Maka tidak salah jika keinginan sepele ini bisa dihubungkan peranan gotong royong dalam masyarakat biasanya memang sangat berguna membuat tujuan berhasil kita. Tujuan yang merujuk pada pembangunan negara. Dari siapa, untuk siapa dan akan seperti apa. Jika sudah disamakan sesuai dengan peranan yang ada, pastinya gotong royong akan menjadi lebih berhasil. Karena semua yang ada sudah sama dengan tujuan yang diinginkan.
Dan jika ada, salah satu instansi pemerintah yang mencanangkan program ini dengan baik. Bisa jadi Indonesia akan semakin maju. Terlebih dari sektor pajak. Karena sesuai yang kita ketahui, pajak yang sudah peranan aktif ini sudah mampu memperlihatkan manfaatnya bagi beberapa sektor pembangunan di Indonesia. Tapi apa mungkin? Pajak kita, yang 30.000 rupiah itu? Ya, mungkin saja. Pajak kita memang kecil, namun ketika semua nilai pajak terkumpul dengan cara gotong royong dan patuh dalam melaporkan secara rutin, keinginan sepele dan pajak kecil kita, bisa menjadi sesuatu yang besar untuk pembangunan dan bisa terwujud.
Gimana? Kok gak ngerti ya. Begini Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pertumbuhan penduduk yang selalu bertumbuh berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus ( SUPAS) 2015 dan sudah disesuaikan dengan data BPS, berjumlah sebanyak 269,6 Juta. Dengan jumlah penduduk laki-laki 135,34 Juta dan penduduk perempuan 134,27 Juta. Tentu saja hasil tersebut didominasi oleh 3 provinsi yaitu Jawa Timur (39,96 Juta), Jawa Tengah (34,74 Juta) dan Jawa Barat (49,57 Juta) dengan hasil yang paling tinggi, hampir 46%. Sementara jumlah penduduk dengan perolehan terendah adalah Kalimantan Utara (710 Ribu), Papua Barat (990 Ribu) dan Gorontalo (1,19 Juta). Sementara berdasarkan kelompok usia, jumlah usia produktif 15-65 tahun mencapai 185,22 Juta atau sekitar 68,7% dari total populasi. Dan kelompok usia yang belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 66,05 Juta atau 24,5% lalu kelompok usia yang sudah tidak produktif ( di atas 65 tahun) sebanyak 18,06 Juta atau 6,7% dari total populasi. Sehingga angka ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 45%. Artinya Indonesia masih berada dalam era demografi, dimana jumlah produktif lebih besar daripada jumlah penduduk tidak produktif.
Belum lagi dengan pernyataan proyeksi dari Bappenas, BPS dan United Nations Population Fund (2013) yang telah menyebutkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia 2010-2020 diperkirakan hanya menciut 1,1%. Atas dasar proyeksi itulah yang menjadi pegangan bank Dunia, ketika membuat laporan tentang angka pertumbuhan penduduk dunia 2018. Karena dalam laporan itu terlihat bahwa LPP Indonesia sudah di bawah LPP Global yang terus bergerak dari angka 1,25% menuju 1,1% di tahun 2020 dan hasil pernyataan yang sangat bagus. Bukan tidak mungkin lagi kalau Indonesia bisa menjadi hebat hanya karena hal sepele. Sungguh, dalam satu lingkup itu saja bisa benar-benar bisa membuat Indonesia maju. Karena coba saja dikalikan dengan pendapatan non UMR yang dimiliki usia produktif yang sadar akan pajaknya. Pasti sudah bernilai lebih. Belum lagi dengan sektor-sektor pajak yang lain selain pendapatan karyawan.
Realisasi Penerimaan Pajak 2019 termasuk penyebabnya.
Namun sayang dari semua jumlah penduduk dan sektor perusahaan yang ada jumlah realisasi penerimaan pajak tidak seperti yang dibayangkan. Karena ternyata ada saja yang membuat penurunan dalam penerimaan pajak. Sesuai dengan laporan dari Kementerian Keuangan, yang mencatat penerimaan pajak di tahun 2019, mencapai 1.332, 1 trilliun dan lebih rendah 1,4% dari pertumbuhannya di tahun 2018. Karena penerimaan pajak baru mencapai 84,4% dari target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar 1,577,6 trilliun, yang artinya pada tahun 2018, realisasi penerimaan pajak sebesar 245,5 trilliun. Sehingga wajar jika disimpulkan lebih tinggi di tahun 2018 sebesar 110, 7 trilliun. Dan realisasi penerimnaan itu ditopang PPh non migas yang tumbuh 3,8% dengan nilai Rp711,2 triliun, namun pertumbuhan PPh migas tercatat turun 8,7% dengan nilai Rp89,3 triliun.
Pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) juga turun 0,8% dengan nilai Rp532,9 triliun. Sementara, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat tumbuh 10,7% yakni mencapai Rp28,9 triliun.Turunnya penerimaan PPh migas, menurut Sri Mulyani, tak terlepas dari menguatnya nilai tukar rupiah, turunnya harga ICP, serta tak tercapainya lifting migas di 2019. "Jadi kalau lihat dari sisi produksi lebih rendah, harga lebih rendah, dan kurs Rupiah lebih kuat, jadi penerimaan dari migas mengalami tekanan karena ketiga hal itu," imbuhnya.
Menurutnya, sektor yang paling terdampak dari ketidakpastian ekonomi global adalah pertambangan dan manufaktur. Sehingga, penerimaan kedua sektor itu mengalami penurunan tajam pada tahun ini. Penerimaan pajak di sektor pertambangan tercatat mencapai Rp66,12 triliun, turun 19% dibandingkan tahun 2018. Pada sektor manufaktur tercatat sebesar 365,39 triliun, turun 1,8% dibanding tahun sebelumnya.
"Manufaktur dan pertambangan turun paling dalam. Ini yang menyebabkan penerimaan pajak kita rendah," katanya.
Adapun untuk sektor perdagangan tercatat tumbuh 2,9% dengan realisasi sebesar Rp246,85 triliun, jasa keuangan dan asuransi tumbuh 7,7% dengan realisasi sebesar Rp175,98 triliun, konstruksi dan real estat tumbuh 3,3% sebesar Rp89,65 triliun, serta transportasi dan pergudangan tumbuh 18,7% sebesar Rp50,33 triliun. Tapi tahukah kamu, sesuai dengan artikel yang berada di Kompas.com, penyebab realisasi penerimaan pajak tak capai target ada 5 penyebabnya. Seperti yang dijabarkan oleh Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Pertama, kondisi perekonomian global yang berdampak ke harga komoditas.
"Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (7/1/2020).