Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dakwah Digital Era Milenial: Antara Peluang dan Tantangan

12 Agustus 2021   10:28 Diperbarui: 12 Agustus 2021   10:36 5858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arus informasi yang cepat sehingga melahirkan perubahan yang instan dapat ditemukan pula dalam tata bahasa. Seringnya kita mendengar kata bahasa yang unik dan mungkin terdengar aneh bagi generasi tua, namun kata-kata itu dapat dengan mudah ditemukan berkeliaran di media sosial. Seperti: Kuy (yuk); unfaedah (tidak bermanfaat); sans (santai aja); receh (murahan); bucin (budak cinta); baper (bawa perasaan); sabi (bisa), generasi micin (anak yang bertingkah konyol); goks (gokil); dsb.

Gen-Z Power

Generasi mereka lahir antara tahun 1995-2012, artinya usia termuda saat ini berada di umur 8 tahun dan yang paling tua berada di umur 25 tahun. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan milenial. Majalah Time menyebutkan 47% miilenial sudah menjadi orang tua, tetapi generasi Z baru saja memulai karier. David Stillman dan Jonah Stillman pernah menjabarkan karakteristik Gen-Z jika dilihat dalam konteks dunia kerja, di antaranya:

  • Figital (fisik-digital). Gen-Z ini menjadi generasi pertama yang lahir ke dunia di mana segala aspek fisik (manusia dan tempat) mempunyai ekuivalen digital. Bagi mereka, dunia nyata dan dunia virtual saling tumpah tindih, artinya virtual seperti menjadi realitas mereka. Sebanyak 91% Gen-Z mengatakan bahwa kecanggihan teknologi suatu perusahaan akan berdampak terhadap keputusan mereka bekerja di perusahaan tersebut.
  • Hiper-kostumisasi. Gen-Z selalu berusaha keras mengidentifikasi dan melakukan kostumisasi atau penyesuaian identitas mereka sendiri agar dikenal dunia. Kemampuan mereka mengkostumisasi segala sesuatu menimbulkan ekspektasi bahwa perilaku dan keinginan mereka sudah sangat akrab untuk dipahami. Sejumlah 56% Gen-Z lebih memilih membuat uraian pekerjaan mereka sendiri daripada diberikan deskripsi yang sudah umum.
  • Realistis. Tumbuh setelah peristiwa 11 September, dengan terorisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta hidup melewati krisis berat sejak dini, telah membentuk pola pikir mereka menjadi pragmatis dalam merencanakan dan mempersiapkan masa depan. Perguruan tinggi dan universitas adalah institusi pertama yang mengalami kesulitan menghadapi mereka, selanjutnya menyusul dunia kerja.
  • FOMO (fear of missing out). Gen-Z sangat takut melewatkan sesuatu. Mereka selalu khawatir bergerak kurang cepat dan tidak menuju arah yang benar. Tapi, mereka selalu berada di barisan depan dalam tren dan kompetisi. Sebanyak 75% Gen-Z tertarik dengan situasi yang memungkinkan mereka memiliki peran ganda di satu kantor.
  • Weconomist. Dari Go-Jek kita mengenal ekonomi berbagi. Lebih dari seorang pegawai, Gen-Z mendayagunakan kekuatan "kami" dalam peran mereka sebagai filantropis. Gen-Z mengharapkan kemitraan dengan atasan untuk memperbaiki hal-hal tidak beres yang mereka lihat di dunia. Sebanyak 93% Gen-Z mengatakan bahwa kontribusi suatu perusahaan terhadap masyarakat/program sosial memengaruhi keputusan mereka untuk bekerja di perusahaan tersebut.
  • DIY (do it yourself). Lakukan sendiri, mereka merasa semua bisa berkembang walau hanya dilakukan oleh seorang diri. Mereka bertumbuh dengan YouTube yang dapat mengajari mereka apa saja. Gen-Z sangat mandiri dan akan berbenturan dengan banyak budaya kolektif yang sebelumnya diperjuangkan para milenial. Sebanyak 71% Gen-Z berkata mereka percaya dengan pernyataan, "Jika ingin melakukannya dengan benar, lakukanlah sendiri!"
  • Terpacu. Gen-Z siap dan giat menyingsingkan lengan baju. Mereka lebih kompetitif dan tertutup daripada generasi sebelumnya. Esjumlah 72% Gen-Z mengatakan mereka kompetitif terhadap orang yang melakukan pekerjaan yang sama.

Evolusi Organisasi Dakwah Kaum Muda

Orientasi seseorang dapat diidentifikasi berdasarkan era yang dijalaninya. Dulu pada era agraria, seseorang bekerja untuk mempertahankan hidup, sehingga kekuatan fisik yang menjadi modal utama. Jika bergeser ke era awal industri 1.0 dan 2.0 mereka bekerja untuk mencari kepuasan. Faktor utamanya adalah efisiensi tenaga kerja, sehingga harus bermodalkan pekerja yang kreatif dan terampil. Ketika masuk ke era informasi atau industri 3.0 ditemukannya komputer. Mereka pekerja yang memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat dibutuhkan karena bisa melahirkan kreatifitas dan inovasi. Saat ini kita berada di era revolusi industri 4.0 di mana orang bekerja bertujuan pada nilai pemenuhan kebutuhan akan kebermaknaan dan penghargaan. Yang dibutuhkan adalah orang sadar akan potensi yang dimilikinya (self-awareness), termasuk bakat.

Dalam gambaran situasi dunia yang berubah ini akhirnya banyak dikenalkan pembahasan terkait VUCA. Dengan mengetahui transformasi dunia yang dipengaruhi VUCA ini setidaknya kita mampu mengantisipasi dan menata organisasi agar tidak tertinggal. Dunia Dalam Masa Perubahan VUCA:

  • Volatility -> Perubahan yang sangat cepat. Saking cepatnya kita tidak menyadari bahwa dunia saat ini telah mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya.
  • Uncertainty -> Ketidakpastian perubahan. Manusia saat ini banyak dihadapkan kebingungan karena perubahan yang tidak pasti, ditambah jangka waktu yang sangat cepat. Hari ini telah terjadi fenomena A besok akan berubah kepada fenomena B. Parahnya perubahan itu tidak terprediksi.
  • Complexity -> banyak keterkaitan yang membuat sulit terurai, seperti benang kusut.
  • Ambiuity -> lingkungan tidak bisa terjelaskan karena informasi yang didapat bisa dimaknai dengan berbagai cara. Kondisi ambigu yang menyebabkan sulit mengambil keputusan.

Kita berada pada era di mana butuh pengembangan SDM yang bisa menata tujuan hidup dan alasan keberadaannya. Namun pengembangan itu tidak serta merta diturunkan, karena terdapat karakteristik khas jika ingin menata masyarakat dalam era saat ini. Menata organisasi 4.0 yang sukses di masa kini dan masa mendatang menurut buku When Millennials Take Over adalah dengan memenuhi 4 kapasitas dasar. Yakni:

  • Digital. Para milenial bukan hanya fasih menggunakan alat-alat digital, tetapi juga menikmati betapa nyamannya mereka dalam menggunakannya dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bagi milenial jika ada senior yang mengirimkan e-mail dan meminta jawaban cepat, padahal di tangan mereka ada media sosial seperti Whatsapp dan Telegram yang lebih memudahkan mereka dalam interaksi.
  • Terbuka. Salah satu prinsip utama dalam manajemen adalah pengendalian informasi. Dahulu berprinsip bahwa informasi harus bersifat tertutup guna menjaga kerahasiaan dan keamanan jika berada di tangan yang salah. Mungkin ada benarnya, informasi yang banyak dilepas berpotensi menimbulkan kekacauan, kesalahpahaman, kurang efisien, dsb. Namun logika tersebut sepertinya tidak relevan dengan realitas hari ini. Generasi milenial sudah terbiasa dengan keterbukaan informasi yang mudah diakses melalui gadgetnya. Sebaliknya, mereka pun dengan mudah menyebarluaskan informasi yang ada pada dirinya. Prinsip organisasi terbuka adalah informasi harus tersedia bagi siapapun agar semua orang bisa mempertimbangkan keputusan tepat dan efektif.
  • Lentur. Kondisi lingkungan yang cepat sekali berubah-ubah mengharuskan organisasi mampu menyesuaikan diri dan bergerak ke arah yang lebih lincah (agile). Artinya, definisi lentur diartikan dengan penyebaran kekuasaan (kewenangan), mengizinkan pertumbuhan di setiap lini organisasi, tidak lagi terpusat.
  • Cepat. Seolah masalah dapat dengan mudah diselesaikan dengan alat bantu digital yang kita pegang ditambah akses internet yang cepat. Para milenial akan sangat uptodate dengan perilisan iPhone baru. Meskipun tidak memilikinya, tapi setidaknya mereka tahu fitur dan keunggulan terbarunya. Bagi mereka, kecepatan adalah suatu yang normal. Maka jelas, para milenial pasti akan bingung dengan lingkungan organisasi yang tidak mampu beradaptasi dengan realita baru dan cepat dalam berinovasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena VUCA yang semakin kacau ditambah kehancuran sistem demokrasi dunia yang semakin nampak kerusakan hingga ke akar-akarnya. Masyarakat sedikit demi sedikit sedang mengalami perubahan menuju pergantian sistemik sebagai pengganti sistem demokrasi yang sudah ambruk. Hanya saja butuh orang-orang yang berada di tengah masyarakat untuk mengenalkan bahwa Islam sebagai solusi pengganti sistem yang sudah hancur ini.

Keniscayaan perubahan itu rupanya didorong secara paksa oleh fenomenca Covid-19. Corona yang meluas tidak hanya berdampak pada kesehatan, namun juga berdampak pada pola kehidupan baru. Munculnya istilah New Normal adalah hasil dari fenomena baru manusia setelah penghentian total aktifitas sehingga memunculkan sebuah gaya hidup baru. Fenomena Covid-19 ini mampu menjadi katalisator perubahan, yang awalnya dari fase setiap 5 tahunan menjadi 2-3 bulanan (adaptasi).

Seperti kemunculan aplikasi zoom yang semakin marak, dikarenakan keharusan physical distancing. Sebenarnya aplikasi seperti zoom ini lama kelamaan akan marak digunakan walaupun sekitar 5 tahun kedepan. Banyak perubahan yang terjadi di masyarakat karena mereka dipaksa untuk struggling menjalani kehidupan. Seperti orang yang tidak bisa berenang dipaksa dicebutkan ke kolam, ia berusaha agar tidak tenggelam dan akhirnya bisa berenang.

Source: Scott, 2000
Source: Scott, 2000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun