Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyikapi Fenomena Peminta-minta Virtual yang Semakin Marak

13 Januari 2023   04:30 Diperbarui: 14 Januari 2023   10:28 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ngemis online (Sumber: Shuttestock)

Perkembangan teknologi memang seringkali ditujukan untuk mempermudah aktivitas sehari-hari. Berbagai fitur di media sosial yang semakin canggih dapat dimanfaatkan siapapun untuk menjemput rezeki. Sayangnya, beberapa oknum menyalahgunakan fitur tersebut untuk hal-hal yang nyeleneh.

Fenomena peminta-minta virtual atau pengemis online agaknya meresahkan dalam beberapa waktu terakhir. Banyak orang membuat konten yang menarik perhatian sekaligus rasa simpati bagi penontonnya demi mendapat uang. Rupanya kasus tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga banyak terjadi di negara lainnya.

Virtual Beggar, dalam bahasa Indonesia adalah pengemis maya. Sumber: JournalApps
Virtual Beggar, dalam bahasa Indonesia adalah pengemis maya. Sumber: JournalApps

Dilansir dari BBC News, pada bulan Oktober 2022 lalu seorang reporter menemukan ratusan akun TikTok yang menayangkan video anak-anak dari pengungsian Suriah untuk meminta sumbangan secara daring. Hal tersebut dianggap cukup mengganggu, sebab video tersebut sering muncul tanpa dicari.

Di Indonesia, tren tersebut juga tidak kalah menyebalkan. Bahkan, dalam banyak video terdapat anak di bawah umur maupun lansia yang ‘dipaksa’ (atau, mungkin ‘terpaksa’?) untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginan penonton. Dengan melakukan hal tersebut, mereka akan mendapat gift yang nantinya dapat dicairkan menjadi rupiah.

Fenomena di TikTok, angka menandakan koin yang diminta. Sumber: Katadata
Fenomena di TikTok, angka menandakan koin yang diminta. Sumber: Katadata

Contohnya, pada salah satu akun TikTok yang viral beberapa hari terakhir memperlihatkan seorang ibu yang sudah sepuh mengguyur tubuhnya dengan lumpur setiap ada yang memberikan gift berupa poin, ikon, dan sebagainya. Sang anak selaku pengelola akun tersebut menyebut bahwa hal itu hanya untuk hiburan semata. Hiburan uapane...

Sesungguhnya fenomena peminta-minta virtual ini sudah lama terjadi. Saya teringat beberapa tahun silam terdapat berita mengenai sepasang calon pengantin yang meminta sumbangan di suatu platform sedekah demi merealisasikan pernikahan impian mereka. Tidak tanggung-tanggung, mereka ingin menghimpun sebesar 200 juta rupiah.

Peminta sumbangan biaya pernikahan. Wondering, kenapa ada saja yang menyumbang, ya? Sumber: OkeZone
Peminta sumbangan biaya pernikahan. Wondering, kenapa ada saja yang menyumbang, ya? Sumber: OkeZone

Ada pula sepasang influencer kembar dari Indonesia yang menjual berbagai foto vulgar demi mendapatkan cuan. Belum lagi, beberapa hari lalu juga terdapat seorang artis yang meminta sumbangan secara terang-terangan melalui sosial media untuk menebus biaya pengobatan. See? Rupanya tidak hanya orang dengan taraf ekonomi di bawah rata-rata yang melakukannya.

Tidak hanya menghimpun uang, rupanya fenomena peminta-minta virtual ini juga tak jarang ditujukan untuk mendapatkan atensi semata. Banyak kreator yang sengaja melakukan hal-hal nekat, konyol, bin kontroversial demi meraih perhatian masyarakat.

Contohnya seperti video prank, video tak senonoh yang sengaja disebar agar viral, pemberian judul dan cover video gimmick yang menuai rasa penasaran, serta masih banyak lagi. Na’asnya, masih banyak masyarakat yang tertarik dan justru menikmati adanya konten-konten tersebut.

Lantas, mengapa konten meminta-minta virtual kini menjadi tren di Indonesia?

Berdasarkan reportase Republika, menurut seorang sosiolog dari Universitas Airlangga bernama Tuti Budi Rahayu, peminta-minta virtual ini memang sengaja membuat konten tersebut untuk menarik rasa iba dari warganet agar tergerak hatinya untuk menyumbang.

Masyarakat Indonesia memang kebanyakan memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan eksperimen sosial yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Brawijaya. 

Dikutip dari Kompas, Drajat Tri Kartono selaku sosiolog dari Surakarta mengatakan bahwa kedermawanan orang Indonesia memang nomor satu di dunia.

Atas dasar tersebut, banyak oknum yang memanfaatkannya untuk meminta sumbangan atau bahkan melakukan penipuan donasi. Kesadaran akan peluang untuk mendapatkan simpati, atensi, dan uang membuat mereka seakan tidak punya pilihan lain.

Konten meminta-minta yang demikian rasanya tak akan pernah bisa menyelesaikan kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia. Sebab, sumbangan dari warganet bisa saja jatuh ke tangan yang salah. Apalagi, orang yang tetiba mendapatkan banyak uang akan cenderung menghabiskannya pada hal-hal konsumtif.

Oleh sebab itu, akan lebih bijak jika warganet yang budiman menyikapi hal tersebut dengan tidak sembarangan memberikan gift demi meraih kepuasan batin sesaat. Sadari bahwa konten mereka bukanlah hiburan, masih banyak konten bermanfaat dan menghibur yang dapat dipilih di media sosial.

Sumbangan berupa uang atau barang rasanya akan lebih tepat sasaran bila disalurkan pada lembaga amil zakat, organisasi sosial, atau orang-orang terdekat yang jelas lebih membutuhkan. Sebab, jika pembuat konten meminta-minta virtual tersebut senantiasa diberi bantuan, khawatir mereka justru akan semakin semangat membuat konten tak bermanfaat lainnya.

Kemungkinan yang lebih buruk lagi, akan lebih banyak orang yang ‘terinspirasi’ dari konten tersebut sehingga nekat membuat hal yang sama. Bisa jadi mereka merasa bahwa meminta-minta melalui media sosial jauh lebih mudah dibandingkan mencari kerja di dunia nyata.

Sikap selanjutnya yang dapat dipraktikkan bagi warganet budiman yakni dengan tidak meninggalkan komentar buruk di konten mereka. Memang yang mereka lakukan belum tentu benar, namun komentar buruk kita bisa jadi akan memperburuk suasana hati mereka yang sedang struggle menjalani hidup.

Belum lagi jika ada di antara pembuat konten tersebut merasa sakit hati, maka akan panjang urusannya. Menukil sebuah maqolah, bicaralah yang baik atau diam. Dalam fenomena ini, bicara baik atau memberi nasihat pun terkadang tidak diperlukan bagi mereka yang memang benar-benar membutuhkan uang.

Akhir kata, fenomena meminta-minta virtual menjadi pengingat bagi kita bahwa dinamika kehidupan terkadang membuat manusia mencari pelbagai cara untuk bertahan. Saya yakin, jika mereka punya pilihan dan kesempatan lain niscaya mereka tidak akan rela mengubur rasa malu untuk melakukan hal-hal tersebut. Semoga fenomena ini segera surut, dan hidup mereka segera bebas dari carut marut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun