Dalam acara Sowan Kyai & Temu Alumni Himpunan Keluarga Alumni Muhibbin (HIKAM) pada 9 Januari 2025 kemarin, Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin mengangkat tema penting mengenai shuhbatussholihin, atau pertemanan dengan orang-orang saleh, dan kasih sayang para Kyai kepada murid-muridnya. Tema ini bukan hanya relevan dalam konteks keagamaan, tetapi juga memiliki implikasi yang mendalam dalam pembentukan karakter dan moralitas individu era ini.
Shuhbatussholihin: Jalan Menuju Keberkahan
Dalam sambutannya, Abah Idris menekankan bahwa pertemanan dengan orang-orang saleh adalah sumber keberkahan dalam hidup. "Wong niku nek wes shuhbah karo wong alim seng sholih iku mesti oleh keberkahannya," tuturnya. Pernyataan ini menggambarkan bahwa interaksi dengan orang-orang yang memiliki kebaikan dan keilmuan akan membawa dampak positif dalam kehidupan spiritual dan sosial seseorang.
Konsep ini sejalan dengan ajaran Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, di mana beliau menyatakan pentingnya memilih teman yang baik. Dalam pandangannya, teman yang baik akan mengajak kita kepada kebaikan dan menjauhkan kita dari keburukan. Hal ini juga diungkapkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
وعن أَبي هريرة: أن النَّبيّ ﷺ قَالَ: «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ». رواه أَبُو داود والترمذي بإسناد صحيح، (١) وَقالَ الترمذي: «حديث حسن» رياض الصالحين - ت الفحل ١/١٣٣ — النووي (ت ٦٧٦)
Bahwa "seseorang tergantung pada agama temannya, maka perhatikanlah siapa yang menjadi temanmu."
Kasih Sayang Para Kyai
Abah Idris juga menyoroti kasih sayang yang dimiliki oleh para Kyai terhadap murid-muridnya. Dalam kisah yang dibagikannya, Abah menunjukan betapa besar perhatian abah Kyai Djamal terhadap alumni yang pernah menyimpang dari jalan yang benar. Meskipun alumni tersebut tidak lagi mendatangi Beliau, tidak lagi membutuhkan Beliau, dan bahkan merasa lebih baik dari Beliau, perhatian dan doanya Abah Kyai Djamal tetap mengalir. Terbukti ketika suatu hari abah Kyai Djamal mendengar kabar musibah yang menimpa alumni tersebut, lalu bertanya bagaimana kevalidan informasi itu kepada putranya, Abah Idris. Lalu Abah Kyai Djamal dawuh: "Aku gak iso turu. Krungu muridku ngene ik, aku gak iso turu". Abah Idris kemudian menyampaikan, "Kyai yang sholih tidak akan pernah mendoakan keburukan bagi muridnya,"
Kasih sayang ini sejalan dengan prinsip yang diajarkan dalam kitab Ta'lim al-Muta'alim karya Syekh Zainuddin al-Malibari, yang menyebutkan bahwa guru seharusnya memiliki sifat rahmah (kasih sayang) terhadap muridnya, karena pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. Dalam konteks ini, Kyai berperan sebagai sosok yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Relevansi dalam Konteks Modern
Selain dari perspektif keagamaan, pemikiran barat juga mengakui pentingnya hubungan sosial yang positif. Dalam buku The Power of Habit karya Charles Duhigg, dijelaskan bahwa kebiasaan baik sering kali terbentuk melalui interaksi dengan orang-orang di sekitar kita. Dengan menjalin hubungan dengan individu yang memiliki kebiasaan baik, kita cenderung terpengaruh untuk mengadopsi perilaku positif yang sama.
Salah satu poin penting dalam buku Duhigg adalah bahwa kebiasaan sering kali dipengaruhi oleh lingkungan sosial kita. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan positif seperti disiplin, ketekunan, dan kepedulian terhadap sesama, mereka cenderung mengadopsi perilaku yang sama. Hal ini sejalan dengan konsep shuhbatussholihin, di mana bergaul dengan orang-orang saleh dan alim dapat membawa individu pada kebaikan dan keberkahan.
Duhigg mencatat bahwa individu yang berada dalam kelompok yang mendukung dan positif lebih mungkin untuk mengubah kebiasaan buruk mereka. Misalnya, seseorang yang berusaha untuk hidup lebih sehat akan lebih berhasil jika mereka berada dalam komunitas yang mengutamakan gaya hidup sehat. Dalam konteks ini, sosok Kyai sebagai pembimbing spiritual berfungsi sebagai "isyarat" yang mengingatkan murid-muridnya akan nilai-nilai luhur, serta membawa mereka menuju rutinitas yang lebih baik.
Kasih sayang yang ditunjukkan oleh para Kyai kepada murid-muridnya juga memiliki relevansi dalam konteks pembentukan kebiasaan. Duhigg menekankan bahwa imbalan emosional seperti dukungan, pengakuan, dan kasih saying dapat menjadi motivator yang kuat dalam membentuk kebiasaan baik. Ketika seorang murid merasa diperhatikan dan didukung oleh gurunya, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam pembelajaran dan pengembangan diri.
Dalam hal ini, kasih sayang Kyai dapat dipandang sebagai "imbalan" yang mendorong murid untuk terus berusaha dan mengikuti jalan yang benar. Ketika seorang murid mengalami kesulitan atau kehilangan arah, perhatian dan doa dari Kyai memberikan harapan dan motivasi untuk bangkit kembali. Ini memperkuat hubungan antara shuhbatussholihin dan pembentukan kebiasaan positif.
Duhigg juga menggarisbawahi pentingnya membangun komunitas yang mendukung dalam menciptakan perubahan. Ketika individu merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar---seperti komunitas alumni HIKAM yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan moral---mereka akan lebih terdorong untuk berpartisipasi dan berkontribusi. Komunitas yang positif menyediakan lingkungan yang aman untuk belajar dan tumbuh, mirip dengan peran masjid dan lembaga pendidikan dalam mendidik generasi penerus.
Dalam konteks ini, shuhbatussholihin menciptakan jaringan sosial yang saling mendukung. Ketika individu dalam komunitas tersebut saling berbagi pengalaman dan tantangan, mereka akan saling menginspirasi untuk memperbaiki diri dan mengembangkan kebiasaan yang lebih baik.
Relevansi pembahasan tentang shuhbatussholihin dan kasih sayang para Kyai sangat jelas dalam konteks modern, terutama melalui lensa The Power of Habit. Dalam dunia yang penuh tantangan ini, penting bagi setiap individu untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai positif dan berorientasi pada kebaikan. Melalui dukungan emosional dan bimbingan dari para Kyai, serta interaksi dengan komunitas yang positif, individu dapat membentuk kebiasaan baik yang akan membawa mereka menuju keberkahan dan kesuksesan dalam hidup. Dengan demikian, prinsip-prinsip ini tidak hanya relevan dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam pengembangan diri dan interaksi sosial di era modern.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI