Permasalahan yang sering terjadi ketika hobi tak sesuai dengan bidang saat kuliah, sehingga kamu mengorbankan hobimu yang sebenarnya memiliki harapan untuk jangka panjang. Kalau kamu hobi jadi fotografer profesional sedangkan jurusan kamu adalah akuntansi misalnya, pasti kamu lebih memilih untuk linier dengan jurusan kamu meskipun ilmunya pas-pasan, sering nyontek di kelas, yang penting lulus dan dapat gelar. Kalau gelar yang kita cari, maka kita rugi kalau tidak bekerja sesuai gelar, namun kalau ilmu yang kita cari, maka kamu tidak akan rugi bila dunia pekerjaan tidak sesuai dengan ijazah kamu.
Kita tahu bahwa pekerja honorer (misal guru honorer, tenaga medis honorer dll) tidak terlalu banyak gajinya, karena memang tujuan utama untuk bekerja di lingkungan tersebut biasanya ingin mengabdi dengan tulus ikhlas, tanpa mengharap gaji yang lebih.
Namun sangat berbeda bila kamu berkemauan bekerja di lingkungan tersebut hanya ingin dipandang baik oleh tetangga atau kerabat bahwa yang penting kamu sudah bekerja, meski harus bersusah payah membanting tulang dengan hasil tak seberapa, sedangkan hati tidak ikhlas menerima kenyataan kerja pagi pulang malam dengan gaji tak seberapa.
Jadi lebih mengutamakan penilaian orang lain dari pada penilaian dan kemauan diri sendiri. Kalau sudah terlanjur? Jalani saja kawan, karena semua tak ada yang sia-sia, asalkan niat kita jelas, bukan karena tuntutan orang lain, tidak mengharap apapun dari orang lain. So, jangan memberikan standar diri sendiri sesuai dengan standar orang lain bila menerima gaji saja kamu anggap belum cukup, lakukan sesuai keinginanmu kawan!
Bila kamu ingin gaji tinggi, lebih baik kamu memulai bekerja di lingkungan perusahaan, apalagi mau bertahan, niscaya gajimu akan terus melangit, kalau kamu tidak sabar dan menganggap pekerjaannya melelahkan? Dirikan usaha sendiri saja kawan, dari pada hanya menuruti apa kata orang lain. Terkadang kita ingin serba cepat, cepat ingin dapat penghasilan banyak, cepat ingin dapat posisi tinggi tanpa memperhitungkan kemampuan dan skill apa yang kita miliki.
Persepsi II: Bekerja hanya istilah buat mereka yang bergaji tetap
Suatu hari Jono, yang baru merintis usahanya, ditanyai oleh rekannya, Tono, yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan BUMN, “Eh Jon, ini lho ada lowongan pekerjaan yang cocok untukmu, gajinya sih lumayan gede, lihat aja ini infonya aku share ke kamu setelah ini,”
Kebanyakan orang masih mendikotomikan “orang bekerja” dengan “orang yang berpenghasilan tidak tetap”, serta memandang bahwa “bekerja” hanya untuk mereka yang bergaji tetap. Seolah orang-orang yang berjiwa entrepreneur, freelancer atau sesuatu yang tidak memiliki kepastian secara finansial adalah orang-orang yang masih belum bekerja, padahal mereka berusaha menemukan jati dirinya, mengikuti apa kata hati, bukan kata orang lain.
Jadi jangan sekali-sekali memandang diri “orang yang berpenghasilan tidak tetap” itu belum bekerja, padahal mungkin dari segi penghasilan hampir sama, bahkan lebih dari mereka yang sudah “bekerja”.
Kalau dipikir-pikir, persepsi orang lain terhadap orang yang berwirausaha hanya dipandang dari hasil pencapaiannya, tanpa melihat prosesnya. Contohnya, Jono 10 tahun lalu hanyalah seorang pedagang baju, tapi Jono kini adalah seorang pengusaha konveksi baju yang memiliki omzet 1 miliar per bulan. Pasti kalau udah sukses, baru diakui bahwa Jono adalah seorang entrepreneur sukses.
Berbeda saat Jono 10 tahun yang lalu yang hanyalah dipandang belum kunjung mendapatkan perkerjaan, makanya untuk memenuhi hidupnya, ia yang lulusan sarjana pendidikan rela untuk jualan baju di pasar. Prosesnya bagaimana? Tidak akan ditanya, bro! Berapa persen orang di sekeliling Jono yang memberi support untuk kemajuan bisnisnya ketimbang mereka yang berusaha mengiming-imingi pekerjaan diluar hobinya? Padahal dari segi gelar, ia lebih cocok untuk jadi guru.