Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengintip Taktik Moralisasi Anak ala Sayyidina Ali

9 Maret 2017   13:39 Diperbarui: 9 Maret 2017   13:41 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak adalah sosok makhluk yang terlahir mungil nan polos namun memiliki efek yang besar terhadap kehidupan orangtuanya di dunia dan akhirat. Mereka dapat tumbuh menjadi taat atau durhaka, menyejukkan mata atau menyedihkan hati, bahkan menjadi petunjuk surga atau neraka, semua tergantung pada bagaimana didikan orangtua dan dukungan dari lingkungan di sekitarnya. 

Sebagaimana dalam suatu Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi : “Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi” (HR Bukhari). Hadist Rasulullah SAW tersebut secara tidak langsung menyinggung betapa pentingnya peranan orangtua dalam mendidik anak, di mana segala perlakuan orangtua terhadap anaknya memiliki risiko yang dapat menyesatkan sang anak dari fitrahnya.

Na’asnya, orang tua masa kini berhadapan dengan tantangan yang besar dalam mendidik anak. Semakin pesatnya perkembangan teknologi dan melubernya modernisasi, tentu akan membawa dampak positif dan juga dampak negatif yang relatif banyak, terutama bagi anak-anak usia dini. Menurut teori John Dewey, perkembangan anak usia dini berada pada tahap pra-moral, di mana anak masih belum sadar aturan dan juga belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Tentu hal ini membuat orang tua menjadi resah tentang bagaimana harus mendidik anak agar tak salah asuh. Mengingat bahwa mendidik anak pada hakikatnya bersifat irreversible, maka orangtua harus ekstra berhati-hati terutama dalam menanamkan moral kepada anak. Karena mendidik anak sebenarnya bukan tentang mencerdaskan otaknya, tapi justru mencerdaskan perilakunya secara menyeluruh. Untuk itulah perkembangan moral sangat penting untuk diperhatikan.

Menyikapi hal tersebut, orangtua tak perlu terlalu khawatir. Puluhan ribu tahun yang lalu, salah seorang sahabat sekaligus menantu kesayangan Rasulullah SAW telah memiliki cara jitu dalam menumbuhkan akhlaqul karimah kepada anak-anaknya. Ya, beliau adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Khalifah ke empat ini membagi cara menumbuhkan moral anak ke dalam 4 tahap. Kira-kira bagaimana, ya? Apakah sama dengan teori-teori yang lain seperti yang dikemukakan oleh John Dewey, Jean Piaget, maupun Lawrence Kohlberg? Oke, langsung saja :

1. Usia 0-7 tahun : Anak adalah RAJA

Golden age adalah masa ‘vital’ setiap manusia dalam mencapai aspek-aspek perkembangan yang optimal, terutama dalam perkembangan moralnya. Oleh karena itulah orangtua wajib hukumnya untuk sangat intens kepada buah hati. Ibarat raja, sebisa mungkin orangtua harus mengayomi anak dengan setulus hati dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan masanya. Selain itu, bimbingan dan dukungan yang eksklusif untuk anak juga sangat dibutuhkan, mengingat pada masa tersebut anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Jadi, perlakukan mereka dengan penuh kelembutan karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada perkembangan moralnya kelak ketika dewasa. Apabila pada masa ini anak justru dibentak, disuruh ini-itu, dan diperlakukan tidak baik, maka tak perlu heran jika nantinya anak tersebut akan tumbuh sebagai manusia yang ‘ngelamak’ (bahasa Jawa, artinya tidak memiliki sopan santun), pembangkang, dan kawan-kawannya. And the last but not least : sesibuk apapun, ketika anak membutuhkan sosok orangtua di dekatnya, maka penuhilah. 

Jangan menunggu sampai anak menangis atau berteriak dengan kencang. Apabila hal ini tidak dihiraukan, maka jangan salahkan ketika mereka dewasa nanti tidak akan menangguhkan panggilan orangtuanya, no matter how busy they are.

2. Usia 8-14 tahun : Anak adalah TAWANAN

Sesuai dengan teori perkembangan moral John Dewey, pada rentan usia ini kesadaran anak akan aturan mulai berkembang. Selain itu, anak sudah mulai memahami dan mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Ini adalah saat yang tepat bagi orangtua untuk memberikan beberapa hak dan kewajiban tertentu. Sayyidina Ali mengajarkan bahwa baiknya di masa ini anak diperlakukan seperti tawanan. 

Dalam peperangan Islam, seorang tawanan memiliki kedudukan terhormat yang diberi hak secara proporsional namun juga dikenai berbagai larangan dan kewajiban. Di samping itu, Rasulullah SAW juga memperbolehkan orangtua memukul anak (menghukum seperlunya dengan penuh kasih sayang) apabila meninggalkan sholat saat usianya telah mencapai 10 tahun. Oleh karena itu, sangat tepat bagi orang tua untuk memperkenalkan kepada anak tentang syari’at agama dan nilai moral dalam bermasyarakat secara sederhana.

3. Usia 15-22 tahun : Anak adalah SAHABAT

Pada usia ini, anak mengalami masa akil baligh atau pubertas. Anak akan mengalami perubahan baik fisik, psikis, spiritual, maupun sosialnya. Oleh sebab itu, Sayyidina Ali mengajak orangtua untuk memperlakukan anak sebagai seorang sahabat, karena di masa ini akan ada banyak masalah baru yang harus dihadapi anak. Di sini mereka membutuhkan sosok yang nyaman untuk dijadikan tempat berbagi cerita, berbicara dari hati ke hati secara terbuka, serta membutuhkan solusi dari orang-orang yang telah berpengalaman. 

Di sisi lain, mereka juga butuh ruang yang lebih untuk berkutat dengan privasinya. Jadi, orangtua hendaknya tidak terlalu mengekang namun juga tidak melepaskan secara menyeluruh tentang apa yang akan mereka lakukan. Ada baiknya untuk memberi mereka kebebasan sekaligus pengawasan yang sewajarnya agar mereka tidak jatuh pada hal yang tidak diinginkan. Selain itu, orangtua hendaknya membekali mereka dengan berbagai life skill dan memberi tanggung jawab yang lebih besar terhadapnya. 

Hal ini bertujuan agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang cekatan, mandiri, dan tegas dalam mengambil suatu keputusan. Mereka juga harus tahu bahwa sejak memasuki masa pubertas, mereka harus belajar bertanggungjawab atas hidup mereka masing-masing. Yakni mulai dengan mengurus diri, bagaimana membedakan sikap kepada teman sebaya dan orang yang lebih tua, memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, membatasi diri agar tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang, dan sebagainya.

Nah, ketika anak telah menginjak usia 22 tahun, sudah saatnya busur melepas anak panah. Pada usia ini, orangtua seharusnya telah memberikan anak kebebasan untuk menentukan pilihan mereka sendiri tanpa mendikte sedikitpun keinginan dan ke-ego-an orangtua. karena tujuan Allah SWT menitipkan mereka kepada orangtua pilihan bukan untuk dijadikan sebagai robot yang bergerak sesuai perintah. 

Setelah mereka menginjak masa dewasa awal, biarkan mereka melesat sejauh mungkin bak anak panah yang melesat sesuai dengan arah angin yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Orangtua hanya perlu mengawasi, mengingatkan, dan menasihati dengan sepenuh hati ketika mereka melakukan hal-hal yang menyimpang. Selebihnya biarkan mereka menjalani hidup sebagaimana mestinya, seperti pesan sahabat dari Sayyidina Ali yakni Umar bin Khattab : “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda denganmu”. Wallahua’lam bi shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun