Ini penting. Di tengah terpaan media sosial dan OTT platform seperti Youtube, Netflix, dan media online lainnya, apakah masih perlu ada pengawasan buat siaran televisi dan radio? Di Indonesia jelas masih dilakukan pengawasan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menjawab soal masih perlu atau tidaknya pengawasan, kita coba intip bagaimana negara lain memperlakukan penyelenggaraan siaran televisi dan radio.
Mari kita mulai dengan Amerika Serikat (AS) yang dikenal sebagai negara demokratis dan mengagungkan kebebasan pada berbagai segi kehidupan. Penyelenggaraan siaran televisi dan radio di AS harus memperoleh izin yang dikeluarkan oleh Federal Communications Commission (FCC). Mereka dapat mencabut izin siaran jika penyelenggara TV atau radio menayangkan konten melanggar tiga kategori yaitu "obscene", "indicent", dan "profane". Ini menyangkut adegan cabul, tidak senonoh, dan kata-kata kasar.Â
Jangan heran kalau ketiga kategori tadi sangat mudah ditemukan pada konten Netflix, OTT platform asal AS. Kita bahkan bisa punya kesan bahwa hal-hal itu---termasuk pornografi, jadi hal yang umum buat Amerika. Tidak ada larangan. Namun sebenarnya masyarakat AS punya batasan moral sehingga tayangan cabul, tidak senonoh, dan kasar menjadi terlarang disiarkan kepada khalayak di sana. Lalu kenapa banyak tayangan asal AS yang dikenal masyarakat di seluruh memuat konten dengan kategori tadi?
Kita perlu pahami dulu kenapa ada pengawasan bagi tayangan televisi dan radio. Penyelenggaraan siaran menggunakan sumber daya alam terbatas. Frekuensi siaran hanya bisa ditempati oleh beberapa penyelenggara siaran saja. Tampak jelas ketika kita mencari gelombang radio di mobil misalnya, pada frekuensi FM, angka akan menunjukkan mulai dari 88 hingga 108. Ini juga berlaku untuk siaran TV. Terbatas. Hanya segelintir orang yang bisa menyelenggarakan siaran untuk mengantarkan pesan kepada banyak orang. Oleh karena itu siaran radio dan televisi perlu diatur oleh negara untuk memastikan sumber daya alam terbatas itu dimanfaatkan sebaik-baiknya sesuai kepentingan masyarakat.
Nah, kita kembali lagi ke pengawasan siaran radio dan TV di AS. Pada dasarnya FCC mengandalkan penyelenggara siaran untuk menaati batasan lalu menunggu masukan masyarakat jika ada pelanggaran. Komisi ini berbentuk independen terdiri dari 5 orang komisioner yang ditunjuk oleh presiden sebagai kepala negara dan disetujui oleh senat, bagian dari perwakilan rakyat AS. Jadi, pengawasan siaran di AS sepenuhnya diselenggarakan kepada publik tanpa campur tangan pemerintah.
Sekarang kita coba bandingkan dengan negara Cina daratan atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Di negeri komunis ini penyelenggaraan siaran radio dan televisi diawasi lebih ketat jika dibandingkan dengan Indonesia dan AS. Dalam bahasa Inggris, pemerintah RRT membentuk National Radio and Television Administration (NRTA), lembaga setingkat kementerian yang mengatur siaran radio dan televisi di negara itu. Lembaga ini punya kekuasaan untuk melakukan pengawasan dan sensor.
Perlu kita bahas sedikit tentang perbedaan fungsi pengawasan dan sensor. Sebagai informasi, KPI sebagai pengawasan penyelenggara siaran di Indonesia tidak melakukan fungsi sensor. Ini sama dengan FCC di Amerika. Kegiatan sensor dilakukan sendiri oleh penyelenggara siaran agar memenuhi ketentuan yang berlaku. Misalnya, pada tayangan televisi di Indonesia, kita sering melihat beberapa gambar diburamkan. Begitu juga tayangan dari AS, ketika pengisi acara mengeluarkan kata-kata kasar kita terbiasa mendengar bunyi "bip" untuk menutupi kata tersebut. Pengaturan tersebut dilakukan secara mandiri oleh stasiun TV penyelenggara siaran atau dikenal dengan istilah "self censorship" yang berarti sensor mandiri.
Kembali ke Cina daratan, NRTA memiliki wewenang untuk melakukan sensor terkait tayangan TV dan radio. Jadi, selain self censorship yang dilakukan penyelenggara siaran di RRT, lembaga pemerintah ini juga bisa menyensor tayangan. Ini merupakan perbedaan esensial. Kemampuan lembaga negara untuk melakukan sensor berarti wewenang lebih untuk mengontrol informasi kepada publik. Sebagai contoh, NRTA dapat menyensor tayangan bernada negatif kepada pemerintah.
Mengenai kemampuan sensor, coba kita bandingkan dengan lembaga pengawasan siaran di Korea Selatan. Dibandingkan dengan tetangganya di utara, negara ini dikenal cukup demokratis. Namun jika menggunakan standar AS, maka fungsi pengawasan di Korsel cukup ketat. Konten siaran radio dan televisi di sana diatur oleh lembaga independen Korea Communications Standards Commission (KCSC). Lembaga ini terdiri dari 9 komisioner dengan 6 orang mewakili partai penguasa dan 3 orang mewakili partai oposisi. Hampir sama dengan FCC di AS dan KPI di Indonesia, di sana penyelenggara siaran melakukan sensor mandiri buat konten tayangannya agar sesuai kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh KCSC seperti mengaburkan adegan merokok, penggunaan senjata tajam, dan orang bertato. Namun lembaga ini juga memiliki wewenang untuk melakukan sensor. Selain konten penyiaran, KCSC juga konten media online. Mereka dapat menurunkan situs internet yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Lembaga ini bahkan mensyaratkan pengguna internet menunjukkan identitas dalam memberikan komentar terkait isu politik.Â
Selain konten siaran, Korea Selatan juga memiliki lembaga bernama Korea Communications Commission (KCC) yang mengatur kebijakan penyiaran dan telekomunikasi. Lembaga ini berada di bawah pemerintah. Selain masalah administratif kebijakan penyelenggara siaran seperti perizinan radio dan televisi, KCC juga mengatur akses terhadap konten. Sebagai contoh, ada larangan bagi warga Korea Selatan untuk mengakses siaran radio dan televisi dari Korea Utara dengan alasan dapat merusak ideologi yang mereka anut. Mereka juga mensyaratkan penyelenggara siaran untuk memperoleh izin dalam menyiarkan tayangan produksi Jepang.
Dari contoh-contoh pengawasan siaran radio dan TV di AS, RRT, dan Korsel, kita bisa bandingkan dengan penerapannya di Indonesia. Pertama mengenai lembaga yang mengatur penyiaran. Di Cina, sangat jelas bahwa pemerintah turun langsung mengontrol media siar melalui NRTA. Sementara di Korsel, ada dua lembaga yang membuat aturan dan mengawasi konten. Lembaga KCC sebagai regulator siaran merupakan bagian dari pemerintah sementara KCSC yang mengawasi konten siaran berbentuk lembaga independen yang ditunjuk oleh presiden. Lalu di AS, penyelenggaraan siaran diatur dan diawasi oleh FCC sebuah lembaga independen yang anggotanya ditunjuk oleh presiden atas persetujuan senat. Nah, di Indonesia penyelenggaraan siaran diatur dan diawasi oleh KPI. Di tingkat pusat, anggota KPI dipilih oleh DPR RI untuk diajukan kepada presiden. Sementara di tingkat daerah, DPRD memilih anggota KPID untuk diajukan kepada gubernur.
Berikutnya dari segi wewenang, lembaga pengawas siaran NRTA di RRT dan KCSC di Korsel dapat melakukan sensor terhadap konten. Sementara di Indonesia menerapkan sistem yang sama dengan AS. Sensor dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara siaran radio dan televisi sesuai kaidah-kaidah yang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Aduan dari masyarakat juga menjadi landasan pengawasan bagi FCC di AS dan KPI di Indonesia. Perbedaannya, selain menunggu aduan dari publik, KPI juga aktif melakukan pengawasan penyelenggaraan siaran. Kemudian kedua lembaga dapat memberikan sanksi hingga pencabutan izin siaran jika penyelenggara melanggar ketentuan tayangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H