Mohon tunggu...
A Afgiansyah
A Afgiansyah Mohon Tunggu... Dosen - Digital communication specialist

Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

KKN di Desa Penari Saingi Doctor Strange, Mampukah Siaran TV Saingi Netflix

23 Mei 2022   18:39 Diperbarui: 23 Mei 2022   18:48 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film "KKN di Desa Penari" berhasil menyaingi film produksi " internasional Marvel, Doctor Strange 2". Bukan hanya di Indonesia, film horor itu tayang di lebih banyak layar bioskop di Singapura dan Malaysia dibandingkan "Doctor Strange 2". Melihat kesuksesan ini, bagaimana siaran televisi di Indonesia? Mampukah menyaingi gempuran Netflix?

Buat menjawab itu, ada beberapa aspek yang bisa kita lihat. Dimulai dari bagaimana kita berkreasi menyuguhkan tayangan, soal anggaran produksi, lalu kecenderungan penonton Indonesia, hingga regulasi mengenai siaran TV dan Netflix yang disebut platform OTT ini.

Kalau bicara suguhan tayangan dari televisi dibandingkan Netflix, hal pertama yang menjadi sorotan tentunya soal kualitas produksi. Memang perlu diakui, konten-konten suguhan netflix baik itu film, serial, hingga dokumenter memiliki kualitas produksi yang sangat baik dibandingkan siaran televisi Indonesia. 

Setidaknya kita bicara konten-konten produksi khusus Netflix atau "Netflix original production" dengan konten-konten produksi televisi maupun production house (PH) lokal yang tayang di TV.

Mari kita ulas sedikit soal "Netflix original production". Platform OTT berbasis Amerika Serikat itu bermula dari website penyewaan DVD online. Mereka menyewakan film-film dari studio produksi baik yang semula tayang di bioskop ataupun serial yang sebelumnya tayang di televisi. 

Setelah berkembang menjadi OTT platform, Netflix mulai membeli lisensi dari film atau serial TV sehingga pelanggannya bisa mengakses beragam konten dengan berlangganan. Namun di sini sifatnya masih "second window" yang secara harfiah berarti "jendela kedua" atau tempat tontonan kedua. Artinya, konten-konten itu sudah ditayangkan lebih dulu di tempat lain sebelum akhirnya bisa diakses di Netflix.

Posisi "second window" membuat Netflix tidak banyak memiliki keunikan karena konten-konten yang sama bisa saja dibeli oleh platform lain. Agar memperoleh keunikan ini, mulai tahun 2011 Netflix menginisiasi "original production". 

Konten-konten ini diproduksi khusus untuk Netflix, tidak pernah tayang di platform lain. Dan tentunya mereka mengeluarkan uang besar untuk itu. Menurut Kagan Media Research, sepanjang tahun 2021, Netflix mengeluarkan 5,21 miliar dolar AS atau setara 76,4 triliun rupiah untuk "original production".

Bicara "original production", siaran televisi pada dasarnya merupakan media dengan konten produksi sendiri. Memang, ada beberapa konten akuisisi atau beli seperti film-film asing atau film lokal yang sebelumnya tayang di bioskop. Namun tayangan televisi didominasi oleh konten produksi sendiri seperti siaran berita, siaran hiburan, talk show, dan ragam lainnya yang dibuat oleh tim "in-house" atau karyawan sendiri.

 Belum lagi program-program TV yang berasal dari PH seperti sinetron, kuis, reality show, infotainment, dan ragam lainnya. Stasiun televisi di Indonesia umumnya memiliki hak eksklusif tayangan produksi PH lokal atau jika meminjam istilah Netflix, disebut sebagai "original production".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun