Mohon tunggu...
Afika A Rozzaq
Afika A Rozzaq Mohon Tunggu... Guru - Guru

Ingin menjadi orang yang bermanfaat. Senang menjadi guru. Dan yang selalu kangen Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dulu: Jadi Wali Kelas

6 Oktober 2015   16:32 Diperbarui: 6 Oktober 2015   16:51 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun 2014 – 2015 adalah tahun pertama saya menjadi wali kelas. Kesan pertama, excited. Senang. Keren. Selanjutnya, hah, memang hidup itu tidak seindah bunga mawar. Menjadi wali kelas pun tidak semudah dibayangkan. Ada masa yang menyenangkan, mengecewakan, dan membingungkan. Ada saat dimana saya optimis bisa mengatur mereka, lalu muncul rasa ingin menyerah seperti kata-kata 'terserah mereka lah'. Ya -optimis dan pesimis- itu naik turun.

Di sekolah swasta itu, saya memegang kelas X TKR 2. Sudah menjadi catatan di sekolah tersebut untuk menjadi wali kelas yang super ekstra. Tidak hanya wali kelas, disana juga harus bisa menjadi guru super ekstra. Kenapa semuanya harus super ekstra?

Karena anak-anaknya juga berlaku seperti itu. Kelas X TKR 2, penduduknya laki-laki semua. Penampilan kebanyakan mereka hampir selalu menyalahi aturan sekolah pada umumnya. Baju seragam mereka dibuat kecil dan celana abu-abu mereka dibuat 'pinsil'. Tidak ketinggalan juga coretan di baju atau di celana mereka, yang bertuliskan nama sekolah mereka. Selain itu, ucapan mereka seperti tanpa saringan. Apa yang ada di pikiran mereka langsung diungkapkan tanpa diolah ketidakpantasannya. Ucapan binatang menjadi konsumsi kebanyakan dari mereka. Sudah?

Belum selesai.

Di kelas itu, beberapa siswanya pernah masuk penjara karena tawuran atau kena patroli polisi karena nongkrong di luar sekolah saat jam pelajaran sekolah.

Di kelas itu, kebanyakannya anak 'siluman'. Mereka hanya datang pada saat ujian, baik Ujian Tengah Semester maupun Ujian Akhir Semester. Sedangkan di luar itu, harus ada usaha lebih untuk membuat mereka belajar dan anteng di kelas. Untuk membuat mereka masuk ke kelas, harus dikejar-kejar dahulu, dan mereka punya strategi bolos pada saat istirahat. Dan hampir setiap malam, saya harus SMS mereka untuk datang ke sekolah.

Di kelas itu, kebanyakan siswa sering dihukum sekolah. Dari alasan absensi sampai sikap mereka.

Hukuman dan teguran seakan jadi hal yang biasa untuk mereka. Kebal. Oleh karena itu, saya jarang memberikan mereka hukuman/sanksi. Mereka sudah sering mendapatkannya dari Bagian Kesiswaan. Saya pikir, hal yang tepat adalah 'ngobrol' dengan mereka. Beberapa kali saya naik ke atas menara sekolah (tempat mereka biasanya nongkrong), untuk menghampiri mereka dan untuk 'ngobrol' tentunya. Hasilnya, kita akrab. Yea. Ternyata akrab tidak mengubah segalanya.

Mereka, anak-anak yang menyenangkan sebenarnya.

Seorang dari mereka sangat rajin, pintar, dan nurut. Namanya Sapari. Lalu ketika kenaikan kelas, dia pindah sekolah ke SMK Negeri (mulai kelas X lagi). Dia sering konsultasi dengan saya, termasuk terkait kepindahannya itu. Dan dengan berbagai pertimbangan, saya -jujur- setuju-setuju saja dia pindah.

Lalu ada Andri, anak yang rajin dan nurut. Polos. Rapi. Tapi fokusnya kadang kurang. Dia bertahan sampai sekarang.

Puad, yang suka update status Facebook. Apalagi dengan kegiatan perbolaannya. Nandang, yang hitam manis ini suka manggung. Fadilah, yang ngeyeeeeelnya ituuu.... Sefi, calon pemuda desa yang aktif. Dari jadi panitia ceramah sampai jadi anggota komunitas Onthel Cirebon. Masih banyak anak-anak dengan plus minusnya.

Siapapun mungkin bisa berubah menjadi menyenangkan. Asalkan kita punya cara untuk melihatnya. Entah lingkungan atau kondisi keluarga yang membuat mereka menjadi pembangkang. Atau pada dasarnya mereka memang tidak suka diatur dengan berjuta peraturan sekolah yang seabrek. Ya, aturan sekolah yang tujuannya adalah 'mendisiplinkan' ternyata kadang bisa membuat mereka semakin bertambah 'ngeyel'. Jadi, sistemnya salah? Dalam kasus ini (sekolah ini), saya lebih menitikberatkan pada pribadi yang mengelola dan menjalankannya. Jangan pernah berhenti belajar; memperbaiki diri. Dengan memiliki rasa bijak untuk terus belajar, maka itu artinya ada kemampuan untuk me-manage diri sendiri (termasuk mengelola hati juga). Jika sudah berhasil me-manage diri sendiri, maka insha Allah berhasil juga memimpin anak-anak super itu.

Kepada anak-anak itu, semuanya, semoga kalian menjadi orang yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun