Salah satu kunci dalam kehidupan adalah harapan. Jika pun bisa menjadi jelmaan dari harapan, mungkin banyak orang akan berbondong-bondong menjadi harapan, karena hadirnya bak cahaya meski dalam kegelapan sekalipun.
Program kuliah satu per satu berlalu begitu cepat, sampailah kami di program KKN, seluruh mahasiswa tingkat tiga bergelut dalam pembentukan kelompok yang pada akhirnya terbentuklah kelompok Desa Kulo. Kami meyakini ini akan menjadi kelompok yang paling asik diantara semua kelompok. Setiap kali latihan, kali itu pula kami memupuk harapan kebaikan satu sama lain.
Harapan demi harapan kami pupuk dengan baik. keberuntungan kami adalah, salah satu rekan kami, Yanti mempunyai kawan seorang Dokter yang bisa kami undang sebagai narasumber cuci tangan pakai sabun dengan baik sekaligus mengadakan acara pemeriksaan panti jompo. “Ini sih akan menjadi program kerja paling keren” ujar Dodi sembari tersenyum lebar.
Kami bermain dalam imajinasi, berharap proker yang kami buat bisa terwujud seindah harapan masyarakat. Perencanaan demi perencanaan dibuat dengan matang. Rencananya H-3 dokter akan datang untuk survey dan menyerahkan sabun untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun, setelah ditunggu sepanjang hari dokter tak kunjung datang, di malam harinya, Yanti menerima panggilan yang mengejutkan. Ternyata dokter terjatuh di depan gang desa. Detik itu juga Yanti diantar Raina untuk menolongnya, namun sudah satu jam pergi, mereka tak kunjung pulang. Mereka muncul setelah kami menelponnya. Dengan lesu mereka katakan bahwa mereka tidak menemukan seorang pun disana, ketika dicoba untuk dihubungi, nomornya mendadak tidak aktif, aneh.
Keesokan harinya, seseorang datang menemui Yanti. Beliau bilang “saya Tuti adiknya Dokter Tirta, kebetulan beliau sedang sibuk dan menitipkan ini untuk dibagikan.” Kami tercengang melihat semua bawaannya. Bukan hanya sabun untuk masyarakat, tapi juga makanan yang sebegitu banyaknya. Lalu terciplatah perbincangan “beruntung banget yah Yanti, yang ngedeketinnya Dokter, kita jadi punya bantuan makanan.” kami bahkan tertawa gembira. Beliau bilang, besok kakaknya akan datang untuk pengarahan. Mendengar hal itu, Yanti mendatangkan kedua orangtuanya agar bisa memperkenalkannya. Konon, katanya Yanti dan Dokter saling dekat.
Meski jauh, orangtua Yanti datang dan menunggu hingga sore, namun kejadian sebelumnya terulang, dokter tidak datang tanpa keterangan dan adiknya menekankan kembali bahwa dokter akan datang keesokan harinya. Kepercayaan kami mulai terkikis sedikit demi sedikit. Namun Dodi, ketua kelompok kami meyakinkan dan membangkitkan kembali harapan dengan berkata “gak apa-apa dokter gak dateng sebelum acara, tapi acara pasti berlangsung dengan baik.”
Tibalah kami pada acara inti yang tetap harus dilaksanakan tanpa ada pengarahan dari Dokter sedikitpun. Rencananya Dokter akan sampai pukul 09.00 pagi. Beberapa orang ditugaskan untuk diam di depan gang desa agar bisa menjadi petunjuk jalan. Selain itu beberapa orang bertugas untuk diam di tempat yang kami huni agar bisa memastikan apakah ada barang yang perlu dibawa oleh dokter atau tidak. Terakhir, Sebagian besar kami bertugas untuk melayani masyarakat yang datang di Gedung.
Lima menit berlalu, “cek, dokter udah sampe?” tanya Dodi sembari mengerutkan dahinya. Entah apa yang diucapkan seseorang dibalik telpon genggamnya, ia kembali menjawab “ya udah cepet kabari kalo udah ada ya” raut mukanya terlihat kesal, dengan helaan nafas yang panjang Ia menutup telponnya. Dua puluh menit, tiga puluh menit, empat puluh menit, “UDAH TELAT BANGET, DOKTERNYA DIMANA?” emosi Ridwan mulai tersulut melihat kondisi panti jompo yang setiap detiknya berdatangan semakin banyak. Rina bahkan menangis, tak tega melihat banyak pasang mata yang berbinar seakan mereka akan menemui cahaya.
“Rin, udahlah Rin. Nangis juga ga akan ngubah situasinya. Kita gak bisa kontrol sesuatu diluar diri kita. Sekarang waktunya kita berdo’a semoga dokter cepet dateng tanpa halangan apapun.” Ucap Gata, menenangkan.
“aku gak tega liatnya Ta!” bantah Rina dengan terisak.
“DOKTER DATENG!” teriak Ridwan dari kejauhan
“jangan boong kamu!” jawab Rina sembari mengusap air matanya.
“SERIUS! Kamu stay diposisimu Rin! Semuanya langsung stay di posisinya masing masing!” bantah Ridwan dengan tegas.
Kami Kembali ke posisi masing-masing. Sebelum acara, Tuti memberi kejelasan bahwa kakaknya tidak bisa datang karna kendala, yang bisa Ia datangkan adalah seorang ahli gizi. Kami kecewa bukan main. Tapi acara harus terus berjalan. Entahlah, rasanya permintaan maafnya terdengar biasa. Entah kami yang mudah memberikan kepercayaan atau memang dia yang keterlaluan.
Acara berjalan baik meski tak seperti apa yang direncanakan. Tiba saatnya mereka berpamitan untuk pulang. “Jangan dulu pulang kak, ada yang mau dibicarakan dulu” ucap Dodi dengan tegas. Mereka membantah dengan dalih ada jadwal yang tidak bisa ditinggalkan. Semua anggota KKN mengerumuninya sembari berbisik satu sama lain “jangan sampe dia kabur, jagain!”. Mereka sudah mendekati mobil namun dengan sigap Ridwan menarik tangan Tuti. “kak, nanti aku yang anter pulang ya!” ucap Ridwan dengan senyum terpaksa. Dok, Dokter boleh pulang duluan, terima kasih ya Dok, hati-hati di jalan!” Dodi mengantar Dokter ahli gizi sampai ke depan gerbang.
“Yuk masuk, kita ngobrol di dalem aja, yang lain boleh beres-beres tempat!” ucap Dodi dengan raut wajah yang sudah tidak bersahabat. Obrolan Dodi, Ridwan serta Tuti terlihat sangat serius. Ini bukan obrolan basa-basi, Ridwan terlihat marah sembari berbicara, sementara Dodi sudah berulang kali menarik nafas panjang.
“kalo udah beres boleh pulang ya, ISOMA dulu, nanti malem kita evaluasi, makasi semuanya” teriak Dodi sembari tersenyum. Bagaimanapun masalah yang kami hadapi, kami tetap satu tim yang harus saling menguatkan satu sama lain. “Masih banyak kegiatan yang harus dilewati, semangat!” bisik Rina kepada Yanti. Yanti hanya tersenyum lalu kembali memainkan handphone. Selang beberapa menit Ridwan datang berbisik kepada Rina, “Rin, bilangin yang lain jangan sampe hal tentang Dokter ini nyebar ke yang lain, kasian Yanti. Cukup kita aja yang tau” Rina mengangguk perlahan-lahan. Kejadian itu selesai disana meski masih meninggalkan sejuta pertanyaan, salah satunya “apa motif dia mengelabui kami?”
Tahun berganti tahun, bahkan kami sudah lulus kuliah. Yanti Kembali mengabari bahwa Ia menjual minyak kelapa dengan harga yang lebih murah ditengah gemparnya berita bahwa minyak diresmikan mahal pada waktu itu. Entah berapa orang yang membelinya, namun Rina begitu tergiur dengan tawarannya, Ia mulai membelinya, di pekan pertama orderan berjalan dengan baik meski ada beberapa hal yang janggal. Betapa tidak? Orang yang datang mengantarkan minyak mirip sekali dengan Tuti, namun saat ditanyakan, Yanti menegaskan bahwa Ia adalah saudaranya yang bernama Popi. Pekan kedua pengiriman mulai telat dan ternyata yang parahnya, Ketika sudah berkegantungan bahkan memesan lebih banyak, minyaknya justru tak kunjung datang. Sedangkan uang sudah masuk 50%. Berjuta alasan Popi lontarkan, dari mulai uwanya meninggal, anaknya sakit sampai pada akhirnya Yanti yang mengambil alih. “sabar ya Rin, ini duluar dugaan aku, kalo kakak Popi sudah selesai urusannya, minyaknya langsung dikirim ya”.
Beberapa hari minyak belum dikirim dengan berjuta alasan, akhirnya Rina saling berhubungan dengan teman yang juga memesan minyak. Mereka berjanjian bertemu di rumah Yanti untuk menemui orangtuanya. Begitu sampai, Yanti tiba tiba menghadang, bahkan menangis agar kita tidak melaporkannya. Rina tak peduli dengan tangisnya, namun teman teman lain yang justru lebih dekat dengan Yanti malah ikut menangis. “jadi gimana kalo kaya gini?” Rina bertanya keberlanjutannya. Yanti malah menyodorkan surat bermaterai serta KTP sebagai jaminan. Rina bahkan acuh, karena sudah kehilangan kepercayaan pada Yanti, namun teman-teman yang lain justru mengambilnya dan memegang janji tenggat yang tertera pada surat bermaterai. dengan geram, Rina dan teman-teman Kembali pulang.
Waktu tenggat sudah berlalu, namun uang minyak belum saja ditransfer. Perjanjiannya, kalau lewat tenggat, boleh melaporkannya ke polisi. Ia bahkan memilih dilaporkan kepada polisi dari pada kedua orangtuanya. Yanti mengirimi pesan Whatsaap dan telpon. Namun tak sedikitpun Rina hiraukan. Rina masih bersikukuh untuk melaporkannya, hingga di jam 10.00 pagi, Yanti kembali mengirimkan gambar di Whatsaap, bukan lagi alasan. Ketika dilihat, itu adalah bukti transferan. Selesai sudah drama itu. “makasih Yan, aku harap ini gak terjadi ke yang lain juga”. Rina menutup percakapannya dengan kalimat harapan. Tak lama setelah itu, Gata tiba-tiba menelpon Rina, menanyakan keberlanjutan uang minyak, “sialan aku malah disuruh ke rumahnya sekarang, tapi uangnya malah belum dikembaliin” Ketika Ia tahu bahwa uang Rina sudah dikembalikan, Rina hanya diam mendengar ocehan lalu menenangkan, mendoakan agar uangnya secepatnya kembali.
Permasalahan selesai dengan beribu pertanyaan. Kabarnya sisa uang teman-teman yang belum dikembalikan ternyata diproses langsung oleh pamannya Yanti yang merupakan seorang polisi. Pihak polisi meminta data agar tidak diusut dikemudian hari. Prosesnya memang bagus, namun memperlambat pencairan uang hingga membuat beberapa teman emosi bahkan sampai ada perdebatan.
Desas desis mulai terdengar dari satu kalangan ke kalangan lain, konon katanya benar, Popi adalah Tuti. Disebut sebagai saudara Yanti karna Tuti adalah kakak dari pacarnya yang disebut sebagai seorang Dokter, yang bahkan saat KKN pun belum pernah terlihat wujudnya. Anehnya, menurut teman yang biasa mengantarnya pergi, belakangan ini Yanti selalu bilang mau bertemu Dokter tapi yang keluar pastilah Tuti, katanya sebagai pelantara. Belum berakhir disitu, tentang minyak juga Yanti ditipu oleh Tuti. Ganti ruginya malah ditanggung keluarga Yanti, kalo ada yang bertanya kenapa Yanti tidak ingin orangtuanya tahu tentang hal ini, itu karena orangtuanya sudah tahu Tuti yang sebenarnya.
“kayaknya pertanyaan-pertanyaan kita waktu KKN sekarang bisa terjawab deh!” ucap Ridwan di momen bukber anggota KKN. Semua anggota yang sedang menikmati makanannya serempak memandang Ridwan yang sudah gatal ingin meneruskan ceritanya. “emang gimana?” tanya Gata dengan penasaran. Dengan tenang, Ridwan menjelaskan bahwa nama Dokter yang disebut sebagai pacarnya Yanti adalah singkatan dari nama Tuti. Jadi, dokter itu sebenarnya gak ada. Dokter itu cuma hidup dalam imajinasi. “tunggu, jadi maksud Tuti apa nih sampe kaya gini?” tanya Rina. “Nah, itu dia! Kita semua tau ya, Yanti ini anaknya cantik kan. Ternyata Tuti ini emang udah terkenal suka sama perempuan”
“Astagfirullah! Merinding banget dengernya, kasian banget Yanti”
“Ngeri banget ya zaman sekarang!”
“Makanya harus pada hati-hati!”
Setelah cerita selesai, anggota KKN satu sama lain bersahutan dengan kalimat do’a serta keprihatinan. Kurang lebih, orang pun bisa hanya hidup dalam imajinasi, kehati-hatian kita sekarang ini adalah jangan sampai kita masuk ke dalam imajinasi yang dibangun oleh orang lain. Pantas saja kisahnya menakjubkan. Seorang Dokter yang tampan mengejar seorang mahasiswa bahkan selalu kerap dengan semua pemberiannya. Tapi Dokter yang ada dalam cerita, bahkan pernah menjadi harapan mereka, ternyata Ia hanya hidup dalam imajinasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H