Peluang untuk melamar pekerjaan semakin tipis saja di negeri ini, seakan tiada harapan yang bisa dicapai untuk meraih masa depan, terutama saat-saat berada di penghujung kuliah. Saya teringat betul saat masih kuliah di Malang, sekalipun lulus pada waktunya, hingga akhir-akhir kelulusan masih galau mau kemana langkah kaki ini kelak akan kupijakkan untuk meraih masa depan.
Ada tiga pilihan saat itu, memulai usaha yang telah dibangun, lanjut kuliah dulu mumpung ada kesempatan, atau memutuskan untuk melamar pekerjaan di perusahaan? Namun faktanya saat itu aku malah memilih untuk menikah terlebih dahulu ketimbang tiga hal yang tadi, benar-benar diluar dugaan, hehe. Tapi bukan tentang pernikahan yang akan saya bahas, karena saya tahu betapa menderitanya pada tuna asmara bila terus-terusan dicekoki urusan kapan menikah yang tepat.
Banyaknya job seeker dibanding job creator semakin memperparah keadaan. Orang berlomba-lomba untuk masuk di perusahaan kelas A, sedangkan peluang hanya 1 banding ribuan pelamar. Pertanyaan klasik pun muncul di benak kerabat dan saudara, “Kapan lulus? Rencana kerja di mana setelah lulus? Habis ini lanjut kuliah lagi kah?”
Bagi yang sudah memiliki tiket masuk untuk bekerja di instansi atau perusahaan mungkin tak perlu dicecar pertanyaan seperti itu lagi, namun bagaimana respons seorang mahasiswa tingkat akhir yang belum kunjung mendapatkan gambaran kelulusan, apalagi mau bekerja di mana. Mari berhenti memperburuk kondisi mahasiswa abadi! Yang mereka butuhkan hanya dukungan moril, karena setelah mendapatkan gelar pun tidak menjamin seseorang langsung mendapat pekerjaan, apalagi pekerjaan yang sesuai.
Namun setelah kita melalui masa-masa kelulusan dan memasuki dunia kerja, kita kembali dihadapkan masalah bagaimana seharusnya kita memilih pekerjaan, bagaimana pendapat umum mengenai bekerja? Serta apakah tujuan kita untuk bekerja?
Kata “bekerja” diambil dari kata dasar “kerja” yang menurut KBBI adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian dan lain sebagainya.
Persepsi I: Bekerja di perusahaan kelas A untuk menaikkan status sosial
Cita-cita sejak kecil pilihannya hanya sedikit, kalau nggak jadi dokter, pilot, polisi ya guru saja. Jarang yang memiliki impian diluar itu, misal jadi penulis berbakat, pedagang sukses, fotografer profesional atau apalah diluar itu. Mungkin mindset yang tertanam inilah yang justru membuat blunder diri sendiri untuk dikekang dengan keadaan lingkungan, di-brain wash sejak kecil bahwa pilihan masa depan hanya itu-itu saja, jadinya susah untuk berkembang untuk berada di luar zona nyaman.
Di sisi lain, kurangnya percaya diri terkadang membuat seseorang minder ketika ingin melamar pekerjaan, apalagi mau melamar kamu, iya kamu… Hehe. Ketika menghadapi hal itu biasanya mulai muncul pengangguran terdidik berseliweran di sekitar kita sambil apply job ke perusahaan, atau lanjut studi S2 karena desakan orang tua, ingin jadi dosen, tuntutan zaman atau bahkan biar keren karena gengsi belum kunjung dapat kerja?
Pemikiran itu tidak ada yang salah, selagi kita paham masing-masing punya visi yang dibangun berdasarkan karakternya dan apa tujuan berada di lingkungan pekerjaan tersebut. Namun coba kita renungkan, apakah semua yang ingin kita lakukan setelah lulus kuliah hanya semata karena agar mengikuti tuntutan orang lain?
Misalnya tuntutan jadi PNS atau bekerja di bank dan semua tuntutan lain yang semua tak ada habisnya bila kita menurutinya, sehingga zona nyaman menjadi satu-satunya alternatif yang bisa diraih ketimbang susah payah membangun visi yang sesuai keinginan diri sendiri yang tulus, toh lingkungan tidak mendukung untuk berkembang.
Permasalahan yang sering terjadi ketika hobi tak sesuai dengan bidang saat kuliah, sehingga kamu mengorbankan hobimu yang sebenarnya memiliki harapan untuk jangka panjang. Kalau kamu hobi jadi fotografer profesional sedangkan jurusan kamu adalah akuntansi misalnya, pasti kamu lebih memilih untuk linier dengan jurusan kamu meskipun ilmunya pas-pasan, sering nyontek di kelas, yang penting lulus dan dapat gelar. Kalau gelar yang kita cari, maka kita rugi kalau tidak bekerja sesuai gelar, namun kalau ilmu yang kita cari, maka kamu tidak akan rugi bila dunia pekerjaan tidak sesuai dengan ijazah kamu.
Kita tahu bahwa pekerja honorer (misal guru honorer, tenaga medis honorer dll) tidak terlalu banyak gajinya, karena memang tujuan utama untuk bekerja di lingkungan tersebut biasanya ingin mengabdi dengan tulus ikhlas, tanpa mengharap gaji yang lebih.
Namun sangat berbeda bila kamu berkemauan bekerja di lingkungan tersebut hanya ingin dipandang baik oleh tetangga atau kerabat bahwa yang penting kamu sudah bekerja, meski harus bersusah payah membanting tulang dengan hasil tak seberapa, sedangkan hati tidak ikhlas menerima kenyataan kerja pagi pulang malam dengan gaji tak seberapa.
Jadi lebih mengutamakan penilaian orang lain dari pada penilaian dan kemauan diri sendiri. Kalau sudah terlanjur? Jalani saja kawan, karena semua tak ada yang sia-sia, asalkan niat kita jelas, bukan karena tuntutan orang lain, tidak mengharap apapun dari orang lain. So, jangan memberikan standar diri sendiri sesuai dengan standar orang lain bila menerima gaji saja kamu anggap belum cukup, lakukan sesuai keinginanmu kawan!
Bila kamu ingin gaji tinggi, lebih baik kamu memulai bekerja di lingkungan perusahaan, apalagi mau bertahan, niscaya gajimu akan terus melangit, kalau kamu tidak sabar dan menganggap pekerjaannya melelahkan? Dirikan usaha sendiri saja kawan, dari pada hanya menuruti apa kata orang lain. Terkadang kita ingin serba cepat, cepat ingin dapat penghasilan banyak, cepat ingin dapat posisi tinggi tanpa memperhitungkan kemampuan dan skill apa yang kita miliki.
Persepsi II: Bekerja hanya istilah buat mereka yang bergaji tetap
Suatu hari Jono, yang baru merintis usahanya, ditanyai oleh rekannya, Tono, yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan BUMN, “Eh Jon, ini lho ada lowongan pekerjaan yang cocok untukmu, gajinya sih lumayan gede, lihat aja ini infonya aku share ke kamu setelah ini,”
Kebanyakan orang masih mendikotomikan “orang bekerja” dengan “orang yang berpenghasilan tidak tetap”, serta memandang bahwa “bekerja” hanya untuk mereka yang bergaji tetap. Seolah orang-orang yang berjiwa entrepreneur, freelancer atau sesuatu yang tidak memiliki kepastian secara finansial adalah orang-orang yang masih belum bekerja, padahal mereka berusaha menemukan jati dirinya, mengikuti apa kata hati, bukan kata orang lain.
Jadi jangan sekali-sekali memandang diri “orang yang berpenghasilan tidak tetap” itu belum bekerja, padahal mungkin dari segi penghasilan hampir sama, bahkan lebih dari mereka yang sudah “bekerja”.
Kalau dipikir-pikir, persepsi orang lain terhadap orang yang berwirausaha hanya dipandang dari hasil pencapaiannya, tanpa melihat prosesnya. Contohnya, Jono 10 tahun lalu hanyalah seorang pedagang baju, tapi Jono kini adalah seorang pengusaha konveksi baju yang memiliki omzet 1 miliar per bulan. Pasti kalau udah sukses, baru diakui bahwa Jono adalah seorang entrepreneur sukses.
Berbeda saat Jono 10 tahun yang lalu yang hanyalah dipandang belum kunjung mendapatkan perkerjaan, makanya untuk memenuhi hidupnya, ia yang lulusan sarjana pendidikan rela untuk jualan baju di pasar. Prosesnya bagaimana? Tidak akan ditanya, bro! Berapa persen orang di sekeliling Jono yang memberi support untuk kemajuan bisnisnya ketimbang mereka yang berusaha mengiming-imingi pekerjaan diluar hobinya? Padahal dari segi gelar, ia lebih cocok untuk jadi guru.
Ketika Jono 10 tahun yang lalu masih merintis usahanya, kebanyakan sekelilingnya malah menyarankanuntuk melamar kerja saja dari pada nantinya ia rugi ijazahnya nggak kepakai atau rugi kuliah mahal-mahal hanya untuk jualan baju di pasar, tanpa memikirkan sejauh mana ia berproses untuk mengembangkan usahanya. Kalau sudah sukses, baru mereka diam seribu bahasa.
Persepsi III: Bekerja hanya untuk cari uang
Persepsi yang terakhir dan sering kita sendiri yang merasa bahwa bekerja hanya untuk cari uang dan nafkah saja. Pendapat itu tak sepenuhnya salah, hanya saja kurang lengkap. Kita diciptakan di bumi ini tentu bukan tanpa alasan, melainkan hanya untuk beribadahTuhan Maha Esa, Allah SWT.
Jadi bila merujuk hal itu, maka semua yang kita lakukan, termasuk bekerja siang malam, juga semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah, bila Allah mengabulkan doa kita, maka rezeki akan datang pada saat yang tak diduga-duga arahnya, terutama yang berwirausaha, tiba-tiba saja kita mendapat rezeki nomplok hari ini yang biasanya belum pernah sebanyak hari ini dan sebagainya. Namun ujian terbesar manusia adalah saat ia dicukupkan segalanya, apakah masih tetap mengharapkan-Nya atau lupa bahwa semua Allah lah yang memberi.
Maka sebagai hamba-Nya, jangan jadikan pekerjaanmu menjadi penghambatmu dalam beribadah, justru dengan kita bekerja banting tulang, maka semakin khyusu’ ibadah kita, karena semakin tinggi ilmu yang kita peroleh, maka semakin menunduk dan menganggap bahwa kita masih fakir ilmu.
Jadi, ketiga persepsi yang sudah saya bahas di atas memang perlu diluruskan dan dilengkapi, bukan hanya dari satu sisi, namun sisi-sisi lain harus kita pelajari, agar jiwa-jiwa anak muda kita bukan hanya sekadar mengejar cita-cita bekerja untuk meraih gaji tinggi saja, atau hanya memiliki cita-cita sebagai PNS, pegawai bank dan lain sebagainya namun tak sesuai dengan impian besarmu. Terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H