Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Terlupakan! Sehari Jadi Relawan, Mendatangi Sekolah Terpencil di Banyuwangi Selatan (1)

25 November 2018   16:03 Diperbarui: 25 November 2018   16:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : koleksi pribadi

Tanggal 9 Nopember, dua pekan lewat.

Selepas tengah hari kami-relawan ISL (Inspirasi Sekolah Literasi) Jilid 5-berangkat ke SDN 2 Kandangan dinaungi mendung yang menggayut di langit. Sempat timbul kekhawatiran jika hujan turun jalan menuju Kandangan akan lebih berat lagi. Becek, berlumpur, licin, dan lebih sukar dilewati. Jika hari biasa saja menuju ke sana butuh waktu cukup lama, dalam kondisi hujan kemungkinan bersar akan lebih lama lagi. Tidak mengherankan karena jalanan menuju ke sana masih berupa jalan tanah yang jika hujan terus-menerus  akan berubah jadi genangan air dan lumpur yang menyulitkan perjalanan. Setelah jalan tanah menghilang, jalanan berbatu terbentang. Dari mulai berbatu biasa hingga lumayan besar. Bila tak terbiasa menaiki motor dalam kondisi begini jelas kesulitan.

Petang mulai tiba ketika kami tiba di pintu gerbang perkebunan Sumberjambe. Dari sini rombongan relawan berbelok ke kanan, menembus hutan karet yang lebat. Saya tidak bisa membayangkan jika lewat sana sendirian. Mending balik kanan daripada menghadapi jalanan yang sunyi dan gelap itu. Beberap kali kami menemukan perkampungan. Akan tetapi suasananya lengang, yang nampak hanya lampu-lampu yang berpendar di kejauhan, yang menandakan ada kehidupan.

Selepas maghrib, akhirnya kami sampai juga di SDN 2 Kandangan. Sama seperti daerah yang kami lihat sebelumnya, desa Kandangan juga sesepi kuburan. Hanya ada beberapa orang yang nampak di jalan. Berdiri di pinggir sebuah toko dan memberi isyarat agar rombongan kami terus saja. Seolah mereka tahu kedatangan kami semua. Sesaat ketika kami turun dari motor, Mas Rizki, salah satu anak muda yang mengikuti program Banyuwangi Mengajar, berkata ,"Anak-anak sudah menanti sedari tadi."

Kami spontan tercengang, tak menyangka jika kedatangan kami dinantikan. Sedikit rasa bersalah merayapi hati ketika Mas Riski kembali bercerita, sejak siang anak-anak berkumpul di lapangan sekolah. Bertanya-tanya kapan kami akan tiba.

"Anak-anak senang jika ada orang baru," jelasnya.

Kami mengangguk-angguk paham, sebelum akhirnya pergi wudu dan menunaikan sholat maghrib. Suguhan teh, kopi, berikut ketela goreng yang dibawakan oleh dua orang murid SDN Kandangan usai sholat membuat kami kegirangan. Aduh, nikmat betul ketela goreng dan kedua minuman itu mengganjal perut kami yang lapar. Ah, tetapi dasar perut orang Indonesia! Meski sudah menghabiskan ketela, tetap saja namanya belum makan. Maka beberapa orang dari kami untuk keluar dan mencari warung nasi.

Luar biasa! Jalanan gelap sekali. Saat kami tersandung-sandung dan kejeblos genangan air beberapa kali, ibu-ibu yang berpapasan dengan kami berjalan santai. Seolah kakinya memiliki mata. Bahkan setelah diterangi dengan senter dari ponsel pun, kami tetap tersandung-sandung dan kejeblos genangan air lumpur lagi.

Sinyal? O, jangan tanya! Hanya kartu-kartu terbitan Telkomsel yang jawara. Masih bisa internetan dan kirim pesan via WhatsApp meskipun tak bisa melihat gambar. Yang lain? Ambruk sebelum masuk Sumberjambe. Kalaupun ada sinyal timbul tenggelam bak mantan yang ragu diajak balikan. Lebih sering tenggelam daripada timbulnya. Jadi tiga hari di sana, dipastikan kalis dari acara nunduk mantengin WhatsApp.

Semua tegak, ngobrol barengan, karena itulah satu-satunya hiburan selain ngopi di warung yang terletak di perempatan Kandangan. Seorang kawan berseloroh itu adalah tempat nongkrong paling hits di Kandangan. Tak ubahnya kedai kopi paling rame di perkotaan. Kami tertawa, memecah sunyi desa Kandangan yang terletak di antara kebun coklat dan karet.

Sumber gambar : koleksi pribadi
Sumber gambar : koleksi pribadi
Lalu bagaimana nasib perut kami yang lapar? Terselamatkan dengan nasikah? Hohoho, tidak Marimar! Di tengah perkebunan seperti ini warung nasi bukan hal yang lazim. Semua orang memasak dan menyiapkan makanannya sendiri-sendiri. Kalaupun ada warung, biasanya hanya warung kelontong biasa. Daripada tak ada, kami beli saja wafer dan kawan-kawannya, sembari nongkrong di warung itu dan ngobrol sana-sini dengan relawan ISL Jilid 5 lainnya yang sedang ngopi-ngopi ganteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun