Mohon tunggu...
Afif Ikhwanul Muslimin
Afif Ikhwanul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Pendidikan Bahasa Inggris UIN Mataram

Minat dalam ELT, Linguistics, Literature, English skills, ESP, EYL, pembelajaran TOEFL dan IELTS, serta pembelajaran berbasis technology.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid-19 Tak Ciutkan Pemudik

19 Mei 2020   08:54 Diperbarui: 19 Mei 2020   08:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menunjukan budaya Jawa sebagai mayoritas penduduk Indonesia ternyata mempersuasif bahwa anak harus tetap pulang kumpul bersama keluarga. Umar Kayam (2002) menyatakan bahwa petani jaman dulu memiliki budaya pulang kampung ke tanah kelahirannya untuk mendoakan leluhurnya atau berziarah. 

Tidak hanya itu, di era kerajaan Majapahit, menurut Lilik Aji Sampurno (Kompas.com, 6/5/2018), ada kebiasaan para pejabat di daerah kekuasaan diluar keraton yang kembali ke keraton untuk menghadap raja secara bersama-sama.     

Aspek ketiga adalah psikologis pelaku mudik. Banyak orang merasa stress setelah berbulan-bulan bekerja dengan hiruk pikuknya kota dan kebisingan macet. 

Sehingga di kala libur panjang sudah di depan mata, keinginan untuk relieving stress muncul dan menjadi kebutuhan. Tidak hanya itu, terkadang romantisme masa kecil yang dipenuhi dengan memori lucu dan kesenangan bersama keluarga dan teman sekampung, berkunjung ketempat-tempat kelahiran, menjadi dambaan sebagai obat pelega dan penenang pikiran yang sudah penat, serta pemurni mental yang sudah kusut.

Selanjutnya, tak jarang banyak orang pergi mengadu nasib ke kota besar atau pusat industri untuk memperbaiki situasi sosialnya. Mereka yang berasal dari strata sosial rendah dan memiliki nyali kuat, tentunya berani mengambil langkah tersebut. 

Sehingga, ketika mereka sudah sukses dengan karir dan kehidupan sosialnya di kota, mentalitas ingin dipandang lebih baik secara strata sosial di lingkungan keluarga besar dan lingkungan kampung halaman muncul dan menjadi kebutuhan. 

Beberapa juga memiliki harapan, dengan kesuksesan di mata sosial secara pribadi akan membawa dampak naiknya strata sosial suluruh anggota keluarga besarnya. Dalam hal ini, aspek sosial sebagai aspek keempat sangat menggelitik seseorang untuk tetap ngotot mudik.

Aspek terakhir yang bisa jadi pemicu masyarakat Indonesia tetap ngotot adalah adanya keinginan menemukan peluang ekonomi di kampung halaman. Notabenenya, barang-barang komoditi ekonomi di desa memiliki harga lebih murah. 

Hal ini menimbulkan pemikiran "shooting two birds with one stone" atau "sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui". Mereka berfikir dengan mudik, bisa sambil berbelanja membeli semua barang murah di kota dan meraup keuntungan dengan menjualnya di kampong halaman atau sebaliknya. 

Bagi mereka penggiat bisnis online, selama perjalanan mudik bisa menjadi sumber pengumpulan konten, bahan mencari referensi bisnis, atau bahkan menambah relasi bisnis.

Dari berbagai aspek tersebut diatas, bisa jadi tidak semua aspek muncul dalam pemikiran mereka yang ngotot mudik dan ngeyel dengan larangan mudik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun