SEJARAH KLENTENG HOK AN KIONGÂ
Klenteng Hok An Kiong atau yang dikenal Klenteng Suka Loka merupakan salah satu kelenteng tertua di Kota Surabaya yang telah berdiri sejak abad ke-19, lebih tepatnya sejak tahun 1830. Pada mulanya, klenteng ini dibangun sebagai tempat berkumpul dan beribadah bagi para pelaut dari negeri Tiongkok yang tengah menunggu untuk kembali berlayar. Klenteng ini didirikan oleh perkumpulan bernama Hok Kian Kong Tik Soe yang merupakan perkumpulan orang Tionghoa keturunan dari provinsi Hokkian, Tiongkok.
Perkumpulan ini mendirikan klenteng ini untuk memuja dewi Ma Co Po yang diyakini sebagai dewi pelindung yang dapat melindungi para pelaut saat berlayar di lautan. Oleh karena itu, klenteng ini juga dikenal dengan nama Tian Shang Sheng Mu Miao atau Kuil Bunda Suci dari Surga. Hok An Kiong sendiri memiliki pengertian "Kuil Kebahagiaan dan Kedamaian" dengan nama lokal Klenteng Sukhaloka atau Kelenteng Soka Loka.
Para leluhur bangsa Tionghoa ini memang memegang kepercayaan bahwa dewi Ma Co Po lah yang telah melindungi mereka agar dapat selamat tiba di daratan Surabaya setelah melintasi samudra dari negeri asal mereka di Tiongkok. Kondisi perang yang terjadi di Tiongkok serta kesulitan hidup membuat para leluhur ini terpaksa meninggalkan tanah airnya demi mencari nasib baru.
Awalnya, klenteng ini hanya berupa sebuah bangsal yang didirikan di lapangan kosong untuk digunakan sebagai tempat menginap sementara bagi para imigran Tionghoa yang baru tiba di Surabaya. Kemudian, perkumpulan Hok Kian mengubah bangsal tersebut menjadi sebuah klenteng selain tetap digunakan sebagai tempat menginap sementara. Hal ini dilakukan mengingat para imigran juga membutuhkan tempat untuk beribadah.
Pada tahun 1830, klenteng ini secara resmi didirikan oleh perkumpulan Hok Kian. Berdasarkan prasasti yang ditemukan, tercatat adanya donasi dari seorang kapten bernama The Goan Tjing pada tahun 1832 untuk membangun klenteng ini. Sejak didirikan, Klenteng Hok An Kiong berperan sebagai tempat ibadah bersama bagi seluruh umat Tionghoa di Surabaya, tidak hanya umat dari suku Hokkian saja. Klenteng ini juga terbuka bagi penganut agama lain untuk beribadah atau sekadar berkunjung.
Pada tahun 1864, perkumpulan Hok Kian mendirikan "Perkumpulan untuk Perbuatan Baik" di klenteng ini. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk mempraktikan ajaran Kong Hu Cu serta memberikan bantuan biaya pernikahan, kematian dan keperluan ibadah umat Tionghoa pada umumnya. Selain itu, klenteng ini juga rutin menyelenggarakan berbagai upacara keagamaan seperti perayaan Tahun Baru Imlek, upacara khitanan, dan ritual tolak bala ke Ma Co Po.
Keberadaan 22 altar yang masing-masing didedikasikan untuk berbagai dewa menunjukkan betapa kaya dan beragamnya kepercayaan yang dianut oleh para penganutnya. Setiap dewa memiliki peran dan fungsi tertentu, mencerminkan berbagai aspek kehidupan dan alam semesta dalam ajaran Tionghoa. Ma Co Po, sebagai dewa utama, dianggap sebagai pelindung para pelaut dan nelayan, sebuah penghormatan terhadap sejarah panjang komunitas Tionghoa yang banyak berprofesi di bidang kelautan.
We To Pho Sat, Kuan Im, dan Tee Cong Ong Poh Sat adalah beberapa dari dewa lainnya yang juga dihormati di klenteng ini. Kuan Im, misalnya, dikenal luas sebagai dewa belas kasih dan selalu siap mendengar doa-doa umat manusia. Tee Cong Ong Poh Sat dianggap sebagai pelindung para pebisnis dan pedagang, yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat Tionghoa.