Berdasarkan capaian setiap indikator ketiga Aspek IDI, kondisi ini dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut: demokrasi dengan kondisi kebebasan sipil yang cukup baik walaupun masih jauh ideal; kondisi di mana ekspresi kebebasan sipil secara umum cukup terjamin sehingga gairah keterlibatan masyarakat dapat diekspresikan tanpa hambatan signifikan; namun kondisi ini belum dibarengi dengan pemenuhan hak-hak politik pada level yang sama, dan justru dibebani oleh kinerja lembaga demokrasi yang tertinggal di belakang dengan capaian yang lebih rendah.
Aspek Kebebasan Sipil
Tampaknya aspek ini terus menunjukkan tren menurun sejak tahun pengukuran pertama; Capaian pada tahun 2016 turun 3,85 poin dari capaian tahun 2015 dan membawa kita pada capaian terendah untuk aspek ini selama 8 tahun pengukuran.Â
Sejak pengukuran pertama pada tahun 2009 (dengan capaian 86,97 poin) Aspek Kebebasan Sipil secara umum terus mengalami penurunan. Kenaikan sebesar 2,30 poin di tahun ini belum cukup untuk mengembalikannya ke kategori "Baik". Perlu diperhatikan faktor apa yang membuat turun capaian dari aspek ini.
Seperti indikator pertama, Ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah daerah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat. Hal ini tentu dirasakan seperti kasus pelarangan HTI di berbagai daerah. Mulai dari pembubaran acara yang sedang berlangsung hingga pelarangan acara sebelum acara diselenggarakan.
 Sebagaimana yang sering disampaikan berita-berita, sekalipun peran aparat hanya untuk mencegah benturan dengan pihak luar yang memaksakan pembubaran atau pembatalan, nyatanya aparat justru memberikan penekanan awal.Â
Tidak sedikit kasus pembubaran atau pembatalan acara HTI oleh para aparat karena ada tekanan dari pihak luar, namun di sisi lain aparat tidak berani menyampaikan siapa yang melakukan tekanan tersebut. Hal ini sejatinya mengkhianati proses demokrasi, tapi tidak ingin disebut sebagai perusak.
Justru kejadian yang diceritakan dalam makalah "Indeks Demokrasi Indonesia 2017: Citra Demokrasi, Minim Kapasitas" (Bappenas.go.id) seperti razia perayaan valentine day.Â
Kejadian di Kebumen, Jawa Tengah, dilakukan oleh Tim Gabungan guna tindaklanjut surat edaran pemkab yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen tentang larangan para pelajar merayakan hari valentine atau kasih sayang.[8] Begitupun edaran yang dikeluarkan oleh disdik Jabar tentang larangan merayakan valentine day bagi kaum pelajar.[9]
Berdasarkan pengamatan analisis maka sudah jelas pertimbangan skor tidak akan berpihak kepada Islam karena standar yang digunakan berupa standar demokrasi. Tidak melihat apakah kejadian tersebut bagian dari hal positif dalam perbaikan moral atau tidak, selama bertentangan dengan hak kebebasan individu maka tercatat sebagai bagian dari masalah.