Sepertinya kamu tidak mudah beradaptasi, ya? Kamu mulai berani membaur dengan yang lainnya setelah sebulan belajar di sekolah ini. Aku juga ingat mengapa kamu sulit untuk beradaptasi? Waktu itu aku datang ke ruang guru untuk memanggil Pak Arya untuk segera memulai pelajaran olahraga, aku melihatmu duduk empat mata dengan Bu Hena. Aku dengar dengan jelas bahwa suaramu bergetar seakan seperti orang menangis. Kamu masih belum lancar membaca, itulah mengapa kamu sulit untuk beradaptasi. Malu.
Tapi yang ingin aku ceritakan itu bukan kamu, bukan aku, tapi kita.
Setahun berlalu, kita sama-sama naik kelas kan? Akhirnya kamu juga sudah lancar membaca dan sudah berani berbicara di depan kelas. Bahkan kamu mengambil posisiku sebagai ketua kelas.
Teeeeet... teeeet... teeet... bel berbunyi tanda kegiatan sekolah usai. Bagaikan domba yang di lepas dari kandangnya, semua murid berhamburan keluar sekolah memeluk para tukang kelotokan dan pedagang keliling yang sudah menanti di luar gerbang.
Kamu tahu bahwa isi saku celanamu kosong, kamu melirik ke kanan dan ke kiri. Ayahmu belum menjemput. Kamu segera melangkah maju menghampiri tukang kelotokan dengan begitu banyak mainan terpampang di gerobaknya.
"Bang, ini harganya berapa?" Tanyamu pada Si Abang tukang kelotokan.
"Enam rebu dek, mao?" Jawab abang itu seraya bertanya kembali.
"Enggak Bang, cuma nanya,"
Uang enam ribu untuk anak seusiamu bukan hal yang sedikit, butuh tiga bahkan tujuh hari untuk mengumpulkannya. Kamu mengurungkan niat untuk membelinya saat itu.
Satu hari, dua hari, tiga hari. Kamu terus melihat benda yang sama di tukang yang sama dan dengan pertanyaan yang sama "Bang, ini harganya berapa?" Tapi kamu tak kunjung membelinya, mengingat uang di saku celana masih kurang. Hingga suatu saat uang untuk membeli benda itu terkumpul. Kamu dengan senangnya berlari keluar sekolah begitu bel pulang berbunyi. Namun ada hal yang membuat langkahmu terkunci, abang tukang kelotokan tidak ada. Kamu sedikit kecewa dan berusaha untuk sabar walaupun kamu sudah tidak sabar untuk memilikinya.
Satu hari, dua hari, tiga hari. Abang tukang kelotokan tak kunjung mangkal di depan sekolah lagi. Kamu mulai sedih menatap lapak tempat abang tukang kelotokan mangkal itu kosong.