Awal tahun kita disuguhi parade hoax skala nasional. Mulai dari penggunaan satu selang darah untuk 40 kali pemakaian, pembangunan jalan tol Cipali tanpa skema hutang dan 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos.
Lantas apa yang membuat ini bisa terjadi? Analisa sederhananya adalah kebebalan pikiran atau bahasa sederhananya males mikir.
Bagaimana mungkin statement yang diungkapkan politisi bisa kita terima secara mentah, dan lebih parahnya menganggap itu sebagai kebenaran final.
Hoax dan kebenaran
Kalian pernah dengar dengar ungkapan ini? "kebohongan yang diulang terus menerus bisa menjadi kebenaran umum". Ini terlihat sangat relevan pada kondisi negara saat ini.
Jokowi dari tahun 2013 difitnah sebagai anggota PKI, narasi ini diulang terus menerus via percakapan media sosial. Dampak dari hal ini adalah mulai banyak orang yang mempercayai bahwa narasi ini benar. Propaganda seperti ini dianggap bisa teraplikasi dengan mudah karena menyentuh sisi emosional masyarakat.
Praktek ini juga diduplikasi di Pilgub DKI dan Pilpres 2019, apa yang terjadi? Masyarakat dikuras emosionalnya untuk memperdebatkan isu hoax yang ada tanpa kejernihan pikiran dalam menanggapinya.
Echo Chamber
Saat ini ada istilah Echo Chamber, dalam konteks media, ini adalah istilah untuk menjelaskan sistem algoritma di internet yang bisa menyediakan kecenderungan pengguna terhadap konten, teman, bahasan, yang sama sesuai apa saja yang sering diaksesnya.
Contohnya, jika Budi menggunakan facebook, maka facebook telah menyediakan pilihan-pilihan konten yang sesuai dengan kecenderungan Budi ketika menggunakan facebook. Jadi pilihan seperti teman, halaman, group dan bahasan yang ada di facebook pasti tidak jauh-jauh dengan konten apa yang paling Budi sering lihat, like, komen dan akses.
Ruang gema seperti ini yang bisa menjadikan satu individu akan tetap nyaman dan merasa besar di kotak yang sama dia berada
Dengan adanya fenomena echo Chamber, bisa membuat seseorang merasa nilai yang diyakini adalah kebenaran hakiki, dan yang lain salah atau setidaknya tidak mau tahu. Indikasi "merasa" di sini adalah dengan banyaknya dukungan atau informasi dari lingkaran dia yang seolah mendukung nilai yang diyakininya.
Bahayanya adalah akan terjadi bias kebenaran, dia akan merasa superior karena merasa banyak orang yang berpikiran sama, padahal itu tidak benar, dan itu hanya terjadi di lingkaran echo chamber atau ruang gema dia saja.
Kalau sudah terjadi bias kebenaran, maka ketidakjernihan dalam berpikir yang menjadi taruhannya. Dia akan mati-matian mendukung nilai yang diyakininya tanpa meihat data dan fakta di luar lingkarannya. Sedih kan.
Berkaca ke Holocaust
Hannah Arendt, seorang peneliti dari Jerman mencoba menggali akar permasalahan kejadian holocaust oleh Nazi kepada kaum Yahudi di Eropa. Dalam laporan penelitiannya, dia menyimpulkan bahwasanya kenapa tentara Nazi bisa sangat beringas dalam memperlakukan kaum Yahudi, bukan lain adalah karena banalitas kejahatan.
Banalitas kejahatan adalah kejahatan yang telah dianggap hal yang biasa, atau bahkan taraf menjadi keharusan. Solusi yang ditawarkan Hannah arendt adalah kemampuan untuk berpikir dan berimajinasi, dua kemampuan ini bisa meluaskan cakrawala pikiran seseorang terhadap isu/lingkungan yang dihadapinya.
Jika dianalogikan ke hoax, sama saja, ketika hoax dan kebohongan dianggap sesuatu yang lumrah, bisa dipatikan, maka akan banyak orang percaya terhadap agitasi yang dilakukan pencipta hoax. Hanya orang-orang yang jernih pikirannya yang mampu memfilter lalu mengelola informasi agar tidak terjebak secara emosional terhadap hoax yang beredar.
Baca Artikel Lainnyya di www.indonesiabersatubisa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H