Mohon tunggu...
afiq hifala
afiq hifala Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoax dan Banalitas Pikiran

18 Februari 2019   16:53 Diperbarui: 18 Februari 2019   17:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awal tahun kita disuguhi parade hoax skala nasional. Mulai dari penggunaan satu selang darah untuk 40 kali pemakaian, pembangunan jalan tol Cipali tanpa skema hutang dan 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos.

Lantas apa yang membuat ini bisa terjadi? Analisa sederhananya adalah kebebalan pikiran atau bahasa sederhananya males mikir.

Bagaimana mungkin statement yang diungkapkan politisi bisa kita terima secara mentah, dan lebih parahnya menganggap itu sebagai kebenaran final.

Hoax dan kebenaran

Kalian pernah dengar dengar ungkapan ini? "kebohongan yang diulang terus menerus bisa menjadi kebenaran umum". Ini terlihat sangat relevan pada kondisi negara saat ini.

Jokowi dari tahun 2013 difitnah sebagai anggota PKI, narasi ini diulang terus menerus via percakapan media sosial. Dampak dari hal ini adalah mulai banyak orang yang mempercayai bahwa narasi ini benar. Propaganda seperti ini dianggap bisa teraplikasi dengan mudah karena menyentuh sisi emosional masyarakat.

Praktek ini juga diduplikasi di Pilgub DKI dan Pilpres 2019, apa yang terjadi? Masyarakat dikuras emosionalnya untuk memperdebatkan isu hoax yang ada tanpa kejernihan pikiran dalam menanggapinya.

Echo Chamber

Saat ini ada istilah Echo Chamber, dalam konteks media, ini adalah istilah untuk menjelaskan sistem algoritma di internet yang bisa menyediakan kecenderungan pengguna terhadap konten, teman, bahasan, yang sama sesuai apa saja yang sering diaksesnya.

Contohnya, jika Budi menggunakan facebook, maka facebook telah menyediakan pilihan-pilihan konten yang sesuai dengan kecenderungan Budi ketika menggunakan facebook. Jadi pilihan seperti teman, halaman, group dan bahasan yang ada di facebook pasti tidak jauh-jauh dengan konten apa yang paling Budi sering lihat, like, komen dan akses.

Ruang gema seperti ini yang bisa menjadikan satu individu akan tetap nyaman dan merasa besar di kotak yang sama dia berada

Bias Kebenaran

Dengan adanya fenomena echo Chamber, bisa membuat seseorang merasa nilai yang diyakini adalah kebenaran hakiki, dan yang lain salah atau setidaknya tidak mau tahu. Indikasi "merasa" di sini adalah dengan banyaknya dukungan atau informasi dari lingkaran dia yang seolah mendukung nilai yang diyakininya.

Bahayanya adalah akan terjadi bias kebenaran, dia akan merasa superior karena merasa banyak orang yang berpikiran sama, padahal itu tidak benar, dan itu hanya terjadi di lingkaran echo chamber atau ruang gema dia saja.

Kalau sudah terjadi bias kebenaran, maka ketidakjernihan dalam berpikir yang menjadi taruhannya. Dia akan mati-matian mendukung nilai yang diyakininya tanpa meihat data dan fakta di luar lingkarannya. Sedih kan.

Berkaca ke Holocaust

Hannah Arendt, seorang peneliti dari Jerman mencoba menggali akar permasalahan kejadian holocaust oleh Nazi kepada kaum Yahudi di Eropa. Dalam laporan penelitiannya, dia menyimpulkan bahwasanya kenapa tentara Nazi bisa sangat beringas dalam memperlakukan kaum Yahudi, bukan lain adalah karena banalitas kejahatan.

Banalitas kejahatan adalah kejahatan yang telah dianggap hal yang biasa, atau bahkan taraf menjadi keharusan. Solusi yang ditawarkan Hannah arendt adalah kemampuan untuk berpikir dan berimajinasi, dua kemampuan ini bisa meluaskan cakrawala pikiran seseorang terhadap isu/lingkungan yang dihadapinya.

Jika dianalogikan ke hoax, sama saja, ketika hoax dan kebohongan dianggap sesuatu yang lumrah, bisa dipatikan, maka akan banyak orang percaya terhadap agitasi yang dilakukan pencipta hoax. Hanya orang-orang yang jernih pikirannya yang mampu memfilter lalu mengelola informasi agar tidak terjebak secara emosional terhadap hoax yang beredar.

Baca Artikel Lainnyya di www.indonesiabersatubisa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun