Gurat-gurat kekecewaan di wajahmu seketika lenyap, suara sapaan dari seorang anak laki-laki itu membuatmu tersenyum senang.Â
Tanpa menunggu anak laki-laki itu mendekat, kamu dengan cepat naik ke pagar pembatas jembatan. Merentangkan tangan dan mengabaikan seruan anak laki-laki yang dengan secepat mungkin berlari menghampirimu.
Kamu masih tidak peduli dan memilih menikmati sepoi-sepoi angin malam sambil memejamkan mata.Â
"Al, buruan ikut aku berdiri di sini!" Tanpa menoleh ke arah anak laki-laki itu, kamu menyuruhnya untuk bergabung.Â
"Al ...."
"Rim, ibuku lihat kita di ujung jembatan sana, ayo pulang!"Â
Kamu mencebik kesal, ucapan anak laki-laki itu membuatmu terganggu, lalu meminta tolong anak laki-laki itu untuk dibantu turun.Â
"Mana?" tanyamu saat menyadari kalau anak laki-laki bermata sipit itu berbohong. Anak laki-laki itu menunduk sambil menendang kerikil di dekat kakinya.Â
"Kamu bohong! Kamu sama ibuku sama saja!" teriakmu kesal. Kamu mendorong anak laki-laki itu lalu berlari menjauh. Namun, dengan cepat langkahmu terhenti.Â
Anak laki-laki itu mengejarmu dan berhasil membuatmu berhenti. "Kenapa, sih? Aku enggak mau main lagi sama pembohong!"Â
Amarahmu masih belum mereda, dengan cepat kamu mendorong tubuh anak laki-laki yang sebenarnya lebih besar darimu itu.Â
"Arimbi, jangan marah. Aku cuma enggak mau kamu kayak tadi!"Â
"Kayak apa memang? Kamu sudahlah pergi sana. Kamu sama saja dengan ibuku!" teriakmu makin keras. Kamu tidak peduli jika ada orang yang mendengar.Â
"Enggak mau. Aku teman kamu dan aku beda sama ibumu, Rim!"Â
"Kata siapa?" sentakmu.Â
Anak laki-laki itu menatapmu ragu lalu menarik tanganmu berjalan ke sisi pinggir jembatan itu. "Mau naik, kan?" Kamu mengangguk, tetapi enggan melakukannya. "Ayo!"Â
Kamu masih bergeming, anak laki-laki itu menirukan persis apa yang kamu lakukan tadi. "Wah, anginnya enak banget, Rim!"Â
"Al, mau terbang enggak?" Belum sempat anak laki-laki itu menjawab, kamu dengan cepat mendorongnya sampai terjatuh ke sungai yang gelap itu.Â
"Arimbi, tolong aku!" Kamu tersenyum senang sambil melongok ke bawah, melihat sosok anak laki-laki yang sebenarnya tidak terlihat dan hanya terdengar suara meminta tolongnya saja.Â
"Al, jangan becanda. Kamu bisa berenang loh!"Â
"Ah, Alva becanda. Katanya tadi mau terbang!" serumu yang tidak mendapat jawaban.Â
Saat melihat sosok perempuan galak tergopoh-gopoh berlari menghampiri dengan cepat kamu ikut menceburkan diri.Â
***
"Dasar enggak waras. Apa yang kamu lakukan Arimbi!" Perempuan paruh baya yang masih terlihat begitu cantik di matamu itu berteriak marah. Dia memeluk tubuh anak laki-laki yang menggigil itu. "Minggir, anak enggak waras!"Â
Perempuan itu bangun dengan susah payah sambil menggendong anak laki-laki itu dan mendorongmu. Dia tidak peduli saat kamu pun basah kuyup dan kedinginan.Â
"Ingat, jangan pernah lagi kamu main sama Alva. Ikut ibumu saja sana!"Â
Perempuan itu lekas berjalan menjauhimu. Kamu terdiam dengan kepala tertunduk lesu. Tidak ada tangisan yang keluar, hanya saja tetesan air terus mengalir dan membuatmu betah berlama-lama di tempat terbuka di malam hari.Â
"Ya Rabbi, Arimbi. Kamu buat Ayah takut!" Raut wajahmu dengan cepat berubah bahagia saat sosok pria bertubuh raksasa di matamu itu dengan cepat mendekat, tidak ada lagi gurat-gurat kekecewaan karena larangan tadi. "Untung saja Bu Marni bilang kalau kamu di sini, kenapa bisa basah begini?"Â
"Ayah, Arimbi bisa terbang!" Pria tersebut tidak mendengarkanmu, dia terlalu khawatir dengan kondisimu yang pastinya sama dengan anak laki-laki itu. "Besok Rimbi ajak Ayah terbang, ya. Mau?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H