Matahari yang sudah seharian menemani dengan 32 derajatnya sudah tenggelam di balik jendela dapurku. Hari sudah mulai memasuki malam tapi aku belum mendapatkan makan siangku. Tidak, bukannya aku tidak mau atau tidak nafsu. Hanya saja tidak ada lauk yang bisa membersamai nasi di piring.
Namun, mau bagaimana lagi? Lambungku sudah menjerit, aku harus makan! Aku lihat di kulkas ada beberapa butir telur, sekeranjang sawi hijau yang sudah dipotong-potong, dan semangkuk sambal. Tidak perlu pikir panjang, langsung saja aku membuat seporsi nasi goreng.
Setelah nasi goreng disajikan, tiba-tiba sepupuku pengidap Autism Spectrum Disorder (ASD) Sanna yang sekarang harus menjadi bagian dari keluargaku melangkah memasuki dapur dan ikut membuat seporsi makanannya sendiri. Tidak perlu repot, dia cukup membuat telur dadar andalannya. Kami makan diwaktu yang sama.
Tidak lama selesai aku menghabiskan makanku, maghrib berkumandang. Langsung saja aku menyegerakan untuk sholat. Lepas sholat, Ibu pulang dari pekerjaannya membawa sekotak nasi yang tidak mampu Ibu habiskan.
Tok..Tok..Tok... "Assalamu'alaykum.." Salam Ayah yang baru saja pulang dari Masjid.
"Wahh, apa tuh? Ayah mau dong." Ucap Ayah sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Tidak jauh dari pintu, ada sepupuku Sanna sedang duduk. "Sanna udah makan?" Tanya Ayah yang begitu masuk melihat Sanna sedang menatap dirinya dicermin ruang tengah.
"Belum." Jawab Sanna.
Aku yang mendengarnya dari kamar seketika kaget. Sudah jelas-jelas dia baru saja makan. "Yeuu, udah makan jugaan, Sanna..." Belum selesai aku berbicara Ayah langsung memotong.
"Stt.. stt.. stt.. udah." Potong Ayah dengan nada tinggi
"Udah, Yah, Sanna udah makan. Orang Sanna makan bareng aku." Lanjut aku yang tidak mau kalimat aku terputus sebagai bentuk protes karena Ayah tidak mau mendengarkan aku hingga selesai.