Apakah dunia benar-benar berniat mengakhiri krisis Gaza, atau hanya terjebak dalam retorika tanpa tindakan nyata?
Konflik Israel-Palestina sudah berlangsung lebih dari tujuh dekade, dan Gaza menjadi salah satu wilayah yang paling terimbas. Pembagian wilayah yang tidak adil, pembangunan permukiman Israel di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina, dan pemindahan paksa warga Palestina menjadi akar dari konflik yang terus berlangsung.
Proses-proses diplomatik yang gagal, seperti negosiasi yang stagnan atau pemindahan warga Palestina dari rumah mereka di wilayah yang diperebutkan, semakin memperburuk kondisi dan menambah ketegangan. Salah satu peristiwa pemicu serangan Israel adalah bentrokan antara warga Palestina dengan pasukan Israel di Yerusalem, terutama yang berkaitan dengan akses ke situs-situs suci.
Hingga 30 September 2024 lalu, PBB memperkirakan jumlah penduduk Gaza sekitar 2,1 juta jiwa. Mereka hidup dalam kondisi serba terbatas, seperti akses pangan, air bersih, listrik, dan layanan medis.
Menurut laporan dari Antara News, Selasa 24/12/24, “Layanan darurat masih belum bisa menjangkau korban dan jasad yang terperangkap di bawah reruntuhan atau berserakan di jalanan sebab pasukan pendudukan Israel terus menghalangi mobilitas ambulans dan kru pertahanan sipil.”
Jika hal ini terus terjadi maka akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut, biaya pemulihan kerusakan yang relatif tinggi dan hancurnya infrastruktur perekonomian yang dapat meledakkan angka penggangguran. Tanpa adanya inisiatif dan dukungan yang signifikan dari negara lain, kemungkinan angka pengungsi terus bertambah dan upaya diplomatik yang bertujuan untuk mencapai perdamaian semakin sulit dilakukan dan berujung kepada pihak Israel yang merasa diuntungkan, sehingga mereka melakukan perpanjangan pendudukan wilayah Palestina tanpa adanya tekanan atau konsekuensi yang nyata atas tindakannya.
Menurut laporan dari BBC News Indonesia 07/10/24, “Hanya dalam enam hari pertama perang, angkatan udara Israel telah menjatuhkan lebih dari 6.000 bom di Gaza.”
Sebuah ketidakadilan yang semakin memperburuk ketegangan. Negara-negara Eropa, meski terlihat menyodorkan sekian pernyataan yang terkesan kritis, tetapi tidak pernah cukup tegas dalam menekan Israel untuk merombak semua kebijakannya. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka lebih fokus pada diplomasi yang aman daripada mendorong tindakan yang lebih progresif.
Setiap kali terjadi serangan, mereka hanya memberi respons dengan rentetan pernyataan mendesak. Namun, seiring berjalannya waktu, pernyataan ini semakin kehilangan dampaknya. Gencatan senjata seringkali diterima oleh kedua belah pihak, tetapi hanya untuk sesaat. Setelah itu, siklus kekerasan akan terjadi secara berulang. Hal ini semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, yang terperangkap dalam konflik berkepanjangan.
“Kami merencanakan masa depan bersama. Kami memikirkan rumah yang akan kami bangun, mata pelajaran apa yang akan dipelajari masing-masing anak kami, tetapi tiba-tiba, Israel mengebom kami dan menghancurkan semua impian kami.” Ucap Ashraf al Attar, salah satu perawat di Rumah Sakit Eropa Khan Younis
Konflik yang berlangsung lama antara Israel dan Palestina, khususnya di Gaza, terus menciptakan penderitaan besar bagi warganya. Setiap kali terjadi kekerasan, dunia hanya mengeluarkan seruan di permukaan untuk mencapai sebuah perdamaian, namun kenyataan di lapangan tak banyak berubah. Negara-negara besar, organisasi internasional, dan berbagai belah pihak dari penjuru dunia yang berperan seakan hanya ‘mengaum’ tanpa ada tindakan nyata yang mengarah pada penyelesaian.
Dalam konteks diplomasi internasional, meskipun banyak negara besar yang tidak berupaya keras dalam memperjuangkan penghentian agresi di Gaza, Indonesia terus memperjuangkan Palestina di berbagai forum internasional. Indonesia secara aktif mendukung berbagai resolusi yang mendukung pemenuhan hak-hak Palestina di PBB, dan berusaha untuk memastikan bahwa suara Palestina tetap didengar oleh masyarakat dunia. Selain itu, Indonesia turut berperan dalam Gerakan Non-Blok, yang menjadi platform bagi seluruh negara yang menyuarakan kemerdekaan Palestina.
“Saya ingin mengingatkan bahwa DK PBB memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga perdamaian dan keamanan, tidak membiarkan perang berkepanjangan, atau membantu salah satu pihak melanjutkan perang,” kata Retno, dikutip dari siaran pers, Rabu, di Jakarta.
Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia turut berkontribusi dalam menunjukkan solidaritas rakyatnya terhadap negara Palestina. Berbagai organisasi kemanusiaan di Indonesia, baik dari tingkat masyarakat umum hingga lembaga-lembaga besar seperti Aksi Cepat Tanggap (ACT) atau Dompet Dhuafa, secara aktif menggalang dana untuk membantu seluruh korban perang di Gaza, Palestina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H