Beberapa waktu lalu, saat hujan mengguyur kota Malang seharian, aku dan seorang teman memutuskan untuk mencari kehangatan dari semangkuk soto ayam dan minuman jeruk nipis hangat di warung pinggir jalan. Sembari menunggu pesanan datang, terjadilah diskusi yang cukup menarik kira-kira seperti ini:
Y (Temanku): Eh, ikhlas itu... bagaimana menurutmu?
X (Aku): Yaaa ketika seseorang nggak mengharapkan balasan atas kebaikan yang telah dia lakukan (iya, jawaban yang mainstream banget. Wkwkwk)
Y: Hmm... Lantas, kalau misalnya nih, aku meminjam uang kepadamu satu juta rupiah untuk biaya kuliah. Tiba-tiba, kamu tahu dari orang lain kalau uangnya malah aku pakai buat beli HP baru. Nah, perasaanmu bagaimana?
X: Kecewa, lah! Berarti aku sedang dibohongi, dong.
Y: Tuh, kan, itu artinya kamu sudah ikhlas belum?
Aku diam sejenak. Perkataan dia ada benarnya juga.
X: Ya, mungkin secara materil aku ikhlas. Uang kan bisa dicari lagi. Tapi, secara moril aku mungkin akan jengkel. Rasanya kayak dikhianati gitu, nggak sesuai dengan akad
Y: Nah, berarti secara tidak langsung kamu berharap kalau uang itu dipakai untuk bayar kuliah, kan? Hayo, padahal katamu ikhlas itu ketika harapan ada di titik nol. Pasrah.
X: ...
Y: Bagaimana?
Percakapan itu masih berlanjut cukup panjang (sambil diselingi dengan topik debat pertama capres-cawapres yang saat itu sedang tayang). Dan, seperti biasa, dia selalu pandai menyelipkan kisah-kisah penuh hikmah tentang ikhlas dan pengalaman orang lain yang dia ketahui. Salah satunya cerita tentang Nabi Ibrahim as. yang diuji dengan perintah Allah SWT untuk merelakan anaknya, Nabi Ismail as., untuk disembelih. Hingga detik ini dan ratusan tahun yang akan datang, cerita tersebut dikenang dengan peringatan Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam.
Pada intinya ---sedikit yang bisa ku tangkap, hakikat ikhlas memang harus benar-benar melepaskan segalanya. Apapun itu. Harapan, kepercayaan, kesetiaan, harta, dan sebagainya. Jadi, jika memang kita ingin menjadi orang yang ikhlas secara paripurna, coba saja saat teman kita akan meminjam atau meminta sesuatu jangan pedulikan tujuannya (kecuali jika digunakan dalam hal keburukan lho, ya).
Aku jadi ingat pada bahwa Bapakku pernah bilang, memberi atau meminjamkan sesuatu pada orang lain harus diniatkan untuk menggapai ridho Tuhan semata. Ketika kita akan melakukannya, coba tanamkan dalam pikiran bahwa semua itu hanya titipan. Sejatinya kita lahir tidak membawa apa-apa, maka tak boleh ada yang namanya rasa memiliki. Begitu kira-kira. Semoga kita semua bisa mempraktikannya, ya. Aamiin...
Jadi, bagaimana pandangan Kompasianer tentang ikhlas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H