Ketiga, menguasai tiga pilar sektor pro rakyat: listrik, pendidikan dan kesehatan. Ketiga sektor ini harus dikuasai dan dibiayai negara. Seluruh rakyat Indonesia menikmati gratis ketiga aspek ini dengan standar yang sama dan merata.

Mengakhiri tulisan ini, ditegaskan bahwa tulisan ini sebenarnya hanya sebuah renungan untuk mempertanyakan kembali bagaimana bangsa kita bisa maju. Kemajuan hakiki adalah memberantas korupsi dengan cara "tangan besi" dan dimulai dari daerah dan nasional. Bukan simbolik tetapi benar benar untuk kemajuan bangsa. Intinya, kondisi ini bisa dibiarkan terus  menerus. Setidaknya, harus ada solusi permanen.  Selanjutnya, perlu pengkajian secara lebih baik dan tidak bisa menutup mata bahwa demokrasi langsung telah membuat politik berbiaya tinggi yang terbukti telah menyuburkan korupsi. Semoga semuanya bisa duduk bersama mencapai bangsa Indonesia yang jujur dalam menjalankan demokrasi. 

* Afriantoni (Tenaga Pengajar UIN dan Pengamat Sosial Masyarakat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun