Kalau anda bertujuan untuk menang, saya tidak mau membantu anda. Tapi kalau anda ingin menyuarakan kebenaran, saya akan bantu anda
Membicarakan perjuangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tak lengkap, bila kita tidak mengenal dan menceritakan Yap Thiam Hien. Sang penggagas akan perjuangan dan pemikirannya tentang HAM.
Yap Thiam Hien, yang kerap dianggap kontroversial karena membela hak semua golongan, baik kanan maupun kiri, tanpa membedakan agama, suku dan ras. Pria ini akrab disapa Yap ini, lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913. Yap lahir dari keluarga berada. Kakeknya merupakan seorang kepala kelompok Tionghoa yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut, membuat Yap tidak sulit dalam mengenyam pendidikan.
Ia pernah bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pengalaman pendidikannya pada masa kecil di sekolah Belanda membuatnya sadar akan diskriminasi ‘rasial’ yang sangat kental. "Saya dibesarkan di lingkungan perkebunan yang Feodalistis. Tapi masa kecil itu yang justru membuat saya benci dengan kesewenang-wenangan dan penindasan." ujar Yap Thiam Hien seperti dikutip dari buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia, karya Leo Suryadinata.
Setelah lulus dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Ia masuk AMS A-II (setingkat SMA) disekolah ini mempelajari bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan Inggris. Lulus dari Yogyakarta, Yap sempat mengajar di beberapa sekolah, yang umumnya muridnya banyak orang Tionghoa, seperti Hollandsch Chinese Zendings School di Cirebon, dan sekolah Tionghoa Hwee Koan.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Yap pergi ke Belanda lagi untuk kuliah. Ia mengambil jurusan Hukum di Leiden dan mendapat gelar Mr (Meester in de Rechten). Setelah itu, ia kembali ke tanah air dan bekerja sebagai sebagai advokat. Selain menjadi advokat, Yap Thiam Hien juga dikenal sebagai pendiri Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), organisasi massa bagi keturunan Tionghoa yang didirikan pada 13 Maret 1954 di Jakarta.
Saat di Baperki, Yap terpilih menjadi Wakil Ketua Baperki pusat, dengan Ketua Umum Siauw Giuok Tjhan. Yap sempat kali bertentangan akan perbedaan pandangan dengan Siauw. Tidak sependapat itu timbul saat Baperki sebagai organisasi yang netral mulai terseret ke ranah politik saat dipimpin Siauw. Siauw berpendapat bahwa terpinggirkannya etina Tionghoa akibat warisan kolonial Belanda dan jalan untuk menghapuskannya adalah dengan membentuk masyarakat sosialis. Hal itu menjadikan Baperki akhirnya memihak Sukarno dan komunis sebagai kekuatan yang dapat menjadi jalannya Baperki dengan menjalankan politik integrasionis dengan mendukung program Revolusioner Nasional yang dicanangkan oleh Sukarno.
Siauw menyampaikan konsepnya dalam memecahkan masalah rasial ini adalah dengan cara membersihkan hati. Yap juga mengusulkan agar segala hukum dan peraturan yang bersifat diskriminatif untuk segera dihapuskan. Bentrokan pikiran Yap Thiam Hien dengan Siauw Giuok Tjhan semakin tajam mana kala Baperki mendukung Sukarno saat pemberlakuannya kembali UUD 1945 yang mengandung pasal bahwa presiden Indonesia ialah harus orang asli Indonesia.
Siauw tetap bersikukuh bahwa Baperki membutuhkan Sukarno untuk mewujudkan cita-cita Baperki dengan jalan merapat kekuasaan. Dalam Kongres Baperki, Yap mengajukan mosi tidak percaya kepada Siauw walau ia tahu bahwa mayoritas kongres mendukung kepemimpinan siauw. Ia pantang mundur, baginya asas perjuangan Baperki lebih penting daripada soal strategis.
Akhirnya Yap kalah suara, ia lalu meletakkan jabatannya sebagai Wakil Ketua Baperki menjadi anggota biasa dalam Baperki dan mulai tidak aktif dilibatkan dalam organisasi tersebut.
Pada tahun 1967 Yap kembali ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan gagasan dari Lembaga Pembinaan Bangsa (LPKB), tentang pergantian nama warga keturunan Tionghoa. Ganti nama saat itu yang diberi makna sebagai Identifikasi Komiten Warga keturunan Tionghoa menjadi WNI.