Dengan adanya fenomena echo Chamber, bisa membuat seseorang merasa nilai yang diyakini adalah kebenaran hakiki, dan yang lain salah atau setidaknya tidak mau tahu. Indikasi "merasa" di sini adalah dengan banyaknya dukungan atau informasi dari lingkaran dia yang seolah mendukung nilai yang diyakininya.
Bahayanya adalah akan terjadi bias kebenaran, dia akan merasa superior karena merasa banyak orang yang berpikiran sama, padahal itu tidak benar, dan itu hanya terjadi di lingkaran echo chamber atau ruang gema dia saja.
Kalau sudah terjadi bias kebenaran, maka ketidakjernihan dalam berpikir yang menjadi taruhannya. Dia akan mati-matian mendukung nilai yang diyakininya tanpa meihat data dan fakta di luar lingkarannya. Sedih kan.
Berkaca ke Holocaust
Hannah Arendt, seorang peneliti dari Jerman mencoba menggali akar permasalahan kejadian holocaust oleh Nazi kepada kaum Yahudi di Eropa. Dalam laporan penelitiannya, dia menyimpulkan bahwasanya kenapa tentara Nazi bisa sangat beringas dalam memperlakukan kaum Yahudi, bukan lain adalah karena banalitas kejahatan.
Banalitas kejahatan adalah kejahatan yang telah dianggap hal yang biasa, atau bahkan taraf menjadi keharusan. Solusi yang ditawarkan Hannah arendt adalah kemampuan untuk berpikir dan berimajinasi, dua kemampuan ini bisa meluaskan cakrawala pikiran seseorang terhadap isu/lingkungan yang dihadapinya.
Jika dianalogikan ke hoax, sama saja, ketika hoax dan kebohongan dianggap sesuatu yang lumrah, bisa dipatikan, maka akan banyak orang percaya terhadap agitasi yang dilakukan pencipta hoax. Hanya orang-orang yang jernih pikirannya yang mampu memfilter lalu mengelola informasi agar tidak terjebak secara emosional terhadap hoax yang beredar.
Baca Artikel Lainnyya di www.indonesiabersatubisa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H