Mohon tunggu...
Afnan Iliya Tsabita
Afnan Iliya Tsabita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku, film, hiburan, curhat, edukasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kamu, dan Kotak Itu

13 Mei 2023   07:49 Diperbarui: 13 Mei 2023   07:50 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebesar apapun keinginan kita untuk mencapai sesuatu, kalau Tuhan tidak mengizinkan kita bisa apa? Kamu tahu? Banyak hal yang kita dapatkan di dunia ini, tapi hal yang terbaik tetaplah atas pemberian-Nya. Kalian juga harus tahu bahwa langkah yang sudah kita tapaki selama ini adalah berkat skenario dari-Nya. Untuk itu jangan lupa berterima kasih kepada-Nya tentang semua manis pahitnya kehidupan yang sudah kita jalani hingga saat ini.

Kamu dengan jalanmu, aku dengan jalanku. Kita dengan jalan kita masing-masing.

Aku memilih berlayar ke barat, kamu memilih berlayar ke timur. Kamu dengan kesibukkanmu, aku dengan kesibukkanku. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku lakukan dan begitu juga aku kepadamu. Tapi apakah kamu tahu bahwa bumi itu bulat? Jika kamu berlayar ke arah barat maka suatu saat nanti kamu akan bertemu denganku yang berlayar ke arah timur. Apakah kamu sadar akan itu? Akan aku cari titik itu dan menunggu supaya kita bisa bertemu.

Aku tidak mengharapkan kamu untuk berubah menjadi lebih tampan atau lebih kaya. Aku harap kamu juga mengharapkan hal yang sama. Tidak perlu pelukan, tidak perlu salaman, tidak perlu bingkisan. Aku hanya berdoa bahwa kelak saat kita dipertemukan kembali, kamu dalam keadaan sehat.

Hai, kamu yang di sana. Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah duduk di balik komputer besar? Apakah kamu sudah berbalut jas? Ataukah kamu masih mencarinya? Aku tidak peduli, yang terpenting adalah kapalmu terus berlayar walaupun dihantam badai dan topan sekalipun.

Sudah lama ya kita tidak berjumpa, sejak foto wisuda di aula sekolah sepuluh tahun yang lalu. Apakah kamu masih ingat kejadian tahun kedua kamu menjadi anak baru di sekolah kita? Kenangan itu kini menjadi memori indah di kepalaku, salah satu kenangan yang masih aku ingat bahkan melekat sampai detik ini. Mungkin akan terdengar gila jika aku bilang bahwa aku merindukan saat itu, tapi itu sungguh membuatku merindukannya.

Waktu itu bel berbunyi tanda kegiatan belajar mengajar dimulai. Kamu masih duduk manis di depan ruang guru menunggu Bu Hena datang menggandengmu. Kemeja putih yang kamu kancing hingga ke ujungnya, rambut yang dibelah di tengah, celana yang sedikit kepanjangan, dan kaos kaki yang melorot. Ahhh, lihatlah betapa culunnya dirimu saat itu.

Tidak lama kemudian Bu Hena datang dengan senyum manis di bibirnya. "Zundani Arifin? Yuk sini ikut Ibu," ucap Bu Hena sambil mengulurkan tangannya yang lembut. Kamu yang masih polos hanya mengangguk dan menyambut uluran tangan Bu Hena.

Tidak bisa dipungkiri bahwa suasana kelas sesaat setelah bel masuk masih saja ricuh. Ada yang pamer tas baru, ada yang masih mengerjakan PR, bahkan ada yang masih melanjutkan mimpinya. "Assalamu'alaykum, selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Hena begitu masuk kelas. Bak mantra ibu peri, semua anak di kelas langsung sunyi. Seketika semuanya langsung kocar-kacir kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Anak-anak, kita kedatangan teman baru nih," ucap Bu Hena di depan kelas, kemudian mengaba-abakan padamu untuk memperkenalkan diri.

"Ha.. halo, na.. nama s..s..saya Zun..dani Arifin," ucapmu gagap. Hey, kamu tahu bagaimana reaksiku saat itu? Jujur saja, saat itu rasanya aku ingin meledak dan berbagi tawa dengan yang lainnya. Hari itu kamu resmi menjadi bagian dari temanku, teman kita bersama.

Sepertinya kamu tidak mudah beradaptasi, ya? Kamu mulai berani membaur dengan yang lainnya setelah sebulan belajar di sekolah ini. Aku juga ingat mengapa kamu sulit untuk beradaptasi? Waktu itu aku datang ke ruang guru untuk memanggil Pak Arya untuk segera memulai pelajaran olahraga, aku melihatmu duduk empat mata dengan Bu Hena. Aku dengar dengan jelas bahwa suaramu bergetar seakan seperti orang menangis. Kamu masih belum lancar membaca, itulah mengapa kamu sulit untuk beradaptasi. Malu.

Tapi yang ingin aku ceritakan itu bukan kamu, bukan aku, tapi kita.

Setahun berlalu, kita sama-sama naik kelas kan? Akhirnya kamu juga sudah lancar membaca dan sudah berani berbicara di depan kelas. Bahkan kamu mengambil posisiku sebagai ketua kelas.

Teeeeet... teeeet... teeet... bel berbunyi tanda kegiatan sekolah usai. Bagaikan domba yang di lepas dari kandangnya, semua murid berhamburan keluar sekolah memeluk para tukang kelotokan dan pedagang keliling yang sudah menanti di luar gerbang.

Kamu tahu bahwa isi saku celanamu kosong, kamu melirik ke kanan dan ke kiri. Ayahmu belum menjemput. Kamu segera melangkah maju menghampiri tukang kelotokan dengan begitu banyak mainan terpampang di gerobaknya.

"Bang, ini harganya berapa?" Tanyamu pada Si Abang tukang kelotokan.

"Enam rebu dek, mao?" Jawab abang itu seraya bertanya kembali.

"Enggak Bang, cuma nanya,"

Uang enam ribu untuk anak seusiamu bukan hal yang sedikit, butuh tiga bahkan tujuh hari untuk mengumpulkannya. Kamu mengurungkan niat untuk membelinya saat itu.

Satu hari, dua hari, tiga hari. Kamu terus melihat benda yang sama di tukang yang sama dan dengan pertanyaan yang sama "Bang, ini harganya berapa?" Tapi kamu tak kunjung membelinya, mengingat uang di saku celana masih kurang. Hingga suatu saat uang untuk membeli benda itu terkumpul. Kamu dengan senangnya berlari keluar sekolah begitu bel pulang berbunyi. Namun ada hal yang membuat langkahmu terkunci, abang tukang kelotokan tidak ada. Kamu sedikit kecewa dan berusaha untuk sabar walaupun kamu sudah tidak sabar untuk memilikinya.

Satu hari, dua hari, tiga hari. Abang tukang kelotokan tak kunjung mangkal di depan sekolah lagi. Kamu mulai sedih menatap lapak tempat abang tukang kelotokan mangkal itu kosong.

"Heh, Jun, ngapain? Bengong wae," ucap Haki dari belakang.

"Eh, ga.. gapapa kok Hak. Lagi nunggu jemputan aja," jawabmu bohong, padahal saat itu kamu masih menunggu kehadiran si abang tukang kelotokan.

Jawabanmu hanya dibalas "oh" oleh Haki.

"Haki. Kamu bisa jaga rahasia gak?" Tanyamu tiba-tiba pada Haki.

Haki mengangguk dan kamu segera mendekatkan mulutmu ke telinga Haki. Haki yang mendengar bisikan itu tersenyum. "Ada kok di deket rumah Aku, sini mana uangnya biar Aku aja yang beliin," ucap Haki dengan senang hati.

Esok harinya di jam istirahat kamu mengendap-endap menghampiri Haki.

"Hak, gimana? Ada?" Tanyamu dengan suara berbisik.

"Oiya, ada di tas," jawab Haki kemudian kembali ke kursinya, mengambil benda pesananmu.

"Wahhh, makasih ya, Hak."

Begitu Haki pergi dan kelas kosong, kamu langsung melanjutkan misi yang sudah sepekan lebih tertunda. Diam-diam kamu mengendap-endap menghampiriku. Kamu berdiri di balik pagar pembatas antara kantin dan lapangan.

"Nei.. Neilaaa, sini deh," bisikmu tepat di telingaku membuat aku sangat kaget.

"Astaghfirullaaaahh!!!" Seruku kaget membuat teman-temanku ikut menoleh ke arahmu. Kamu sedikit bergidik merasa gagal melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

"Ngapain?" Tanyaku yang masih sibuk dengan makanan yang ada di hadapanku.

"Sini dulu ikut sebentar"

"Gak mau," ucapku ketus.

"Sebentar aja kok, beneran deh."

"Kalo dibilang gak mau, ya gak mau. Gak usah maksa," lagi-lagi aku ketus.

Kamu menyerah merayuku untuk mengikutimu walau hanya sebentar. Kamu kembali ke kelas dengan lesu, gagal membujukku.

"HEH! Kamu kenapa Jun?" Seru Haki sambil menepuk pundakmu.

"Gak berhasil," jawabmu singkat sambil menunjukkan benda itu pada Haki.

"Emang buat siapa sih?" Tanya Haki.

"Buat Neila."

"Sini deh aku yang manggil. Masa manggil Neila aja gak bisa sih."

Haki yang baik hati pergi menghampiriku yang baru saja berdiri dari bangku kantin.

"Neilaaaaa, itu dipanggil Juuuunnn," teriak Haki dari kejauhan.

Bagaikan kancil yang dikejar singa, aku yang kaget reflek lari menjauh dari Haki seraya berteriak "Gak mauuuuuu."

Seketika lapangan bola hanya dipenuhi dengan Haki yang berkata "Neilaaa, itu dipanggil Jun." dan aku yang berteriak "Gak mauuu." aku mengajak Haki tawaf mengelilingi lapangan. Haki pun menyerah dan kembali menghampirimu.

"Jun... hhh... gak berhasil... hhh," lapor Haki yang ngos-ngosan habis mengejarku.

"Yaudah deh, Hak. Ini kasih siapa aja deh terserah," ucapmu putus asa.

Dua tahun silam. Aku dan teman-teman yang lain sedang duduk santai di bangku taman sekolah sambil menunggu jam istirahat habis.

"Nei, kamu masih inget gak yang pas Haki ngejar kamu dan bilang kamu dipanggil sama Jun?" Tanya Ira membuka pembicaraan.

"Inget. Ishhh jadi geli deh. Kenapa sih dia?" Jawabku yang kemudian bertanya lagi.

"Kamu gak tau kenapa Jun mau manggil kamu? Ya ampuun Neilaaa, terus kenapa kamu lari?" Tanya Ira tidak percaya begitu melihat aku menggeleng.

"Gak tau, lagi pengen lari aja kali," jawabku tidak begitu peduli dengan topik pembicaraan kali ini.

"Tau gak sih, jadi tuh Jun mau ngasih kamu itulooohh, apa sih namanya? Jadi kayak kotak bentuk love trus di dalemnya ada anting sama cinciiiin," jelas Ira.

Aku yang tidak percaya akan hal itu hanya bisa melotot, sedangkan temanku yang lain dengan gembiranya men-cie-kan aku. "Ishhhh apaan siiihh, jadi jijik kaaan," rengekku tidak suka diledek.

"Ihhh, serius Neii. Karena Jun gak berhasil manggil kamu, jadinya Haki deh yang manggil kamu. Tapi kamunya gak mau juga, akhirnya Jun suruh Haki kasih kotak itu ke siapa aja. Parah banget emang kamuu. Huuu," lanjut Ira sambil meledek. Aku hanya bisa diam dan bergumam dalam hati kalau aku benar-benar malu atas hal itu. Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang?

Sepasang anting plastik lengkap dengan cincin yang bermanik di tengahnya dalam kotak ungu berbentuk love. Hey, apakah kamu ingin melamarku? Itu gila! Waktu itu kita masih duduk di bangku SD kelas empat.

Sekarang aku baru sadar betapa berani dan sabarnya dirimu. Berani untuk mencoba mengungkapkan isi hatimu, sabar dengan hasil yang kamu dapatkan. Aku harap berani dan sabarmu itu terus kamu bawa berlayar kemanapun ombak membawamu.

Kini aku memang tidak bisa bertemu langsung denganmu, begitu juga denganmu. Setidaknya kita sudah menemukan titik pertemuan kita walau hanya lewat sosial media saja. Aku bahagia melihatmu bahagia dengan jalanmu sendiri, bangga bahwa kamu terus membawa berani dan sabarmu di pundakmu, tapi terkadang aku masih tertawa melihatmu yang masih tiba-tiba gagap di depan kamera bahkan kamera ponselmu sendiri.

Aku tidak mengharapkan kamu menjadi milikku, aku sudah senang bahwa kamu sudah memiliki perempuan lain yang bukan aku. Aku juga tidak tahu apa kesibukanmu sekarang, yang aku tahu kamu sudah bisa membantu ayahmu menafkahi ibu dan adik-adikmu.

Kamu pun tidak menyesali bahwa kenyataannya aku menolakmu saat itu. Berkat tolakkanku saat itu, kamu jadi bisa memiliki perempuan yang saat ini sedang berada di sampingmu, Syifa. Ya, mungkin sedikit lucu jika kamu mengetahui kalau aku mencari tahu banyak tentangmu bahkan bagaimana kamu bisa bertemu dengan Syifa pun aku tahu.

Haki. Berterima kasihlah pada Haki yang masih menyebutkan bahwa benda berbentuk love itu darimu kepada Syifa, sejak saat itu diam-diam Syifa menaruh hatinya padamu dan sekarang kamu jadi miliknya.

Tapi kamu harus sangat berterima kasih pada Tuhan, karena kalau bukan berkat skenario dari-Nya kamu tidak akan pernah berjumpa dengan yang namanya Syifa. Begitu juga aku, aku selalu berterima-kasih kepada-Nya bahwa beginilah jalanku. Aku merelakan cintaku untuk mengejar ilmu untuk diriku, aku lebih memilih menghabiskan waktu di balik buku. Soal cintaku? Tidak usah khawatir, aku yakin Tuhan telah menyiapkan seseorang yang pantas untukku. Aku hanya tinggal terus mengikuti alur cerita dari-Nya dan terus menerima manis atau pahitnya kehidupan karena aku tahu bahwa kehidupan tidak selamanya seperti permen karet.

Suatu hal yang perlu kamu ketahui, bersyukurlah apapun kondisinya. Entah itu kamu sedang di atas maupun sedang di bawah sekalipun kamu tetap harus bersyukur. Sebab Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hamba-Nya yang sabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun