Mohon tunggu...
Aveen Lz
Aveen Lz Mohon Tunggu... -

I'm just me, nothing but ordinary.\r\n\r\n"Adalah kita, seonggok jasad yang bernyawa, pada akhirnya. Sejatinya, kita bukanlah siapa-siapa."\r\n\r\nI am me. Not you, nor him, nor her, nor them, nor even us. I am nobody, and i am not what you think i am. That's it.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tuhan, Kau Pasti Bercanda, Bukan?

14 Februari 2011   15:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:36 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas mandi sore itu aku pergi ke warung nasi sebelah rumah. Menikmati sebatang surya, rokok kebanggaan warga kotaku, dan segelas teh hangat sambil menunggu mak Ijah selesai menyiapkan formula nasi tumpang khas racikannya. Tidak seperti biasanya warung mak Ijah sepi pengunjung. Mungkin hanya aku warga komplek sekitar kampung rumahku yang sedang kelaparan sore-sore. Mungkin mereka sudah kenyang dan malas keluar sore. Atau mungkin juga aku yang jarang namu ke warung nasi tumpang-pecel milik mak Ijah akhir-akhir ini. Barangkali hujan sedari sianglah penyebab sepinya pelanggan mak Ijah. Waktu semakin sore dan perutku makin krucak-krucuk saja mikirin pelanggan warung mak Ijah.

Aku tengah asyik mengetik sms ketika entah dari mana munculnya seorang lelaki berbaju kumal tak bercelana, rambut gimbal, muka lusuh seram, badan beraroma sampah --barangkali dia takut air-- duduk di samping kananku diam dengan sorot mata tajam memelas seolah mengharap sesuatu. Sontak mak Ijah sigap, paham apa yang musti dilakukan. Segera dia memberi sebungkus nasi sayur plus lauk ala kadarnya pada orang yang ternyata gila itu, sekedar untuk berjaga kalau-kalau dia mengamuk lagi seperti tempo hari. Rupanya, kata mak Ijah, memang beberapa hari yang lalu orang yang sama mengamuk lantaran tak digubris di warung itu. Aneh. Segila-gilanya orang gila pasti tahan malu, namun seumur hidup belum pernah kujumpai orang gila yang tahan lapar. Entah apa yang ada dalam benak orang gila itu.

Duduk santai sambil menyantap nasi tumpang pedas-dahsyat karya mak Ijah, sesekali mataku melirik kanan kiri. Ada pak Wawan di seberang meja, tukang becak yang setahuku kerap kali malam-malam mengantar pulang ke rumah salah satu keeper andalan kesebelasan sepak bola yang, gara-gara penjaga gawang ini gawang tim sepak bola kesayangan warga kotaku sering kebobolan. Pak Wawan sedang asyik ngobrol bersama Ponidi, seorang pengangguran sukses satu-satunya lelaki anak mak Ijah yang –hanya-- tiap malam saja membantu ibunya, saat orang gila itu mengamuk beberapa hari sebelumnya. Dan berkat bantuan pak Wawanlah, masih kata mak Ijah, orang gila itu terusir pergi. Di samping kiri pak Wawan tadi ada seorang ibu muda berparas lumayan cantik kira-kira seumuranku, berdiri menunggu bungkusan pesanannya. Dia datang hampir bersamaan dengan masuknya orang gila itu. Bersama anaknya yang penakut, ibu muda itu bergegas pergi sesaat setelah urusannya dengan mak Ijah selesai.

Orang gila itu rupanya memiliki aura magis untuk mengusir orang khususnya para wanita dan anak kecil. Tapi hawa seram yang dibawa orang gila ber-burung gondal-gandul itu tak mempan bagi pak Wawan. Darah paruh bayanya pasti meninggi tak tertahankan bila siapa pun orang itu menghalalkan segala cara dengan kekerasan. Apa lagi melihat gembel, mengemis tak digubris lalu memaksa dengan kekerasan sebagai senjata. Sama halnya dengan mbah Di, begitu orang-orang memanggilnya, seorang dukun nyleneh yang setiap hari mangkal di warung mak Ijah untuk sekedar mengganjal perut tuanya itu tak bergeming sedikitpun saat orang gila itu menjajah tempat duduknya. Walau sudah udzur, pada umurnya yang sudah kepala tuju itu mbah Di masih a lot juga. Kaku, agak kasar –kalau terpaksa. Aku sempat terkekeh kecil menyaksikan adegan eyel-eyelan itu karena toh mbah Di nggak jauh beda dengan penjajah tempat duduknya, lhawong mbah Di sendiri juga dulu pernah sakit jiwa dan belakangan menjadi gendheng anyaran lagi kurang lebih setahun ini. Konon kabarnya dia gila karena tekanan ilmu dan sedikit masalah asmara. Tak lama kemudian adzan maghrib menggema, orang gila beserta bungkusan nasinya itu pergi entah kemana.

Jalan raya depan warung mak Ijah mulai sesak oleh lalu-lalang kendaraan besar-kecil. Binar lampu jalan kekuningan, kepulan asap kecil, uap udara dan beberapa gerombol manusia tampak memantul samar di permukaan aspal yang basah lembab karena rintik hujan masih mengguyur. Jauh di emperan toko seberang jalan kulihat orang gila tak bercelana itu asyik melahap nasi bungkusnya. Pemandangan dari jendela kaca warung mak Ijah ini sekejap membawaku melesat jauh sekali ke sebuah tempat luas yang dipenuhi ribuan bahkan –bisa jadi-- jutaan jenis manusia dengan profesi dan urusannya masing-masing. Di tempat yang bagiku sama sekali asing ini aku dihadapkan pada persoalan batin yang perlahan mengusik isi kepalaku. Di dalam lautan manusia itu kusaksikan lautan kesibukan urusan masing-masing. Mulai dari manusia yang hanya diam duduk nggak ngapa-ngapain, ada yang mondar-mandir tak karuan arahnya, ada yang sibuk komat-kamit berdoa, ada yang berselisih satu sama lain, ada yang hanya bekerja saja, ada yang berdemo di depan barisan orang yang nggak jelas jluntrungnya, ada seorang bertubuh besar gendut mencoba memimpin ratusan jumlah manusia yang susah diatur, celakanya pemimpin besar gendut itu sok becus mengatur padahal dia sendiri meski bertubuh besar-gendut nyatanya mlempem, ada juga sekelompok orang yang mengusir orang lain, serupa dengan peristiwa warung mak Ijah dan masih banyak peristiwa-peristiwa kecil lain yang sangat beragam bentuk dan ceritanya. Sungguh aneh, di antara hiruk-pikuk tumpahan manusia itu aku juga melihat si rambut gimbal tak bercelana! Ada urusan apa dia di tempat asing ini? Tiba-tiba aku merasa seperti melihat diriku sendiri. Seperti berkaca pada orang yang kebetulan gila itu. Untuk apa aku ke tempat aneh ini? Aduh. Mataku kupejam erat, agak lama, sedikit kukucek, hingga rasa pedih akibat kemasukan asap rokok berangsur hilang. Kubuka lagi mataku.

Lalu kemudian pandanganku kembali tertuju pada temaram lampu kuning sepanjang jalan depan warung mak Ijah –lagi. Lalu-lintas masih ramai, meski hari sudah lumayan gelap. Senja disaput petang. Aku masih memperhatikan banyak kejadian yang terjadi dalam sekejap mata. Di seluruh penjuru dunia ini, pikirku, dalam sedetik saja jutaan peristiwa terjadi. Persis seperti lautan manusia yang kusaksikan di tempat entah berantah tadi. Kuamati lagi beberapa gerak-gerik anak manusia di jalan itu satu-persatu. Ada yang sedang pulang, ada yang pergi, ada yang berjalan ke utara, selatan, barat dan timur. Semua membawa satu hal dalam kepalanya: urusan, atau dalam bahasa londonya adalah business! Ya, seluruh manusia di muka bumi ini bernafas, bergerak dan hidup untuk mengurusi sebuah urusan masing-masing. Tak ada urusan, berarti tak hidup. Dan pada akhirnya seluruh gerak dan hidup manusia itu hanya tertuju pada: sebuah kebahagiaan.

Sudahkah ku bahagia? Ah, yang penting urusan laparku sementara ini selesai. Tinggal mengurusi urusan lainnya. Kasihan sekali si gembel gila itu, pikirku. Apakah dia bahagia sebagaimana manusia normal lainnya? Ah, bukan urusanku, pikirku egois. Wah, jangan-jangan aku nggak normal. Entahlah. Semoga saja semua manusia bahagia dengan urusannya masing-masing. Hujan masih saja rintik-rintik. Gerimis selalu awet saat petang menjelang, kata banyak orang.

"Sudah nak?" suara mak Ijah membuyarkan lamunanku.

"Oh, iya mak Jah. Maaf, kebablasan. Semuanya jadi berapa?"

"Enam juta rupiah! Masih tetap seperti biasanya, masak ndak hafal to?" sergah mak Ijah dengan kelakar khasnya.

"Endog puyuh sama tahu batanya sudah kehitung apa belum, mak bro?"

"Sudaah..", sahut mak Ijah sembari mengernyitkan dahi.

"Eh mak, kok tumben tumpangnya nggak begitu pedes kayak biasanya?"

"Harga lombok masih mahal, nak.."

"O, pantesan. Ya sudah mak, makasih buanget. Pak, mas, semuanya, monggo..", aku sekalian pamit pulang.

Lamunanku terus berlanjut sepanjang perjalananku pulang. Dari urusan makan, orang gila, nglamun ngalor-ngidul, mendadak ku teringat bahwa ada pengatur dan penguasa di atas penguasa. Tersadar bahwa segala urusan dunia ini sudah ada yang mengatur. Segalanya sudah ditentukan sejak bumi ini belum tercipta –setidaknya begitu kata sejarah yang kupelajari selama ini. Mau tidak mau, tokoh cerita itu tidak ada pilihan selain harus –memilih-- tunduk dan patuh secara absolut pada pengarangnya. Lalu pengarang pilihannya apa? Apakah harus tunduk dan patuh secara absolut kepada pengarangnya? Ada pilihan lainkah? Halah. Kebacut! Aduh, kakiku tersandung batu yang teronggok di jalan depan kediamanku, lalu seketika kusingkirkan. Nah, makin ngelantur saja otakku.

Tunggu dulu. Hal-hal semacam ini kalau tidak salah bernama: Takdir. Qadha dan Qodar, bahasa asingnya. Jika Sejak perjalananku ke warung mak Ijah itu, lalu orang gila, dan seluruh hingar bingar urusan dunia ini sudah diatur jauh sebelumnya, lalu apa yang sebenarnya kukerjakan? Bukankah aku ini tokoh cerita? Ada yang bilang patuh kepada pengarang itu berarti patuh pada aturan agama, patuh kepada ketentuan pendeta, clergy, mullah, resi, nabi, mahaguru, rasul dst. Sementara yang lain bilang pilihan hidup dan kehendak bebas itu hanya ilusi, realitas itu hanya mainan pengarang, dan indeterminisme itu hanya untuk anak-anak. Alam semesta ini –masih katanya-- sudah sejak awal tunduk kepada pengarangnya. Kalau semuanya sudah ditentukan pengarang berarti konsep cerita ini-itu, surga neraka, dosa pahala, benar dan salah dalam agama jadi tidak berlaku dong. Wah, kenapa baru terpikir ya? Kalau semuanya sudah ditentukan pengarang berarti semua benar, atau dalam proses menjadi benar, termasuk orang gila tak bercelana yang cinta kekerasan itu. Kecuali dari awal kita sepakat bahwa pengarang juga bisa berbuat salah. Pusing, haus. Kuatir lapar lagi, kubikin kopi. Cesss..! Api menyala di ujung pentol korek apiku. Sebatang rokok kuhisap –lagi.

Apakah Tuhan sudah menentukan jalan cerita ini, ceritaku, dan cerita hidupnya? Apakah aku memilih untuk merokok detik ini? Bisa tidak, bisa juga iya, ini sudah ketentuanNya. Jangan-jangan dalam lauhun mahfudz sana tertulis bahwa sekarang aku ditentukan Tuhan untuk menulis lagi. Tidak, otakku sekarang dihantui nasib orang gila itu dan takdirnya. Apakah orang gila itu memilih untuk menjadi gila? Apakah ini lelucon hambar? Apa maksud Tuhan sebenarnya? Mungkinkah ini sepenggal adegan satir yang sengaja diperlihatkan padaku? Ah, sudahlah. Lebih baik kutulis saja. Entahlah. Barangkali aku harus menyibak sendiri jalan misteri yang terbentang panjang di depanku. Barangkali kalau sudah terlihat jalan misterius itu aku akan gampang melewatinya, meski kutahu tidak selamanya lurus dan mulus.***

Kediri, 14 Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun