Saat ini kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Sudah satu tahun lebih pandemi ini melanda dunia terlebih lagi negara tercinta kita Indonesia. Kehidupan yang awalnya normal menjadi berubah drastis akibat wabah penyakit yang melanda manusia. Sampai saat ini pun lonjakan angka penderita Covid-19 terus menerus mengalami peningkatan.Â
Menurut sebuah data pada tanggal 22 Juni 2021 tercatat bahwa kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 ada 15,308 kasus. (COVID-19, 2021) Hal ini membuat pemerintah pun semakin gencar mengampanyekan pola hidup sehat dan menerapkan protokol kesehatan dengan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak. Pemerintah pun kini mengadakan program vaksinasi untuk kekebalan tubuh guna mencegah Covid-19 ini semakin melebar. Namun pada kenyataannya tidak semua masyarakat menerapkan ajakan 3M tersebut dan bahkan banyak yang takut untuk ikut program vaksinasi.Â
Didalam kehidupan masyarakat sendiri ternyata pandemi covid-19 ini sudah tidak dijadikan lagi alasan untuk menerapkan protokol kesehatan. Masyarakat mulai banyak yang tidak yakin penyakit ini ada atau tidak, namun ada juga masyarakat yang terkesan takut akan virus Covid-19 ini sehingga selalu berhati-hati dalam bersosialisasi dan selalu menerapkan protokol kesehatan. Perbedaan makna yang diyakini masyarakat tentang covid-19 ini menjadi kajian sosial terkait dengan teori sosiologi interaksionisme simbolik dan dramaturgi.Â
Teori interaksionisme simbolik ini dapat mengkaji bagaimana masyarakat menangkap makna ajakan untuk mematuhi protokol kesehatan 3M sedangkan teori dramaturgi sendiri dapat mengkaji perilaku masyarakat yang mana agar mendapat kesan atau anggapan sebagai orang yang taat aturan, maka ia menerapkan perilaku 3M.
Sebagai bentuk pengantar dari teori Interaksionisme simbolik dan dramaturgi ini akan dipaparkan bagaimana konsep inti dari dua teori yang saling berkaitan ini. Teori interaksionisme simbolik merupakan teori hasil pemikiran George Herbert Mead seorang tokoh filosof sekaligus sosiolog dan psikolog dari Universitas Michigen dan Universitas Chicago, Amerika Serikat. Dalam jurnal yang berjudul Interaksi Simbolik : Suatu Pengantar mengatakan bahwa sebenarnya yang mengemukakan istilah "Interaksionisme Simbolik" adalah murid dari Mead yakni Herbert Blumer. (Ahmadi, 2008) Ia menyusun pemikiran-pemikiran Mead di catatan kuliahnya lalu membuat sebuah buku yang berjudul "Mind, Self, and Society" dibukunya tersebut Mead menjelaskan bahwa dalam interaksi social manusia tidak lepas dari simbol-simbol. Mead menyatakan bahwa seseorang bertindak berdasarkan makna simbolis yang muncul dalam situasi tertentu. Makna tersebut hadir atas adanya interaksi melalui komunikasi. Komunikasi itu dapat berupa komunikasi verbal maupun non-verbal. Dalam sebuah video dari channel Youtube yang bernama "Prespektif Sosiologi" mengatakan bahwa Mead memiliki konsep dalam memaknai interaksi simbolik yakni Mind, Self dan Society. Mind (Pikiran) artinya seseorang menafsirkan situasi sekitarnya dengan pikirannya masing-masing. Kemudian konsep Self (Diri) yang menggambarkan seseorang berusaha menempatkan diri agar tampil sesuai dengan yang dipikirkan. Dan konsep Society (Masyarakat) menggambarkan bahwa setiap orang itu terbentuk utuh dalam masyarakat. Interaksionisme simbolik sendiri bisa didapatkan melalui penggunaan bahasa, gesture/body language bahkan simbol dari benda mati.Â
Dalam melihat interaksionisme simbolik kita dapat mengaitkannya dengan fenomena saat ini, yakni perilaku masyarakat terhadap ajakan protokol kesehatan dan vaksinasi. Contohnya saat ini banyak sekali poster, banner maupun papan-papan pengumuman yang berisi gambar orang memakai masker, gambar orang mencuci tangan dan gambar orang yang menjaga jarak dengan orang lain.Â
Seseorang yang melihat tanda tersebut akan mengerti bahwa itu adalah sebuah ajakan untuk menerapkan protokol kesehatan. Karena didalam gambar tersebut terjadi komunikasi yang memiliki makna dizaman ini tengah terjadi wabah dan kita sebagai seseorang yang tidak ingin terkena wabah tersebut harus menerapkan perilaku seperti yang ada di gambar poster. Gambar poster tersebut adalah objek dari adanya interaksi dan inilah yang disebut Interaksionisme Simbolik. Masyarakat memaknai gambar tersebut sebagai ajakan untuk melakukan protokol kesehatan. Akhirnya dalam mengambil tindakan atas interaksi tersebut, masyarakat juga menerapkan pesan dari poster tersebut dalam aktivitasnya.Â
Namun, banyak juga kasus dimana masyarakat tidak melakukan tindakan serupa, masyarakat seperti itu memaknai hal sebaliknya. Mereka menganggap jika menaati protokol kesehatan itu tidak berdampak pada kehidupan mereka. Mereka juga menganggap jika tidak menerapkan protokol kesehatan maka tidak akan berdosa dan tidak mendapat sanksi yang berat.Â
Karena faktanya memang demikian, tidak ada sanksi khusus bagi yang tidak menerapkan protokol kesehatan, sehingga tidak menutup kemungkinan masyarakat menyimpang dari aturan yang ditetapkan pemerintah. Masyarakat seperti ini melakukan interaksi simbolik dengan mengambil makna dari situasi yang bisa dibilang kurang ketatnya aturan terkait penerapan protokol kesehatan. Jadi, pada intinya Interaksionisme Simbolik ini adalah kondisi dimana seseorang mengambil makna dari proses interaksi komunikasi yang digambarkan oleh gesture, simbol ataupun kata-kata dari pihak lain. Dan pada akhirnya hasil interaksi tersebut dapat menentukan sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan.
Setelah adanya teori tentang interaksionis simbolik teori yang muncul selanjutnya adalah teori dramaturgi yang mana masih sangat berhubungan dengan teori interaksuionisme simbolik ini. Teori Dramaturgi adalah sebuah teori yang dicetuskan pada tahun 1959 oleh seorang tokoh sosiolog mikro dengan kajian interaksi sosial yang bernama Erving Goffman.Â
Dramaturgi adalah sebuah sandiwara yang dibuat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Goffman menggambarkan bahwa kehidupan manusia ini layaknya panggung sandiwara di sebuah teater. Manusia bagaikan sebuah aktor yang berperan sesuai dengan kehendak yang ingin dikomunikasikan manusia tersebut kepada para audiens (orang lain). Adapun tujuan dari peran ini adalah membuat kesan atau impress kepada audiens dan membuat audiens percaya dengan apa yang dibawakan. Di dalam teori Dramaturgi sendiri ada dua konsep yang penting, yakni konsep front stage (panggung depan)dan back stage (panggung belakang). Konsep ini saling berkaitan dan sangat lekat pada kehidupan sehari-hari manusia.Â
Untuk lebih memahami teori ini bisa dicontohkan kasus penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat. Misalnya seorang kepala desa yang mana ia memiliki peran sebagai pemimpin desa. Sudah pasti ia akan berperilaku bijak terutama dalam menerapkan protokol kesehatan. Perilaku baik yang kepala desa tersebut lakukan akan membawa kesan atau anggapan para warganya bahwa kepala desanya adalah seseorang yang baik dan taat aturan sehingga warganya pun bisa meniru apa yang dilakukan kepala desa tersebut. Nah, hal yang dilakukan kepala desa dengan berperilaku baik dan taat protokol kesehatan ini disebut front stage.Â
Kepala desa berusaha memerankan dirinya sebaik mungkin agar warganya mempersepsikan dirinya sesuai dengan yang diinginkannya. Kepala desa memerankan seseorang yang baik karena kepala desa adalah orang yang harus dicontoh dan dia harus menaati aturan umum walaupun bisa saja aturan tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya. Dibalik front stage pasti ada back stage, misalnya kepala desa tersebut ketika tidak berada di kantor atau tidak berada di dekat warganya maka dia ada di back stage.Â
Peran kepala desanya seketika hilang. Di back stage bisa saja sikap yang ditunjukkan berbeda. Misalnya kepala desa tersebut jarang mencuci tangannya dirumah atau tidak  memakai masker saat keluar ke tempat yang jauh dari jangkauan warganya. Hal seperti ini bisa saja terjadi karena seseorang telah lepas dari tanggungjawab perannya. Namun, saat kembali ke front stage maka sikap yang dilakukan kembali lagi seperti peran yang diinginkan. Hal-hal semacam ini adalah hal-hal yang selalu terjadi pada kehidupan manusia. Semua manusia memiliki dramaturginya masing-masing, manusia akan berusaha menampilkan terbaik saat front stage dan bisa saja sikapnya berbeda saat di back stage. Hal ini menandakan bahwa setiap orang itu memiliki perannya masing-masing dan teori Dramaturgi ini tidak lepas dari sifat manusia yang ingin selalu eksis dan dianggap baik oleh sesama nya. Walaupun teori Dramaturgi ini mengungkap kepalsuan tiap manusia yang ditampakkan didepan namun disisi lain kita bisa belajar berbuat dan tampil sebaik mungkin terhadap sesama.Â
Short Bio : Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel SurabayaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H