Mohon tunggu...
Afiatun Nurul Ilmi
Afiatun Nurul Ilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

hanya untuk menyalurkan hobi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Belajar Adil dari Pak Yap Thiam Hien, Sang Pejuang HAM

29 Mei 2022   10:08 Diperbarui: 29 Mei 2022   16:59 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompaspedia.kompas.id

Kalau anda bertujuan untuk menang, saya tidak mau membantu anda. Tapi kalau anda ingin menyuarakan kebenaran, saya akan bantu anda

Membicarakan perjuangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tak lengkap, bila kita tidak mengenal dan menceritakan Yap Thiam Hien. Sang penggagas akan perjuangan dan pemikirannya tentang HAM.

Yap Thiam Hien, yang kerap dianggap kontroversial karena membela hak semua golongan, baik kanan maupun kiri, tanpa membedakan agama, suku dan ras. Pria ini akrab disapa Yap ini, lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913. Yap lahir dari keluarga berada. Kakeknya merupakan seorang kepala kelompok Tionghoa yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut, membuat Yap tidak sulit dalam mengenyam pendidikan.

Ia pernah bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pengalaman pendidikannya pada masa kecil di sekolah Belanda membuatnya sadar akan diskriminasi ‘rasial’ yang sangat kental. "Saya dibesarkan di lingkungan perkebunan yang Feodalistis. Tapi masa kecil itu yang justru membuat saya benci dengan kesewenang-wenangan dan penindasan." ujar Yap Thiam Hien seperti dikutip dari buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia, karya Leo Suryadinata.

Setelah lulus dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Ia masuk AMS A-II (setingkat SMA) disekolah ini mempelajari bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan Inggris. Lulus dari Yogyakarta, Yap sempat mengajar di beberapa sekolah, yang umumnya muridnya banyak orang Tionghoa, seperti Hollandsch Chinese Zendings School di Cirebon, dan sekolah Tionghoa Hwee Koan.

Pasca kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Yap pergi ke Belanda lagi untuk kuliah. Ia mengambil jurusan Hukum di Leiden dan mendapat gelar Mr (Meester in de Rechten). Setelah itu, ia kembali ke tanah air dan bekerja sebagai sebagai advokat. Selain menjadi advokat, Yap Thiam Hien juga dikenal sebagai pendiri Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), organisasi massa bagi keturunan Tionghoa yang didirikan pada 13 Maret 1954 di Jakarta.

Saat di Baperki, Yap terpilih menjadi Wakil Ketua Baperki pusat, dengan Ketua Umum Siauw Giuok Tjhan. Yap sempat kali bertentangan akan perbedaan pandangan dengan Siauw. Tidak sependapat itu timbul saat Baperki sebagai organisasi yang netral mulai terseret ke ranah politik saat dipimpin Siauw. Siauw berpendapat bahwa terpinggirkannya etina Tionghoa akibat warisan kolonial Belanda dan jalan untuk menghapuskannya adalah dengan membentuk masyarakat sosialis. Hal itu menjadikan Baperki akhirnya memihak Sukarno dan komunis sebagai kekuatan yang dapat menjadi jalannya Baperki dengan menjalankan politik integrasionis dengan mendukung program Revolusioner Nasional yang dicanangkan oleh Sukarno.

Siauw menyampaikan konsepnya dalam memecahkan masalah rasial ini adalah dengan cara membersihkan hati. Yap juga mengusulkan agar segala hukum dan peraturan yang bersifat diskriminatif untuk segera dihapuskan. Bentrokan pikiran Yap Thiam Hien dengan Siauw Giuok Tjhan semakin tajam mana kala Baperki mendukung Sukarno saat pemberlakuannya kembali UUD 1945 yang mengandung pasal bahwa presiden Indonesia ialah harus orang asli Indonesia.

Siauw tetap bersikukuh bahwa Baperki membutuhkan Sukarno untuk mewujudkan cita-cita Baperki dengan jalan merapat kekuasaan. Dalam Kongres Baperki, Yap mengajukan mosi tidak percaya kepada Siauw walau ia tahu bahwa mayoritas kongres mendukung kepemimpinan siauw. Ia pantang mundur, baginya asas perjuangan Baperki lebih penting daripada soal strategis.

Akhirnya Yap kalah suara, ia lalu meletakkan jabatannya sebagai Wakil Ketua Baperki menjadi anggota biasa dalam Baperki dan mulai tidak aktif dilibatkan dalam organisasi tersebut.

Pada tahun 1967 Yap kembali ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan gagasan dari Lembaga Pembinaan Bangsa (LPKB), tentang pergantian nama warga keturunan Tionghoa. Ganti nama saat itu yang diberi makna sebagai Identifikasi Komiten Warga keturunan Tionghoa menjadi WNI.

Yap Thiam Hien menentang ide pergantian nama yang diusung oleh LPKB dan telah ditampung oleh pemerintah. Lewat media Sinar Harapan edisi Januari 1967, ia menyampaikan pendapatnya bahwa perubahan nama ini tidak akan menghilangkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Tulisan Yap di Dinah Harapan tanggal 27 Januari 1967, sebagai berikut: “Naif mengira bahwa mengganti nama merupakan suatu langkah positif ke arah proses kesatuan bangsa. Juga proses asimilasi/integrasi minoritas Cina kedalam mayoritas Pribumi bukanlah conditio sine qua non (Unsur yang sangat diperlukan dan penting) bagi kesatuan bangsa. Ini bergantung pada faktor-faktor lain yang lebih banyak dan kompleks. Ganti nama hanya berguna bagi orang-orang yang ingin mencapai suatu maksud pribadi yang egoistis untuk menyelamatkan posisi, perdagangan, jaminan masuk sekolah, dan jaminan hari depan. Para idealis yang mengganti nama Cinanya, boleh memprotes terhadap kata-kata yang keras ini, tetapi idealisme pun bisa dikelabui oleh kemauan tersembunyi dan bisa jadi korban dari zelf bedrog (penipuan diri). Ganti nama an sich adalah hak kebebasan pribadi. Tiada satu orang atau instansi pun boleh memaksa orang memakai nama ini atau nama itu." tulis Yap Thiam Hien.

Yap dicap tidak suka terhadap kebudayaan masyarakat pribumi Indonesia dan anti kawin campur. Walaupun ia dan keluargannya tidak mengubah nama tetapi ia sebenarnya sangat mencintai Indonesia. Hal itu, dapat dilatar belakangi dari, tidak pahamnya Yap akan bahasa Tionghoa dan lebih mengedepankan bahasa Indonesia. Sikap Yap terhadap kesan dirinya anti kawin campur, terbantahkan ketika anaknya, Yap Hong Gie yang menikah dengan Tetty Kintarti pada tahun 1988. Bahkan pada pernikahannya menggunakan adat Jawa.

Ketika Yap Theim Hien menjadi advokat kerap tampil membela orang-orang yang bertentangan terhadap pengusaha atau yang tertindas oleh penguasa.

Pada saat Orde Lama, bahkan Yap menghimbau untuk membebaskan beberapa tahanan politik Sukarno seperti, Moh Natsir, Moh Roem, Mochtar Lubis, Sutan Syahrir dan H.J.C Princen.

Saat Orde Baru, Yap ditunjuk oleh Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) untuk membela Dr. Subandrio yang dituduh terlibat G30S PKI. Tugas itu pun diterimanya, membela habis-habisan, walaupun Yap bukan sekutu Subandrio, apalagi pembela PKI. Hal tersebut bisa dilihat karena ia sempat menentang gagasan komunisme saat di Baperki. Yap juga seorang yang sering mengkritik rezim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Yap mengkritisi tuntutan hukum mati atas Subandrio yang diajukan oleh jaksa penuntut dalam pengadilan militer. Menurutnya nyawa manusia merupakan karunia dari Tuhan, maka hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.

Pengacara senior Todung Mulya Lubis menyebut Yap sebagai sosok advokat yang gigih memperjuangkan HAM tanpa rasa takut. Yap juga dikenal tidak membeda-bedakan orang yang dibelanya berdasarkan suku, agama, rasa dan kelas ekonomi tertentu.

Jika melihat perjuangan Yap, kita dapat melihat dirinya memiliki satu pola yang sama, yakni tidak senang terhadap kekuasaan yang berlebihan. Dirinya menganut kepercayaan Lord Action yang mengatakan jika kekuasaan berkecenderungan korup. Karena ada kecenderungan inilah Yap selalu mengatakan pentingnya menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dengan pola berpikir itu pula Yap mendirikan Lembaga Hak Asasi Manusia pada tahun 1966. Kemudian Yap Thiam Hien juga mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersama Adnan Buyung Nasution pada tahun 1970. Hal tersebut bukan semata sebagai pembelaan yang dilakukan Yap untuk Indonesia saja, tetapi untuk luar negeri juga.

Pak Yap Thiam Hien menjadi salah satu pendiri Dewan Hak Asasi Manusia di Asia, dan menjadi anggota Komisi Jurnis Internasional. Segudng pengabdiannya terhadap HAM ia lakukan semasa hidupnya hingga wafat pada tahun 29 April 1989. Membuat Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia memberikan Penghargaan Yap Thiam Hien kepada orang-orang yang berjasa dalam pergerakan HAM di Indonesia sejak 1992 hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun