Mohon tunggu...
Afifatul Khoirunnisak
Afifatul Khoirunnisak Mohon Tunggu... Petani - Sarjana Pertanian

Menikmati perjalanan hidup dengan belajar dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah, Ku Temukan Bayanganmu dalam Setumpuk Buku

29 Juni 2021   20:35 Diperbarui: 29 Juni 2021   21:29 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah, dalam hening sepi ku rindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban

Lagu Titip Rindu buat Ayah terdengar sayup-sayup di telingaku. Kubuka lemari kayu usang yang bertengger di pojokan ruangan ini. Berisi buku-buku lawas peninggalan Bapak. Ku susuri satu persatu - buku kalkulus, modul pembelajaran, diktat, dan sebagainya - berharap menemukan sesuatu yang bisa menyembuhkan kerinduan ini.

"Kenapa nggak dijual aja sih motor bututnya, apalagi helm jadulnya."

Rengekku kala itu sepulang sekolah, malu karena teman-temanku dijemput dengan kendaraan mewah. Dan beliau pun hanya merespon sekenanya, yang membuatku mendengus sebal.

Sempat juga merasa kesal ketika tidak diizinkan menginap di rumah teman. "Ya pak, boleh ya?" Saat itu merupakan awal-awal masa remaja, yang membuatku mudah mengikuti arus pertemanan. Tentu saja dengan tegas Bapak menolak, membuat nyaliku semakin menciut dan akhirnya berhenti merengek.

Atau merasa marah ketika tidak diizinkan berenang di sungai ketika masih di tingkat sekolah dasar. Nekat mengikuti ajakan teman berenang di sungai, membuat bapak marah besar. Bukan tanpa alasan, yang kala itu tidak kupahami, karena memang berbahaya. Apalagi di musim penghujan yang membuat arus semakin deras.

Bapak memang memiliki sifat yang tegas. Ketika keputusannya bulat, tidak ada satupun hal yang bisa merubahnya, meskipun dengan tangisan semalam. Sangat berbeda dengan sifat ibu yang lembut, kecuali pada saat mengomel karena pekerjaanku tidak benar.

Namun, disamping sifat tegasnya, yang kadang membuatku takut, bapak merupakan sosok yang sangat tanggung jawab dan peduli.

Setiap pulang ngaji waktu malam hari, beliau selalu menjemput anak-anaknya meskipun kami membawa sepeda sendiri. Bapak selalu menunggu di warung kopi saat jam pulang, dan mengantar kami dari belakang hingga sampai rumah dengan selamat. Dan begitu banyak kepedulian bapak kepada kami yang apabila diceritakan tidak cukup dalam selembar dua lembar.

Hal-hal yang paling aku rindukan yaitu kebersamaan itu. Menjadi hal yang paling aku tunggu ketika Bapak pulang dari kantor membawa sekotak nasi dan dimakan bersama dengan tambahan lauk dari ibu. Ataupun ketika menonton bola bersama dan saling mengunggulkan tim yang didukung. Apabila tim jagoannya kalah, akan ada hukuman ringan. Namun siapapun yang kalah, tetap saja bapak yang mengalah.

Sebenarnya begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan. Tentang perjalanan hidup, tentang pemikiran-pemikiran naif, yang pada akhirnya kutemukan sendiri jawabannya seiring berjalannya waktu. Dibalik sikap-sikapnya itu, terdapat ajaran untuk hidup sederhana dan selalu bersyukur.

Pada akhirnya kebiasaan dan kebersamaan itu, yang dulu merupakan hal yang sangat biasa, sekarang menjadi sebuah kenangan yang sangat dirindukan. Semisal ada teknologi canggih yang dapat memutar waktu, aku ingin kembali ke masa-masa itu. Tapi aku tahu pasti, hal tersebut tidak akan terjadi. Aku pun enggan untuk berandai-andai.

Lagu Ebiet G. Ade masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tersenyum membaca tulisan bapak di buku jurnalnya. Ku ambil sebuah pena dan mulai menulis di lembar kosong.

Bapak, aku merindukan banyak hal. Sembilan tahun sebenarnya merupakan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Namun tanpa ku sadari, aku masih tetap mencari bayanganmu di manapun aku berada. Ketika mendengar suara berat orang dewasa, aku langsung teringat kehadiranmu. Ataupun kehadiranmu dalam mimpiku sebelum aku terbangun dan menyadari kalau engkau sudah tiada.

Setelah engkau pergi banyak hal-hal yang telah terjadi, yang mungkin sangat berbeda. Jangan khawatirkan kami. Kami baik-baik saja. Ibu sudah tidak pernah menangis lagi ketika bercerita tentang Bapak. Semua harapan-harapan yang engkau titipkan, akan aku perjuangkan. Meskipun dalam prosesnya tidak semudah itu. Seringkali aku merasa takut, khawatir, dan kesepian. Namun aku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Oh ya pak, sebagai penghibur aku akan menceritakan hal yang paling bapak sukai semasa hidup. Saat ini tengah dihelat pertandingan Piala Eropa dan sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Beberapa tim yang diunggulkan ternyata gugur di babak penyisihan. Namun aku tidak mengikuti perkembangannya karena jarang menonton bola. Sepak bola dalam negeri juga beberapa kali tertunda karena adanya pandemi.

Kondisi di dunia saat ini juga kurang baik karena adanya virus. Semoga semuanya lekas membaik. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya. Ku kirimi doa sebagai pengiring tulisan ini.

Kali ini bukanlah tangisan lagi, karena ku yakin inilah yang terbaik. Tugasku hanyalah melanjutkan hidup dengan baik. Biarlah semua kenangan ini ku ukir dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun