Mohon tunggu...
Afif M Taftazani
Afif M Taftazani Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, professional

Pemerhati financial, valuasi, manajemen risiko

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Transfer Risk Vs Mitigation Risk: Studi Kasus Pembuatan ATM Baru di Bank BNI

21 September 2022   10:52 Diperbarui: 12 Desember 2022   14:36 3342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kartu ATM. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Selasa, 20 September 2022 pukul 8 pagi saya ke BNI cabang pembantu Galaksi, Bekasi untuk mengurus dan mengganti ATM yang hilang. Setelah antrian yang cukup panjang akhirnya tiba giliran saya.

Petugas menjelaskan untuk dapat mengganti ATM, saya harus membawa buku tabungan dan KTP dengan catatan KTP harus dapat dideteksi oleh alat detector kartu. Jika tidak, maka saya harus minta surat kehilangan dari Kepolisian.

Dikarenakan KTP saya pernah terendam banjir, chip sepertinya rusak dan tidak terdeteksi sehingga akhirnya saya ke kantor kepolisian untuk meminta surat keterangan kehilanagan ATM BNI.

Diatas adalah sepenggal kisah yang belum lama ini terjadi pada saya.

Proses yang dilakukan bank tersebut pada dasarnya adalah prosedur mitigasi risiko, dikarenakan bank berupakan salah satu entitas yang erat bersinggungan dengan risiko. 

Transaksi keuangan yang sangat beragam dan komples, kapasitas pengelolaan dana yang besar, melibatkan jumlah pengguna/nasabah yang sangat banyak, tuntutan untuk memberikan layanan yang terupdate serta ketatnya regulasi dari OJK dan BI memaksa Bank harus memiliki system manajemen risiko yang tidak hanya handal tetapi juga efektif diterapkan.

Hal ini dikarenakan sebagai financial services, kepuasan pengguna marupakan unsur utama yang harus dipenuhi. 

Sistem layanan yang cepat, simple, efektif dan mungkin juga fleksibel namun tetap aman merupakan appetite dari setiap nasabah di bank manapun.

Masih segar dalam ingatan kita, kejadian risiko dalam dunia perbankan. Kisah Melinda Dee yang melakukan tindakan fraud dengan memanfaatkan kepercayaan nasabah CitiBank. 

Nasabah diminta menandatangani blanko kosong yang kemudian dipergunakan untuk melakukan pembobolan rekening mereka mencapai lebih dari 40 miliar rupiah dalam kurun waktu tiga tahun sampai terbongkar tahun 2011. Melinda Dee tentu tidak bekerja sendirian, tetapi melibatkan persekongkolan dengan beberapa pegawai dibawahnya. 

Kasus lain adalah Pencairan deposito berjangka milik PT Elnusa Tbk (ELSA) di Bank Mega tanpa sepengetahuan manajemen Elnusa sebesar 111 miliar rupiah tahun 2011. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini adalah Direktur Keuangan PT. Elnusa, Kepala Cabang Bank Mega Jababeka, Direksi PT. Discovery, Komisaris PT. Har, dan staf dari PT. Har.

Motif pembobolan (pencairan ilegal deposito) adalah pemalsuan tanda-tangan Dirut Elnusa yang dengan dokumen tersebut dilakukan pencairan deposito sebesar 111 miliar rupiah untuk kemudian ditempatkan di beberapa perusahaan investasi. 

Berkaca kasus-kasus tersebut, jika kita cermati, ada benang merah antara kedua kasus fraud diatas, yaitu berpangkal pada proses securitisasi/autentifikasi/uji validitas dokumen yang tidak clear, meskipun dalam hal ini ada peran orang dalam.

Atas hal-hal tersebut, sangat wajar apabila bank mengembangkan prosedur layanan untuk memastikan keamanan transaksi antara segenap stakeholder (Bank, Nasabah, Antar Bank/lembaga Keuangan, Asuransi, Pemerintah dan stakeholder lainnya).

Dibandingkan dengan kasus diatas, tentunya prosedur yang saya lalui di BNI seperti yang saya ceritakan diawal tulisan ini sangat sederhana dan mikro skalanya. 

Namun jika kita cermati lebih mendalam, Bank khususnya BNI masih terjebak pada hal yang sifatnya prosedural dibanding Substansial.

Contoh nyata adalah prosedur yang saya alami diatas. Persyaratan melampirkan surat keterangan kehilangan dari kepolisian, dalam sudut pandang manajemen risiko, berarti BNI tidak melakukan Mitigasi Risiko melainkan Transfer Risiko.

Dalam hal ini, BNI mempercayakan sepenuhnya kepada pihak kepolisian sebagai institusi hukum yang berwenang untuk menerbitkan surat kehilangan kartu ATM. 

Dengan terbitnya surat ini, maka BNI percaya dan yakin, bahwa Kepolisian telah memastikan kartu ATM tersebut benar-benar hilang adanya.

Dengan kata lain, ketika dikemudian hari terjadi permasalahan atau penyalahgunaan kartu dari ATM yang hilang tersebut, maka sepenuhnya menjadi tanggung-jawab kepolisian untuk menindak lanjuti.

Atau seandainya pelapor memberikan keterangan palsu terkait berita kehilangan kartu ATM, maka itu menjadi tanggung jawab yang melekat pada pelapor.

Secara tersirat BNI ingin mengatakan bahwa, kita sudah menjalankan prosedur sesuai SOP BNI, maka kejadian risiko atau segala hal-hak yang mengakibatkan kerugian bukan lagi menjadi tanggung jawab BNI.

Dalam korporasi tertentu, misalnya perusahaan ekspedisi, transfer risiko seperti ini dapat dimungkinkan. Kerugian akibat kehilangan/kerusakan barang kiriman ketika pihak ekspedisi telah memastikan prosedur sesuai SOP, selanjutnya terhadap kerugian tersebut, dapat dialihkan ke pihak asuransi. Selesai.

Namun dalam perbankan, tidak sesederhana itu karena ada yang disebut Risiko Reputasi. Benar, secara hukum Bank bebas dari tuntutan kerugian karena telah menjalankan prosedur. 

Namun seandainya atas kejadian tersebut bank menjadi cacat reputasi, akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, melebihi kerugian material apabila bank menanggung risiko tersebut.

Risiko reputasi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada suatu bank, yang menyebabkan terjadinya Rush atau penarikan dana besar-besaran. 

Sebagai entitas yang 80% atau lebih struktur modalnya dari penghimpunan dana pihak ketiga (tabungan, giro, deposito), rush yang massive akan menyebabkan kesulitan likuiditas, rasio modal dan LDR (loan to deposit ratio) hancur berantakan.

Jika tidak segera disuntik dana dari sumber lain (pinjaman antar bank, suntikan dana BI atau lembaga keuangan lainnya), tinggal menunggu waktu bank tersebut akan collaps dan akhirnya...sunk.

Kembali ke permasaahan awal, ketika BNI mensyaratkan surat keterangan kehilangan dari kepolisian, pada dasarnya penanganan risiko yang dilakukan adalah transfer risk, yang tanpa mengurangi rasa hormat kepada Kepolisian RI, hal ini dalam kapasitas tertentu, adalah useless. Beberapa hal kenapa dapat dikatakan useless adalah:

  • Kepolisian tidak melakukan investigasi mendalam dalam arti melakukan penyelidikan, penyidikan, menggunakan perangkat material yang dipunyai sehingga kesimpulan kehilangan dalam bentuk surat keterangan dapat diyakini secara substansial berdasarkan bukti materiil.
  • Kesimpulan kehilangan kartu ATM lebih didasarkan pada keyakinan dari pembuat surat keterangan saat dilakukan investigasi awal, yang tentunya dalam hal ini ada faktor subjektif
  • Kebenaran berita kehilangan Kartu ATM sangat ditentukan dari kejujuran pelapor yang tentunya juga bersifat subjektif

Alat ukur subjektif sebenarnya dapat dijadikan acuan atau bukti dalam pengambilan kesimpulan sepanjang subjektifitas tersebut dilakukan oleh orang yang ahli. 

Hal inilah kenapa dalam persidangan dapat dihadirkan saksi ahli. Di sini saya tidak mengatakan bahwa polisi yang membuat catatan kehilangan tidak ahli, namun ketika proses verifikasi yang terbatas dapat mengakibatkan hasil atau kesimpulan akhir juga menjadi bias.

Atas dasar ini, menurut saya, penanganan risiko dengan transfer risk (surat keterangan kehilangan dari kepolisian) secara substansial tidak cukup tepat. 

Untuk itu, BNI perlu alternative lain untuk penangan risiko, yaitu mitigasi risiko (Risk Mitigation). Dengan melakukan mitigasi risiko, BNI dapat mengontol risiko yang kemungkinan terjadi dan menyiapkan langkah-langkah antisipasinya.

Dalam merumuskan mitigasi risiko, perlu didefinisikan dulu tujuan verifikasi dokumen dalam kaitanya dengan proses penggantian kartu ATM baru. 

Verifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa nasabah yang melapor kehilangan adalah benar-benar pemilik dari kartu ATM yang hilang. Merujuk pada algoritma flowchart, ada perintah process dan alternate process.

Alternate proses ini dapat dilakukan sebagai pengganti proses utama. Dengan demikian alternate process harus memiliki keakuratan dan signifikansi yang sama dengan proses utama. 

Untuk itu, alih alih dengan surat keterangan, verifikasi dapat dilakukan dengan dokumen lain yang keakuratan dan signifikansinya setara dengan KTP, yaitu SIM dan Passport serta NPWP.

SIM jelas, dikeluarkan oleh kepolisian yang sudah terferifikasi oleh kepolisian sehingga mencerminkan identitas diri. Passport, merupakan identitas diri terkuat karena sah digunakan di berbagai negara.

NPWP dapat digunakan sebagai dokumen pendukung karena didalamnya juga tercantum NIK sesuai KTP. Selain itu dokumen lain yang proses pembuatannya mensyaratkan KTP asli, dapat digunakan sebagai dokumen pendukung. 

Dengan melampirkan dokumen yang keakuratan dan tingkat signifikansinya sama, maka otomatis tujuan untuk memverifikasi bahwa nasabah yang melapor adalah benar-benar nasabah yang kehilangan kartu ATM dapat divalidasi kebenarannya.

Memang dalam implementasinya perlu pendetailan lebih lanjut, namun secara substansial, dokumen-dokumen tersebut memiliki tingkat keakuratan yang cukup.

Demikian pendapat saya dan semoga berfanfaat.

Terima kasih

Note : proses pembuatan surat keterangan di kepolisian cepat dan simple serta, gratis. Terima kasih dan good job polri. Pembuatan kartu ATM baru di BNI juga cepat, namun terlepas dari biaya administrasi yang dipotong tiap bulan, dikenakan biaya pembuatan kartu ATM 15 ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun