Mohon tunggu...
Afiah Septia Rahmah
Afiah Septia Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43221010106 - Nama Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.SI.Ak - Nama: Afiah Septia Rahmah - S1 Akuntansi - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

A403 - TB 2 - Pencegahan Korupsi dan Kejahatan Pendekatan Paideia

11 November 2022   20:26 Diperbarui: 13 November 2022   14:54 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pencegahan Korupsi dan Kejahatan Pendekatan Paideia (Dokpri)


Sumber: Dokumen Pribadi

Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Nama: Afiah Septia Rahmah

NIM: 43221010106

Kampus: Universitas Mercu Buana

Socrates, seorang filsuf yang berasal dari Yunani mempercayai bahwa tidak ada manusia yang ingin melakukan kesalahan. Socrates mengatakan bahwasannya berbuat salah adalah tindakan yang membahayakan diri orang itu sendiri dan tidak ada satupun dari mereka yang memiliki niat atau usaha untuk menyakiti diri sendiri. Jika diteliti, kesalahan merupakan akar dari ketidaktahuan, artinya tidak mungkin untuk manusia berbuat salah karena naluri mereka sendiri menolak untuk melakukan hal itu. Sejatinya seseorang tidak ada yang secara sengaja mengorbankan diri mereka untuk melakukan kesalahan dan orang yang melakukan kesalahan akan menyadari bahwa perilaku yang mereka lakukan adalah suatu tindakan yang salah.

Seseorang diharuskan untuk memilih melakukan tindakan yang mereka sendiri mengatahui, bahwa hal tersebut dianggap salah oleh orang lain. Hingga seseorang dapat memilih untuk melakukan hal yang mereka yakini salah untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Akan tetapi, berbeda dengan seseorang yang tidak memilih melakukan hal yang dapat memunculkan sebuah keputusan salah atau berbahaya bagi diri mereka. Manusia juga secara sadar mengetahui tindakan yang benar-benar nyata bahwa hal tersebut dapat melukai diri mereka sendiri, maka manusia dapat melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian dengan alasan atas tujuan kesalahan yang mereka perbuat untuk mencari kebaikan, yaitu bermanfaat bagi mereka sendiri.

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia dengan terus menerus dan berulang kali tanpa adanya ikatan aturan yang berlaku akan menjadi sebuah kebiasaan manusia untuk melakukan tindakan tersebut, hingga pada akhirnya dapat berbuah menjadi suatu kejahatan. Kejahatan adalah salah satu sumber yang lahir dari berbagai tindakan kesalahan yang diperbuat oleh manusia dan kejahatan hidup berdampingan dengan manusia. Aktifitas manusia dalam hubungan politik, sosial, dan ekonomi akan selalu terikat pada kejahatan. Oleh karenanya, dibutuhkan seperangkat aturan atau norma yang berlaku untuk menata tentang kehidupan manusia yang mengikat dalam hukum. 

Peta Konsep (Dokpri)
Peta Konsep (Dokpri)

Berikut ini akan dijelaskan mengenai arti kejahatan secara lebih luas serta keterkaitannya dengan tindakan korupsi, alasan seseorang melakukan tindak kejahatan, dan cara pencegahannya jika ditinjau melalui sudut pandang paideia (pendidikan)>

Pengertian Kejahatan dan Korupsi (Dokpri)
Pengertian Kejahatan dan Korupsi (Dokpri)
Sumber: Dokumen Pribadi

Apa itu kejahatan dan korupsi?

Penelitian mengenai bentuk tubuh dan tindakan kejahatan, telah dikemukakan oleh seorang Filsuf dari Perancis, yaitu Rene Descartes (1596 – 1650). Rene Descartes mengemukakan pendapatannya, bahwa sifat pikiran dan tubuh berbeda satu sama lain dan masing-masing diantaranya eksis dengan sendirinya. Descartes juga menyatakan mengenai pernyataan kesadaran “Aku Berpikir, Maka Aku Ada” atau “Co Gito Ergo Sum”, artinya manusia tidak dapat mengalihkan keberadaan pikirannnya saaat menggunakan pikiran tersebut sewaktu menyangkalnya. Jika dilihat melalui Pandangan Cartesian, dimana sulit untuk memecahkan antara psikiatri dan psikologi. Hingga, gangguan mental pada dasarnya juga harus memiliki akar fisik atau psikis. Kini, pernyataan Rene Descartes menimbulkan sebuah pertanyaan yang besar dan masih menjadi bahan perdebatan sampai saat ini, mengenai hubungan antara kedua struktur yang berbeda dapat berinteraksi secara kausal untuk membangkitkan manusia melalui gerakan dan sensasi tubuh sukarela.

Korelasi atau hubungan antara bentuk tubuh dan pikiran mengenai tipe menusia penjahat juga dikemukakan oleh Cesare Lombroso (1935 – 1909), yaitu salah satu orang pertama yang menjelaskan mengenai metode ilmiah dalam mempelajari kejahatan. Cesare Lombroso juga dikenal sebagai dokter, psikiater, penulis, dan sebagai pendiri antropologi kriminal, yaitu studi mengenai tubuh, pikiran, dan kebiasaan mengenai penjahat. Penelitian yang dilakukan oleh Lombroso didasarkan pada teori positivism yang dikemukakan oleh Auguste Comte (1798 – 1857). Sehingga teori Lombroso dijelaskan berdasarkan fakta, data, dan kecenderungan umum yang terjadi pada saat itu. Teori Lombroso, yaitu mengenai pelaku atavisik mendominasi pada perbincangan di Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia pada tahun 1880 hingga awal abad 20. Pada masa itu hingga Cesare Lombroso meninggal, banyak dari kritikus yang menyerang teori Lombroso dan banyak sekali dari mereka yang berpindah teori, hingga Lombroso mendapatkan ejekan mengenai teori dan pekerjaannya.

Melalui pandangan Lombroso, dijelaskan mengenai sisi biologis penjahat yang dilihat melalui rias fisik mereka dalam melanggar hukum. Diketahui bahwa penyebab utama dari kejahatan adalah atavisme, yaitu kebalikan dan kebiadaban. Penjahat diartikan sebagai proses kemunduran ketahap primitif dalam evolusi manusia. Ditinjau melalui salah satu buku pelajaran, bahwa penyebab orang Lombardia melakukan kejahatan adalah keturunan yang buruk, akan tetapi hal itu tidak menjelaskan hubungannya dengan atavisme.

Cesare Lombroso (Dokpri)
Cesare Lombroso (Dokpri)

Sumber: Dokumen Pribadi

Cesare Lombroso menyatakan mengenai pelanggar antara perempuan dan laki-laki, meskipun belum diketahui secara jelas mengenai pernyataan Lombroso ini. Lombroso menyatakan bahwa kepasifan pelaku berada pada perempuan (Barkan, 2001). Disisi lain, Lombroso juga menyatakan pada kejantanannya (Seigel, 1995). Tanpa menjelaskan lebih jauh mengenai dua hal tersebut, Cesare Lombroso mengemukakan bahwa penjahat terlahir mampu dikenali melalui karakteristik fisik tertentu. Karakteristik fisik yang dimaksud, yaitu telinga yang berukuran tidak seperti biasanya, wajah yang tidak simetris, lengan panjang, dahi miring, dan lainnya. Sejatinya penjahat adalah mereka yang dapat menyembunyikan pensonanya dihadapan publik, dan sebagaian dari mereka termasuk kedalam progrant. Progrant diartikan sebagai kemampuan atau keunggulan dari bagian bawah wajah untuk menunjukan perkembangan otak yang lebih rendah dan dahi yang menyurut. Dijelelaskan dengan tepat oleh Lombroso bahwa jenis kriminal adalah progrant dan surut dahi, yaitu mendekati jenis antropid.

Cesare Lombroso juga menjelaskan mengenai bagaimana mengantisipiasi genetik kejahatan. Sebuah teori menyatakan bahwa faktor keturunan dapat berinteraksi dengan lingkungan guna menghasilkan individu yang melahirkan potensi untuk menyinggung. Hal tersebut memiliki kemiripan dengan pernyataan Lombroso saat menganalisis bagaimana cara faktor sosial, keturunan, dan lingkungan dapat saling berinteraksi melahirkan penjahat dan kejahatan.

Jika ditinjau secara etimologis, kriminologi dilahirkan dari kata crimen, yaitu kejahatan, dan logos berarti pengetahuan. Dapat disimpulakan bahwa kriminologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai kejahatan. Dilihat secara umum, kriminologi atau kejahatan adalah suatu tindakan atau perilaku yang diperbuat oleh seseorang, dimana tindakan atau perilaku yang dilakukan melanggar aturan atau hukum yang berlaku, hingga pelaku tersebut dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tindakan atau perilaku yang diperbuat. Dalam menjelaskan arti kejahatan, Plato mengakatakan bahwa “Manusia adalah sumber dari banyak kejahatan”. Begitupun dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa “Kemiskinan menimbulkan kejahatan dari pemberontakan, dan kejahatan besar tidak dilakukan untuk mendapatkan keperluan hidup, tetapi untuk kemewahan”. Oleh karenanya, kehidupan manusia akan selalu berdampingan dengan kejahatan.

Pada mulanya, pemahaman mengenai arti kejahatan dan penyebab seseorang melakukan kejahatan sudah dikemabangkan sedari lama oleh beberapa filsuf Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Dilansir dalam buku Republiek, Plato memberikan pernyataan bahwa emas dan manusia adalah sumber dari kejahatan. Arti dari pernyataan tersebut adalah semakin tinggi pandangan manusia akan kekayaan, maka semakin menurun penghargaan manusia terhadap kesusilaan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap negara memiliki tingkat kemiskinan yang berbeda dan tingkat kemiskinan tersebut terbilang tinggi, hingga kondisi tersebut dapat melahirkan penjahat yang beragam. Dijelaskan pula kedalam buku De Wetten, Plato memberikan pernyataan bahwa jika dalam tatanan masyarakat tidak ada perbandingan antara kaya dan miskin, maka kesusilaan akan menjadi hal tertinggi yang terjadi, hal tersebut karena tidak adanya takabur, iri hati, dengki, dan lainnya.

Selanjutnya, kata kejahatan dapat dimaknai dengan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, dimana hal tersebut dapat dihukum oleh hukum. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan jahat. Etimologi mengenai kejahatan diawali dari kejahatan Prancis, yaitu berasal dari bahasa latin crimen yang artinya tuduhan, dan root cerno yang artinya saya memutuskan, saya memberikan penilaian. Akan tetapi, seorang ahli bahasa Kanada yang lahir di Rumania, Rabbi Ernest Klein menyatakan dalam Kamus Etimologis Komprehensif, bahwa crimen merupakan sebuah frasa akan tangisan kesusahan. Dilihat melalui sisi pandang bahasa latin bahwa krima adalah hukuman atau hukuman pengadilan. Adapun kata crimen dapat diartikan sebagai pelanggaran, kesalahan serius, tindakan bodoh, dan tindakan kelalaian.

Seorang filsuf Italia yang merupakan salah satu kriminolog modern awal, yaitu Cesare Beccaria (1738 – 1794) yang meluaskan aliran pemikiran yang didapatkan melalui saran dari para filsuf pencerahan atau yang disebut dengan teori klasik. Bahwasannya para pemikir mempercayai, bahwa penjahat adalah makhluk yang bebas dan hanya membuat keputusan yang menurutnya sesuai dengan kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, pandangan tersebut menjadi dasar untuk teori rasional di era modern. Dimana ia mempercayai bahwa respon masyarakat yang seharusnya adalah perilaku kriminal dinilai kurang diinginkan dengan hukuman yang sesuai, disamping itu Cesare Beccaria menentang bahwa pelaku kriminal dijatuhi hukuman mati.

Kebenaran akan menempatkan kejahatan pada pihak yang berkuasa secara khusus. Strategi ini memungkinkan terjadinya penipuan, dimana tujuannya adalah seseorang menunjukan perilaku diluar kebaikan dan kejahatan, hal tersebut dimaksudkan untuk terhindar dari bentuk penilaian. Hal tersebut akan membentuk hegemoni atau kekuataan seseorang semakin tinggi, tetapi jika hal tersebut melemah dalam membuat klaim, maka akan memunculkan hak untuk menguatkan aturan marah mengenai tantangan gagasan legalitas. Sejarah Hegelian mengemukakan bahwa kejahatan yang kuat biasanya terjadi pada bidang sosial dan politik, dimana keduanya menawarkan perubahan. Hingga menimbulkan pernyataan, yang kuat dipaksa untuk melampaui dan meniadakan, sehingga dengan melakukan hal tersebut mereka akan melakukan pembenaran terhadap tindakan mereka.

Adam Smith menjelaskan mengenai pembenaran, dimana menunjukan secara jelas mengenai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berkuasa sulit untuk dideteksi dan tanggung jawabnya sulit dibagikan. Kejahatan tersebut merupakan akibat dari kelalaiaan yang berawal dari niat, kemudian merugikan hingga dikategorikan sebagai niat jahat. Berbanding dengan Adam Smith, seorang filsuf Inggris yang bernama John Stuart Mill menyatakan bahwa dirinya tidak peduli akan kerugian yang disebabkan oleh para aktor kuat, tetapi ia menyatakan apakah kerugian tersebut dapat berakibat atau tidak ada persetujuan dari mereka yang mengalami penderitaan.

Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa tinggi bersifat eksperimental, dimana yang mereka lakukan akan mengarahkan kepada dasar etika, aturan sosial, dan politik yang serba baru. Kejahatan tersebut telah disimpulkan dapat merestrukturisasi semua bidang, terutama bidang hukum dan politik hingga dapat memainkan peran legislatif. Sehingga demikian, setelah menjelaskan mengenai arti kejahatan, maka selanjutnya akan dijabarkan mengenai salah satu contoh dari kejahatan, yaitu korupsi. Dimana dalam hal ini, korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang melanggar hukum dan akibat darinya dapat merugikan masyarakat.

Korupsi bersumber dari bahasa latin, yaitu “Corruptio” atau “Corruptus”. Jika secara harfiah, kata korupsi diartikan sebagai keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan bertolak belakang dengan kesucian. Dalam bahasa Inggris, korupsi disebut dengan Corruption, dalam bahasa Prancis adalah Corrupt, dan dalam bahasa Belanda adalah Corruptie. Dari ketiga bahasa tersebut, berkembang menjadi bahasa Indonesia, yaitu korupsi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi merupakan tindakan penyelewengan atau penghapusan berkaitan dengan uang negara atau perusahaan dan lainnya yang dijalankan untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Berdasarkan pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa “Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Jika ditarik kesimpulan, korupsi secara umum diartikan sebagai suatu tindakan dalam penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dilakukan oleh seseorang guna mendapatkan keuntungan pribadi.

Korupsi ialah suatu perilaku ketidakjujuran atau curang karena mengacu pada keuntungan pribadi dan umumnya melibatkan suap. Oleh sebab itu, korupsi banyak diartikan sebagai tindakan penyalahgunaan mengenai kepercayaan yang dilakoni oleh seseorang terkait suatu masalah atau organsiasi guna mendapatkan keuntungan. Korupsi dikategorikan kedalam berbagai perspektif, yaitu hukum, politik, sosiologi, dan agama. Jika ditinjau dari sudut pandangan hukum, korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan (crime). Maka dari itu, diperlukan upaya pencegahan korupsi dengan memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang yang mengatur mengenai korupsi. Menurut sudut pandang politik, korupsi umumnya dilakukan oleh para elit politisi dan birokrat yang memiliki kekuasaan tinggi, lalu mereka memakai kekuasaannya sebagai bentuk tindak kejahatan untuk melakukan korupsi. Pada sudut pandang sosiologis, korupsi diartikan sebagai sebuah masalah sosial, institusional, dan struktural. Sudut pandangan sosiologis ini menekankan bahwa korupsi dilakukan oleh masyarakat dan merupakan suatu kejahatan sosial. Terakhir dilihat dari sudut pandang agama, bahwa korupsi merupakan akibat dari lemahnya nilai agama dan moralitas yang ada dalam diri seorang manusia. Oleh sebab itu, upaya yang ditegakan harus lebih kuat lagi dalam menanamkan internalisasi mengenai nilai keagaman pada diri manusia sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Seorang filsuf Inggris, yaitu Thomas Hobbes (1588 – 1679) mengatakan bahwa kehidupan harus patuh pada tata hukum alam (alami). Hal tersebut sesuai dengan pedoman hukum alam, jadi pengetahuan manusia harus didasarkan pada pengalaman objektif dan observasi. Di dunia alamiah ini, individu harus memahami arti hubungan kausalitas, yaitu hubungan sebab – akibat. Dari pemikiran ini dijelaskan bahwa pengetahuan yang memiliki sifat apriori tidak dapat diterima oleh akal budi manusia. Thomas Hobbes menjelaskan bahwa gerak dan materi merupakan penyabab pertama, dan hal ini ia ketahui dari pemikiran mesin Newton. Teori pengetahuan yang dikemukaan oleh Hobbes juga berpengaruh dalam konteks etika dan moral. Berdasarkan pemikirannya, Hobbes membentuk paham mengenai realisme, positifisme, dan materialisme. Akibat dari itu dinilai sangat besar, dimana manusia tidak perlu menilai mengenai kejujuran, keadilan, dan kebahagiaan karena hal tersebut tidak berhubungan dengan realitas.

Jika dilihat melalui segi etis dan kodrat, dimana Hobbes menyatakan bahwa manusia sejak dari lahir dalam dirinya akan ada pertentangan mengenai hal yang baik dan buruk. Konsep baik yang dimaksud oleh Hobbes, yakni ditujukan oleh objek nafsu. Sedangkan konsep buruk diartikan sebagai penyangkalan.

Dilihat melalui ajaran Hobbes, bahwa korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan. Hal tersebut dinilai oleh Hobbes karena korupsi merupakan cara dalam mencari kenikmatan tubuh dan kenikmatan tersebut merupakan suatu kebenaran. Oleh karenanya, korupsi merupakan cara bijaksana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dalam bentuk apapun dan tidak terbatas. Demikian, seseorang yang melakukan korupsi atau yang disebut dengan koruptor merupakan seorang hedonis yang abadi.

Korupsi adalah tindak kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat. Maka pada praktiknya, korupsi banyak sekali dilakukan oleh para pejabat dan kaum elit yang berada dilingkungan pemerintahan. Mereka memiliki cara yang kuat dan pintar dalam melakukan korupsi, sebab mereka melakukan hal tersebut secara sadar. Hingga pada akhirnya, kejahatan yang mereka lakukan memberikan dampak tinggi bagi kerugian negara. Koruptor yang bergerak dalam lingkup tersebut merupakan mereka yang terpelajar, pendidikan tinggi, memiliki jabatan tinggi, mahir pada trik birokrasi, serta cerdik untuk melakukan skandal politik secara senyap. Seorang yang melakukan tindak pidana korupsi akan melindungi diri mereka sendiri dengan kekuatan luar biasa yang mereka miliki, yaitu disebut dengan abuse of power. Selain itu mereka akan menggunakan kekuatan berupa uang untuk menyogok hakim, advokat, dan lainnya.

Seorang koruptur dapat dikatakan hedonis karena mereka yang tidak akan menilai orang lain dan tidak peduli ada masyarakat kecil. Para koruptor hanya memikirkan mengenai kekayaan dan jabatan demi meningkatkan popularitas. Akan tetapi, saat mereka menjadi seorang koruptor maka nilai kredibilitas mereka hilang dari pandangan masyarakat, sebab para pejabat menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri dan tidak memiliki kepedulian dengan penderitaan yang dialami oleh masyarakat, terutama masyarakat kecil.

Penyebab Kejahatan (Dokpri)
Penyebab Kejahatan (Dokpri)
Sumber: Dokumen Pribadi

Mengapa seseorang melakukan kejahatan?

Kriminalitas atau kejahatan diyakini sebagai suatu bentuk gejala sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Terdapat berbagai macam faktor yang membuat seseorang untuk bertindak melakukan kejahatan, yaitu faktor ekonomi, lingkungan, keluarga, dan kepribadian. Kriminalitas juga sering disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat kota maupun desa.

Kejahatan tidak selalu tentang tindakan, tetapi kejahatan juga bisa berupa ucapan atau perbuatan yang dinilai merugikan masyarakat, melanggar norma, dan membahayakan keselamatan orang lain. Kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun, baik laki-laki, wanita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Terdapat sebuah perspektif moral yang mengatakan bahwa perilaku yang dikategorikan sebagai kejahatan dicirikan dengan 2 faktor, yaitu mens rea (memiliki niat untuk melakukan perilaku tersebut), dan actus reus (terlaksananya perilaku tersebut tanpa adanya paksaan orang lain).

Dalam mengartikan konsep kejahatan, juga dikenal dengan dua istilah, yaitu pelaku dan korban. Pelaku merupakan individu yang melakukan tindak kejahatan dimana melanggar hak dan mengancam keselamatan hidup orang lain. Begitupun dengan korban, yaitu diartikan sebagai individu yang terlanggar atau terancam hak dan keselamatan hidupnya.

Sejak dahulu, manusia telah berusaha untuk memaparkan mengapa seseorang melakukan tindak kejahatan. Oleh karenanya, berkembanglah sebuah penjelasan mengenai hal tersebut, yaitu Model Demonlogi. Dijelaskan bahwa perilaku kriminal merupakan pengaruh dari roh jahat dan cara untuk menghapusnya adalah dengan mengusir roh jahat tersebut, caranya dilakukan dengan menyiksa atau mengeluarkan bagian dari tubuh yang dianggap jahat. Kemudian seorang Psikologi Autsria, Sigmund Freud (1856 – 1939) menjelaskan mengapa seseorang bertindak kriminal yang ditinjau dari perspektif Psikoanalisa. Freud mengatakan bahwa seseorang bertindak kriminal karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan Id, Ego, dan Superego yang membuat individu lemah hingga pada akibatnya mereka melakukan perilaku yang menyimpang atau kejahatan. Begitupun dengan penyimpangan yang terjadi, Freud menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena adanya rasa bersalah yang berlebihan akibat dari superego yang berlebihan.

Individu yang memiliki superego berlebihan akan merasa bersalah tanpa adanya alasan dan meminta untuk dihukum, hingga cara yang dilakukan sebagai upaya tersebut adalah dengan melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut dilakukan untuk menghilangkan superego karena secara tidak sadar individu menginginkan untuk dihukum guna menghilangkan rasa bersalah. Kemudian, Freud juga menjelaskan bahwa kejahatan berkaitan pada prinsip kesenangan. Prinisp kesenangan yang dimaksud adalah sejatinya individu memiliki dasar biologis yang bersifat mendesak dan bekerja guna meraih kepuasan. Keinginan yang dikelola oleh Id adalah makanan, seks, dan kelangsungan hidup. Jika ketiga hal tersebut tidak dapat diperoleh secara legal atau sesuai aturan sosial, maka secara naluriah seseorang akan mendapatkan keinginan tersebut secara ilegal.

Oleh karenanya, diperlukan pemahaman mengenai moral benar dan salah yang ditanamkan kepada setiap individu sejak masa kecil untuk mengimbangi dan mengkontrol antara superego dan Id. Ketika pemahaman mengenai moral dan superego tidak dikembangkan, maka akan berakibat pada individu yang tidak bisa mengkontrol Id, hingga ingin melakukan apapun untuk mendapatakan apa yang dibutuhkan. Disimpulkan bahwa kejahatan bukanlah lahir dari kepribadian, tetapi berasal dari lemahnya ego. Dimana ego tidak mampu menompang kebutuhan superego dan id yang lemah, hingga pada akhirnya manusia rentan untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan.

Selain penyebab kejahatan yang telah dipaparkan diatas, berikut ini akan diuraikan mengenai penyebab kejahatan dalam konteks tindak pidana korupsi. Setiap individu atau kelompok yang melakukan suatu tindak kejahatan korupsi, maka akan ditemukan alasan atau penyebab mengapa mereka melakukan tindakan tersebut. Salah satu teori yang mengemukakan mengenai penyebab korupsi, yaitu Teori Gone yang dikemukakan oleh Jack Bologne. Menurut Bologne, penyebab seseorang melakukan korupsi karena adanya keserakahaan (greed), kesempatan (opportuntity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposure). Keserakahan (Greed) yang dimaksud adalah sikap serakah yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Sikap tersebut sangat bertentangan karena menodai jiwa yang suci. Jika sikap serakah tersebut melebihi batasnya, maka akan berakibat seseorang tidak akan pernah merasa cukup dalam dirinya. Kesempatan (Opportunity) merupakan suatu hal yang memilki hubungan dengan suatu kondisi atau keadaan organisasi, instansi, dan masyarakat. Jika dilihat peluang untuk melakukan kecurangan terlihat besar, maka akan semakin mudah bagi individu atau kelompok untuk melancarkan niatnya dalam melakukan kecurangan tersebut.

Kebutuhan (Need) merupakan keterkaitan dengan sebuah faktor yang dibutuhkan untuk menunjang hidup. Pengungkapan (Exposure) merupakan hal yang berkaitan dengan diungkapnya kecurangan dan berat hukuman yang didapatkan oleh pelaku kecurangan tersebut. Selain keempat penyebab tersebut, korupsi juga dilakukan karena adanya kemauaan yang ada dalam diri individu atau kelompok. Kemauan tersebut merupakan faktor internal sebagai pendorong untuk melakukan tindak kejahatan korupsi yang berakar dari kebutuhan dan keserakahan. Jika seseorang sudah memiliki niat, kemauan, atau keinginan yang mendasar pada dirinya tersebut maka tidak heran jika kejahatan tersebut dapat mereka lakukan secara sadar.

Pandangan Plato Tentang Pendidikan (Dokpri)
Pandangan Plato Tentang Pendidikan (Dokpri)
Sumber: Dokumen Pribadi

Bagaimana upaya pencegahan kejahatan dan korupsi melalui pendekatan paideia?

Ditelusuri melalui sudut pandang psikologi hedonistik, bahwasannya setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu dilakukan berdasarkan pada pertimbangan antara rasa senang dan tidak senang (sakit). Oleh sebab itu, individu berhak memilih antara yang baik dan buruk, serta memilih mengenai tindakan yang melahirkan kesenangan atau tidak. Dijelaskan oleh Cesare Beccaria, ketika seseorang melakukan pelanggaran hukum maka mereka telah memperhitungkan akan kesenangan dan sakit yang nantinya mereka dapatkan dari tindakan tersebut. Lalu ditegaskan pula oleh Beccaria, ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah diatur dalam undang-undang, maka mereka juga harus menerima hukuman tanpa melihat umur, kesehatan jiwa, kaya dan miskin, dan kondisi lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah upaya pencegahan kejahatan agar tidak berkembang lebih jauh atau luas dan seseorang dapat mempertimbangkan tindakan mereka sebelum melakukan. Upaya pencegahan kejahatan yang dibahas dalam materi ini adalah dilihat melalui sisi pandang pendidikan (paideia).

Ditinjau oleh Werner Jaeger (1888 – 1961), paideia diartikan sebagai salah satu bagian dari pendidikan dan kebudayaan Yunani. Paideia jika dilihat melalui segi pendidikan, yakni suatu proses pembentukan diri ke dalam wujud tertentu yang ideal. Akan tetapi jika dipandang melalui segi kebudayaan atau kultur, paideia merupakan suatu kesadaran komunal yang ditandai dengan hadirnya arus intelektual dan spiritual yang beragam, berhantaman, dan saling menyeimbangkan. Paideia merupakan hasil pemikiran dari para penyair, negarawan, sastrawan, dan filsuf yang pada perkembangannya bertumbuh menjadi besar membentuk kebudayaan Yunani Klasik.

Pendidikan Menurut Orang Yunani (Dokpri)
Pendidikan Menurut Orang Yunani (Dokpri)

Sumber: Dokumen Pribadi

Orang Yunani memiliki pandangan mengenai pendidikan, yaitu sebagai model karakter yang dibentuk dengan citra ideal manusia. Manusia dikatakan ideal oleh orang Yunani jika dasarnya merupakan makhluk sosial atau politik, terikat oleh hukum, dapat mengekspresikan sifatnya sendiri, dan dapat melayani komunitas manusia ditempat ia berasal. Bagi pendidikan Yunani, humanisme merupakan sebuah gagasan utama. Dimana humanisme merupakan suatu pembentukan manusia untuk sesuai dengan pola manusia universal, bukan dengan individualisme yang berkembang bebas atas kecenderungan dan karakteristik pribadi. Jika dilihat secara jauh, cita-cita budaya yang dimiliki oleh orang Yunani adalah kehidupan yang berjalan sesuai hukum yang mengikat manusia pada tatanan dunia.

Menurut Plato, pendidikan atau paideia adalah salah satu cara untuk mendidik individu dari tempat gelap menuju tempat terang (peristrophe) yang mana dilakukan untuk meraih kebenaran atau kebijaksanaan (periagoge). Suatu hal yang menarik dalam paideia adalah para pendidik harus bersungguh-sungguh dalam mendidik para muridnya. Plato juga mengatakan bahwa pendidikan dapat dilakukan melalui permainan dan artifisal. Individu yang memiliki keinginan untuk menjadi pemimpin, maka ia harus bermain dengan permainan yang berhubungan pada pengajaran moral. Plato sangat menolak akan mitos yang berkaitan dengan kematian, kebencian, dan kesedihan. Menurutnya, calon pemimpin harus memiliki kebebasan dalam berpikir yang positif dan takut pada perbuatan perbudakan atau penindasan. Selain itu, Plato juga membantah tentang mitos mengenai dewa yang kehilangan batas diri, pahlawan yang gemar korupsi dan melakukan tindak asusila. Menurut Plato, cerita atau mitos tersebut adalah palsu dan jahat.

Plato mengatakan jika negara dan manusia memiliki persamaan, maka dari itu moralitas menjadi hal yang utama untuk diperhatikan dalam kehidupan negara, serta moralitas harus menjadi hal yang hakiki dengan keberadaan para penguasa dan seluruh warga negara sebagai manusia. Negara yang ideal merupakan komunitas etikal dalam meraih kebajikan dan kebaikan. Negara ideal merupakan suatu keluarga dan sebab dari itu setiap warga negara harus memiliki sikap kekeluargaan untuk mencerminkan kerukunan dan keharmonisan. Dalam melahirkan calon pemimpin, menurut Plato metode pembelajaran yang dipakai mengarah kedalam pusat jati diri manusia, yakni jiwa. Dikatakan demikian karena jiwa memiliki karakteristik yang elastis atau mudah untuk dibentuk. Sehingga pendidikan akan memiliki visi yang jelas untuk mengarahkan hiwa para anak didik untuk mencapai tujuan dan cita-cita. Ditegaskan oleh Plato, bahwa dalam memilih calon pemimpin harus yang berasal dari keturunan yang baik, cinta akan kebijaksanaan, cinta pengetahuan dan kebenaran, benci terhadap kebohongan, daya ingat yang bagus, dan unggul akan moral.

Sebagai upaya dalam pencegahan kejahatan dan korupsi, pendidikan merupakan suatu hal mendasar yang dijadikan sebagai media untuk menanamkan moralitas kepada individu. Seperti yang dijelaskan oleh Plato, pendidikan bertujuan untuk menemukan kebenaran sejati dan untuk pengembangan watak. Diungkapkan pula oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan peserta didik yang memiliki akal budi yang luhur. Pendidikan berbudi luhur artinya pendidikan yang bertujuan menghasilkan generasi yang memiliki keutamaan moral, bijaksana, tangguh, dan adil. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan sebuah sarana dalam mengembangkan karakter individu untuk berbudaya dan bermartabat sebagai manusia.

Upaya dalam pencegahan korupsi tidak hanya diatasi dengan proses penegakkan hukum. Akan tetapi, pencegahannya dapat dilakukan oleh suatu tindakan preventif, yakni menanamkan nilai religius atau moral bebas korupsi melalui pendidikan. Pengembangan mengenai moral bebas korupsi harus semakin dikembangkan, karena hal ini berkaitan dengan kesadaran hukum. Kesedaran hukum merupakan pemahaman seseorang dalam memaknai hukum. Oleh sebab itu, upaya dalam membangun kesadaran hukum juga dapat ditempuh melalui edukasi atau pendidikan.

Berkaitan dengan pencegahan korupsi, pembentukan karakter merupakan hal yang paling utama diterapkan sebagai dasar pendidikan. Jika tidak adanya dasar pembentukan karakter, maka tujuan pendidikan tersebut akan sia-sia. Pendidikan yang dimaksud bukan mengacu sebagai pemberantas korupsi, tetapi sebagai upaya dalam mencegah dengan melatih individu untuk memiliki kesadaran agar berperilaku anti koruptif. Demikian, pendidikan harus menerapkan pemahaman melalui nilai-nilai korupsi sebagai nilai negatif yang dapat merugikan banyak pihak, maka nantinya akan terbentuk karakter individu yang anti koruptif.

Pencegahan Kejahatan (Crime Prevention) merupakan sebuah proses dalam mengantisipasi, identifikasi, dan estimasi akan risiko terhadap kejahatan yang terjadi, serta melakukan inisiasi atau tindakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindak kejahatan. Pada dasarnya hukum dibentuk karena adanya keinginan dan kesadaran setiap individu yang digunakan sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian. Oleh karenanya sebagai salah satu cara dalam mencegah kejahatan, hukum dijadikan sebagai acuan utama untuk para pelaku kejahatan. Dimana hukum mengatur aturan mengenai tindak kejahatan tersebut dan mengatur mengenai konsekuensi atau hukuman yang didapatkan oleh para pelaku kejahatan.

Penerapan moral anti korupsi melalui bidang pendidikan merupakan suatu langkah dalam menanamkan nilai anti korupsi sejak dini. Sebab sumber dari seseorang melakukan korupsi, yakni hilangnya nilai anti korupsi, seperti jujur, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, dan lainnya. Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting untuk mengakselerasikan upaya dalam pencegahan korupsi yang terjadi di negara ini.

Pendidikan dijadikan sebagai jantung dan urat nadi untuk membangun pondasi dalam pembentukan karakter, moral, dan integritas anak bangsa. Sehingga nantinya, menghasilkan generasi yang memiliki ruh kepribadian anti korupsi yang tertanam dalam dirinya. Berdasarkan pada hal tersebut, KPK mengutamkan pendidikan sebagai salah satu sarana dalam pencegahan korupsi. Pendidikan yang dimaksud juga termasuk pendidikan formal dan non formal, yang dimulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dimana dalam proses berlangsungnya pendidikan tersebut, dijelaskan mengenai unsur serta nilai anti korupsi kepada anak bangsa.

Hal tersebut dimaksudkan untuk membentuk paradigma bahwa korupsi bukanlah hal yang biasa, melainkan korupsi termasuk kedalam salah satu bentuk kejahatan luar biasa dan bukan dianggap sebagai warisan budaya bangsa. Pencegahan yang dilakukan melalui pendekatan paideia (pendidikan) ditujukan untuk membangun kultur dan peradaban bangsa yang anti korupsi dan internalisasi nilai anti korupsi melalui pendidikan diharapkan dapat membentuk moral serta budaya anti korupsi.

Citation:

Apollo. (2019, December 27). Filsafat Manusia dan Kejahatan [14]. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/balawadayu/5e06001b097f36298a6b95c2/filsafat-manusia-dan-kejahatan-14?page=2&page_images=1 

Apollo. (2019, December 27). Filsafat Manusia dan Kejahatan [3]. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/balawadayu/5e059206d541df23bd2bb652/filsafat-manusia-dan-kejahatan-3

Apollo. (2019, November 3). Filsafat Moral dan Sifat Kejahatan Manusia [1]. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/balawadayu/5dbdc108097f3650842e5b12/filsafat-moral-dan-sifat-kejahatan-manusia

Apollo. (2022, October 30). Apa Itu Paideia Era Yunani. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/balawadayu/62e144953555e42d3709a032/apa-itu-pendidikan-paideia-era-yunani

Pareira, N. (2020, August 25). Wajah Lain Dari Korupsi: Tinjauan Filsafat Thomas Hobbes. Retrieved from LaoLao Papua: https://laolao-papua.com/2020/08/25/wajah-lain-dari-korupsi-tinjauan-filsafat-thomas-hobbes/

Prayatna, E. (2020). Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan. Retrieved from https://www.erisamdyprayatna.com/2016/04/teori-penyebab-terjadinya-kejahatan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun