Membaca buku ini membuat saya ingat betapa perjuangan melawan diri sendiri begitu berat. Dan Tuhan, dengan segala karuniaNya, selalu menawarkan jalan. Kalau boleh saya katakan, Abid termasuk beruntung. Ia mau menulis, tentu ia mau membaca, berarti ia telah berani menempuh jalan lapang yang termaktub dalam al-Qurn: Iqra'.
Kehadiran buku 'Silakan' bakal menjadi pembahasan intim dalam kurun waktu beberapa hari di kepala saya. Sebab tema puisi yang ia tuliskan berhasil menjadi memorabilia. Seperti ketika setiap kata dari 18 babak puisi 'Yajunnu' berhasil mendetakkan memoar yang telah lama kehilangan akar.
Yang hilang telah tergantikan
Duka telah menjadi suka
Engkau hadir dalam semesta cinta.
Selain itu, ia dan saya hampir sama. Juga dengan sederet nama karib pecinta puisi yang beberapa sudah jadi alumni. Menjalani puisi. Jika tidak salah, puisi punya banyak ruang keniscayaan, ia menjadi washilah ketabahan, ia juga yang menjadi lantaran rasa syukur atas yang nyata dan ketidaknyataan, ia pula yang sanggup menjembatani sesuau yang sukar diterjemahkan.
Bukan banyaknya masalah
Yag membuat kita tak betah tuk melanjutkan
Melainkan satu sama lain
Yang bungkam tak ingin bersuara
Setiap halaman saya baca hati-hati, sebab kedalaman puisi Abid menjadikanya semacam instruksi agar tidak tergesa-gesa menjalani apapun; termasuk membacanya. Ia paham, bahwa puisi tidak suka ketergesaan. Seperti ketika Eyang Sapardi menuliskan puisi paling fenomenal Dongeng Marsinah selama tiga tahun. Terlepas dari itu, buku ini sepertinya memang mempersilakan kita - dengan amat sopan -- untuk membersamai cerita yang ada didalamnya. Meski selepas tuntas saya baca buku apik ini (sambil menerka hakikat perasaan yang ia ampu), agaknya pertanyaan-pertanyaan terus mengepung sampai nanti benar-benar ada jawabannya; ada yang menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H