Ayah, dalam hening sepi ku rindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Lagu Titip Rindu buat Ayah terdengar sayup-sayup di telingaku. Kubuka lemari kayu usang yang bertengger di pojokan ruangan ini. Berisi buku-buku lawas peninggalan Bapak. Ku susuri satu persatu - buku kalkulus, modul pembelajaran, diktat, dan sebagainya - berharap menemukan sesuatu yang bisa menyembuhkan kerinduan ini.
"Kenapa nggak dijual aja sih motor bututnya, apalagi helm jadulnya."
Rengekku kala itu sepulang sekolah, malu karena teman-temanku dijemput dengan kendaraan mewah. Dan beliau pun hanya merespon sekenanya, yang membuatku mendengus sebal.
Sempat juga merasa kesal ketika tidak diizinkan menginap di rumah teman. "Ya pak, boleh ya?" Saat itu merupakan awal-awal masa remaja, yang membuatku mudah mengikuti arus pertemanan. Tentu saja dengan tegas Bapak menolak, membuat nyaliku semakin menciut dan akhirnya berhenti merengek.
Atau merasa marah ketika tidak diizinkan berenang di sungai ketika masih di tingkat sekolah dasar. Nekat mengikuti ajakan teman berenang di sungai, membuat bapak marah besar. Bukan tanpa alasan, yang kala itu tidak kupahami, karena memang berbahaya. Apalagi di musim penghujan yang membuat arus semakin deras.
Bapak memang memiliki sifat yang tegas. Ketika keputusannya bulat, tidak ada satupun hal yang bisa merubahnya, meskipun dengan tangisan semalam. Sangat berbeda dengan sifat ibu yang lembut, kecuali pada saat mengomel karena pekerjaanku tidak benar.
Namun, disamping sifat tegasnya, yang kadang membuatku takut, bapak merupakan sosok yang sangat tanggung jawab dan peduli.
Setiap pulang ngaji waktu malam hari, beliau selalu menjemput anak-anaknya meskipun kami membawa sepeda sendiri. Bapak selalu menunggu di warung kopi saat jam pulang, dan mengantar kami dari belakang hingga sampai rumah dengan selamat. Dan begitu banyak kepedulian bapak kepada kami yang apabila diceritakan tidak cukup dalam selembar dua lembar.
Hal-hal yang paling aku rindukan yaitu kebersamaan itu. Menjadi hal yang paling aku tunggu ketika Bapak pulang dari kantor membawa sekotak nasi dan dimakan bersama dengan tambahan lauk dari ibu. Ataupun ketika menonton bola bersama dan saling mengunggulkan tim yang didukung. Apabila tim jagoannya kalah, akan ada hukuman ringan. Namun siapapun yang kalah, tetap saja bapak yang mengalah.
Sebenarnya begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan. Tentang perjalanan hidup, tentang pemikiran-pemikiran naif, yang pada akhirnya kutemukan sendiri jawabannya seiring berjalannya waktu. Dibalik sikap-sikapnya itu, terdapat ajaran untuk hidup sederhana dan selalu bersyukur.